Monday, November 20, 2006


Bersua Nemo di Pulau Kabung-Kalimantan Barat



Jauh dari rutinitas, keramaian kota, polusi kendaraan, serta modernitas, di pesisir Pulau Kabung, saya bersua nemo—demikianlah anak-anak mengenalinya. Kehidupan nemo (tokoh film Finding Nemo) atau ikan badut (clownfish) ini, yang dijumpai disela-sela terumbu karang, merupakan andalan eko-tourisme Pulau Kabung.

Hal lain, kehidupan nelayan, baik di bagan maupun di laut lepas, pemandangan matahari terbit (sunrise) maupun matahari terbenam (sunset), dan kehidupan kampung nelayan. Bila beruntung, dapat pula menyaksikan lumba-lumba bermain di perairan ini.

Cukup mudah menjangkau Pulau Kabung, di Desa Karimunting, Kecamatan Sungai Raya, Kabupaten Bengkayang, Kalimantan Barat. Dari Pontianak, arahkan kendaraan ke Singkawang. Sekitar 130 kilometer, sampailah di kampung nelayan Teluk Suak.

Lalu, naiklah perahu motor menuju Pulau Kabung, berongkos Rp 3.000 per orang. Bila ingin santai, tanpa dipusingkan transportasi, akomodasi, sampai urusan pandu-memandu, gunakan jasa Canopy Kalimantan—satu-satunya operator wisata di Pulau Kabung.

Sepi. Kesan pertama saat menjejakkan kaki di Pulau Kabung. Yang terlihat, ikan-ikan teri dijemur di tikar bambu. Kemanakah penduduk pulau ini? Panggilan makan siang, membuyarkan permenungan. Ikan teri, ikan pindang tumbuk, dan sotong kuah memanjakan indera pengecap dan lambung. Jangan berharap menu ayam maupun sayur.

Populasi ayam di Pulau ini, mungkin tidak sebanyak penduduk Pulau Kabung yang berjumlah 400 jiwa. Sementara sayur dibeli dari Bengkayang atau Singkawang, pepohonan di pulau ini, hanya kelapa dan cengkeh.

Matahari di ufuk barat, saat saya bangun tidur setelah lelah di perjalanan—dan kekenyangan. Pemuda nelayan setempat, Deki (16) lalu mengajak bersampan menuju bagan, menyaksikan sunset.

Arsitektur bagan sederhana. Pilar bagan dari kayu nibun (sejenis palma), dipadu gelagar kayu sangae dan propok, dengan pondok beratap nipah. Pada tiang bagan yang terbenam air laut, hidup berbagai biota, mendukung perkembangbiakan ikan.

Tinggi bagan dari dasar laut mencapai 18 meter, sementara tinggi anjungan bagan sekitar 4-6 meter. Anjungan bagan berukuran 9 x 7 meter, pada bagian bawah terdapat jala yang dapat diangkat. Umur maksimal bagan, mencapai tiga tahun.

Dari bagan, kami lihat indahnya sunset, yang “ditelan” laut Cina Selatan. Langit meredup hingga gelap gulita, lalu ditaburi bintang. Masing-masing bagan menurunkan dua petromaks, mengelabuhi ikan-ikan—yang tertarik cahaya—hingga mendekat, lalu ditangkap.

Sungguh mengesankan, melihat sunset dari bagan. Ketika lapar, kami menangkap sotong dari jala, membakarnya tanpa bumbu, lalu menyantapnya lahap. Doyan atau Lapar? Entahlah, beda tipis.

Ditemani Teguh Panglima, juragan Betawi Foto di Pontianak, kami bermalam di rumah Ibu Intan. Penginapan villa tidak disediakan. Sebaliknya, menginap di rumah penduduk (senilai Rp 10.000 per malam). Ternyata, listrik belum masuk di Pulau ini. Padahal, ini tahun 2005, bung.

Menjelang tengah malam, seluruh anggota keluarga melongok ke jendela, lalu berhamburan turun dari rumah panggung. Ternyata, sekelompok lelaki merapatkan perahu, menurunkan puluhan keranjang ikan teri. Baik Intan, maupun kedua anaknya membantu menurunkan keranjang ikan.

Tetangga berdatangan, menyiapkan kayu bakar, dan membawa jeriken minyak tanah. “Ikan harus direbus dalam tong air. Supaya tidak busuk, kemudian besok pagi kami akan menjemurnya,” tandas nelayan Jamilu.

Maka, ikan teri itu direbus. Sementara anak-anak, asyik bercanda, seolah tidak menyadari larutnya malam. Terjawablah pertanyaan saya. Kebanyakan nelayan Pulau Kabung memanfaatkan siang hari untuk beristirahat, karena aktivitas mencari ikan adalah urusan di malam hari.

Keesokan pagi, seraya menikmati sunrise dan secangkir kopi, saya berbincang dengan tokoh masyarakat, H Al Haris. Dia berkisah pemberontakan PPRI di Sulawesi Selatan, pada dekade 60-an, menyebabkannya merantau hingga Pulau Kabung.

“Kini sulit, bila hidup sebagai nelayan, karena terus merugi dan dililit hutang. Maka, ditetapkannya wisata Pulau Kabung, sangat membantu. Apalagi, masyarakat dilibatkan, untuk membuat makanan, tempat tinggal, serta lainnya,” tandas H Al Haris.

Bukan perkara mudah, menjadikan Pulau Kabung—terutama Kampung Tengah menjadi desa wisata. Kawan-kawan muda Canopy Kalimantan, membutuhkan waktu dua tahun, agar diterima masyarakat.

“Kami menjaga keaslian kampung nelayan ini. Tidak ada perubahan, terkecuali perbaikan sarana mandi dan cuci. Untuk air bersih, air gunung tersedia. Diluar itu, bahkan di malam hari pun, kita menggunakan petromaks dan lilin, karena listrik belum ada,” ujar Yuliantini.

Menjelang siang, saya meminjam peralatan snorkeling. Berenang perlahan di permukaan air laut, lalu tampaklah ikan bergaris-garis orange dan putih yang menawan. Tak salah lagi, itulah nemo-ikan badut, bermain di sela anemon laut.

Setelah puas, kami makan siang sembari menunggu kapal penjemput tiba. Tapi, perbincangan di sudut meja sana sangat mengganggu, karena saya menangkap kata-kata investasi.
Saya muak mendengarnya. Jangan diubah keaslian kampung nelayan ini.

Enyahkanlah berpikir proyek, membangun vila-vila, apalagi warung dengan musik hingar bingar. Ini membuat masyarakat setempat tersingkir. Dinas Pariwisata setempat, cukuplah sebagai regulator.

Bila ingin membantu Pulau Kabung, buat dermaga, instalasi listrik, puskesmas, dan diri SMP dan SMA—karena baru ada SD. Canopy Kalimantan telah memfasilitasi pelatihan pemuda, untuk menjadi pemandu selam, agar dapat bekerja sebagai guide.

Tiru dan bantu, atau enyahlah, karena wisata ekoturisme Pulau Kabung, dibangun tanpa bantuan sepeser pun dari pemerintah daerah. (HARYO DAMARDONO)

Read More..

Revolusi Desain Keramik, Bukan Hal Tabu…

Keramik atau gerabah adalah hasil dari sebuah kebudayaan. Sebuah bukti, jejak, maupun wujud dari kebudayaan. “Walau demikian, tidak aneh ketika desain keramik berubah. Sah-sah saja, karena kebudayaan selalu berkembang, seiring kemajuan manusia,” tandas Sumarsono, antropolog dari Departemen Kebudayaan dan Pariwisata.

Pendapat antropolog Sumarsono ini, dikemukakan menyikapi fenomena revolusi desain keramik, dari bentuk tradisional menjadi kontemporer. Dari pembuatan sesuai pakem dan desain menurut rasa seni setempat, menjadi modernisasi pembuatan serta desain mengikuti permintaan konsumen dan tren pasar.

Revolusi, redesain, atau apa pun namanya, merupakan usulan para peserta Jelajah Budaya Kalimantan Barat—difasilitasi staf Deputi Hubungan Antarbudaya, Departemen Kebudayaan dan Pariwisata dan Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Pontianak—menyikapi kemunduran industri Keramik Singkawang.

Ada pun revolusi keramik, ternyata tidak ditabukan dalam industri keramik. Simaklah revolusi desain pada ornamen tempel di sentra keramik Kasongan, Kabupaten Bantul, Yogyakarta, sentra keramik di Plered, Kabupaten Purwakarta, Jabar, dan sentra keramik Sitiwinangun, di Kabupaten Cirebon, Jabar.

Ornamen tempel di Kasongan, misalnya, membuat perajin keramik setempat tidak hanya memproduksi keramik konvensional, seperti kuali, gentong, dan bentuk tabung lainnya—yang membosankan. Tapi mencipta bentuk-bentuk gentong, dengan kepala gajah dilengkapi belalai menjuntai, atau bentuk lain yang sangat artistik.

Salah satu perajin keramik, yang sukses menelorkan karya-karya keramik inovatif, adalah F Widayanto. Dengan sederetan karya, beride dasar loro blonyo—patung pasangan pengantin Jawa, dia mengentaskan keramik ke strata lebih tinggi. Keramik sebagai barang pajangan kaum elite, bagian dari interior rumah, bukan sekedar katakanlah “peralatan masak-peralatan dapur”.

Sesungguhnya, keramik asal Singkawang pun, telah beralihfungsi menjadi barang pajangan. Lihatlah lantai II Markas Polda Kalbar, keramik Singkawang terpajang di sana, lihatlah pula lobi-lobi hotel di Pontianak bahkan hingga Jakarta, keramik Singkawang pun terpajang di sana. Tapi, tanpa revolusi desain, konsumen pun akan jenuh, dan pada gilirannya mematikan industri keramik Singkawang.

*** “Saya merasa bertanggungjawab, atas kemunduran produksi keramik di Sitiwinangun. Pada awalnya, saya menekankan pembuatan keramik tradisional, termasuk pola, corak, dan desain tradisional,” kata Bonzan Eddy R Setyo, sarjana keramik Seni Rupa Institut Teknologi Bandung (ITB), yang bermukim di Sitiwinangun, beberapa waktu lalu.

Keramik Sitiwinangun—kawasan yang terletak sekitar 15 km sebelum Kota Cirebon dari arah Lohbener-Jakarta—memang eksotis. Saat ini, perajin Sitiwinangun masih mempertahankan teknik pijit (pinching) dan pilin (coiling), tak ubahnya proses pembuatan keramik zaman prasejarah.

Belum lagi pembakaran keramik, dilakukan dengan menaruh keramik di lapangan, ditutupi jerami dan sekam, lalu dibakar begitu saja. “Saya terlambat berinovasi untuk menyesuaikan dengan pasar, karena tidak ingin kekhasan keramik Sitiwinangun punah ditelan zaman,” tandas Bonzan.

Setelah menyadari keterlambatannya merevolusi desain keramik, kini Bonzan memperkenalkan proses pengayakan bahan baku, teknik glasir atau pelapisan gelas (sehingga permukaan keramik lebih halus), termasuk penggunaan tungku bakar, kepada perajin Sitiwinangun. Walau hingga pertengahan 2005 ini, pembuatan tungku bakar, masih belum selesai sempurna.

Keterlambatan revolusi desain keramik, berimbas stagnansi dalam industri keramik, dialami beberapa sentra keramik. Sekitar 20 km dari Sitiwinangun, sentra keramik Arjawinangun kini sekarat. Hampir tiga dekade, perajin keramik setempat hanya menghasilkan keramik seperti kendi dan celengan, seharga maksimal sekitar Rp 5.000 per buah, adapula yang berharga Rp 150 per buah.

Nasib lebih baik, dialami sentra keramik Bayat (Klaten-Yogyakarta) dan Batu (Malang-Jawa Timur). Berkat revolusi, mereka tetap memasok keramik hingga Bali, mendekati konsumen mancanegara. Bahkan, meski sempat krisis akibat Bom Bali, tiap bulan, para perajin masih mengekspor beberapa kontainer keramik.

Bercermin pengalaman tersebut, revolusi desain Singkawang, tidak dapat ditawar lagi. Berbagai tren keramik, dapat dikerjakan. Entah pernak-pernik kecil, seperti asbak, pot, dan wadah aromaterapi, hingga keramik besar berdesain seturut konsumen.

Tentu saja, proses tradisional tungku naga Singkawang, jangan dilupakan. Karena itu “kekayaan” bangsa. Tapi mengikuti tren, lebih baik daripada banting stir sekedar membuat batu bata untuk rumah walet!

Peserta Jelajah Budaya Kalbar sepakat, redesain dapat melibatkan seniman keramik. Pendesain ini, dapat didatangkan dari Institut Seni Rupa Indonesia (ISI) Yogya atau ITB—yang mempunyai jurusan seni keramik, mengingat Pontianak, tidak punya sekolah seni (kontemporer) yang representatif.

Hadirnya seniman keramik dari luar Singkawang pun, diharapkan dapat “memecahkan” ketertutupan para keramik Singkawang—yang mayoritas orang Tionghoa. Siapa pun tahu, ketertutupan berimbas kemunduran dan keterbelakangan. Sudah saatnya, mata mereka terbuka pada revolusi (desain) keramik… (HARYO DAMARDONO)

Read More..

Meriam Karbit Pontianak Kehilangan Makna….

Alkisah, menjelang subuh 14 Rajab 1184 Hijriah (23 Oktober 1771), pendiri Kota Pontianak, Syarif Abdurrahman sampai di persimpangan Sungai Kapuas dan Landak Setelah delapan hari menebas pohon di kawasan itu, beliau membangun rumah dan balai.

Tilas bangunan pertama di Pontianak, kini berdiri Masjid Jami dan Keraton Pontianak. Di pertemuan kedua sungai, berdiri kampung tertua yakni Kampung Beting. Dan sejak 1771, Kota Pontianak berkembang hingga detik ini.

Mengapa permukiman yang dibangun di pertemuan dua sungai itu, dinamakan Pontianak? Konon, selama delapan hari menebas pohon, para pengikut Syarif Abdurrahman mendapat gangguan para kuntilanak.

Boleh jadi kata “kuntilanak” bertransformasi menjadi “Pontianak”. Namun dalam cerita rakyat Melayu, kata Pontianak pun berarti perempuan yang meninggal ketika melahirkan, kemudian bergentayangan di desa-desa untuk meneror warga.

Disarankan oleh tetua Melayu, agar kita memelihara kuku panjang dan tajam. Sehingga bila bersua sang Pontianak, dapat menancapkan kuku tajam pada lehernya agar berubah jadi perempuan cantik.

Tapi Syarif Abdurrahman, memilih metode lain. Dia menembakkan meriam karbit ke arah hutan, yang diyakini sumber bunyi-bunyian seram pengganggu pengikutnya. Inilah sejarah Pontianak, sekaligus awal tradisi meriam karbit.

Kini 245 tahun berselang, meriam karbit masih mentradisi di masyarakat Kota Pontianak, terutama bagi warga tepian Sungai Kapuas. Tradisi dimainkan pada bulan Ramadhan, sejak malam takbiran hingga tiga hari setelah Lebaran, selepas senja hingga hampir tengah malam.

Langkah sederhana melihat meriam karbit adalah melintas di Jembatan Sungai Kapuas, yang menghubungkan Pontianak Kota dengan Pontianak Timur. Kemudian dari ketinggian jembatan, dapat disaksikan deretan meriam di sisi timur dan barat jembatan.

Mau sedikit berpeluh, tapi mendapatkan pengalaman lebih? Dari Jl Tanjung Pura atau Imam Bonjol, masuki gang-gang hingga tepian Sungai Kapuas. Kemudian susuri gertak (jembatan kayu di tepian Kapuas terbuat dari kayu ulin), hingga ditemukan deretan meriam.

Meriam diletakkan berkelompok, antara dua sampai enam meriam, tepat di tepian Sungai Kapuas. Meriam ditaruh diatas panggung dari kayu nibung. Panggung dimaksud mencipta ruang, agar pelaksanaan tradisi tidak mengganggu lalu lintas warga yang mempergunakan gertak untuk berjalan kaki.

Ukuran meriam cukup fantastik, yakni berdiameter hingga 80 sentimeter, dengan panjang 3-4 meter. Ini sebanding ukuran dua lelaki dewasa. Meriam dari kayu gelondongan besar, jenis pohon belian, ramin, atau meranti, yang dilubangi.

Bagian ujung meriam dibiarkan berlubang, sedangkan pangkal meriam ditutup dengan campuran semen dan pasir. Agar batang kayu tidak pecah (hancur karena ledakan), maka rotan seukuran kelingking manusia dibelitkan ke batang kayu.

Dipergunakannya rotan, karena elastisitasnya tinggi sehingga mampu memelarkan diri sesaat ketika ledakan terjadi. Sedangkan, bila pakai kawat atau tali kapal, sering putus hingga batang kayu hancur. Ini membahayakan pemain meriam karbit maupun masyarakat yang menyaksikannya.

Seturut nama tradisi ini, untuk bahan bakar digunakan karbit—senyawa kimia yang digunakan untuk mengelas dan balon gas. Harga karbit per kilogram mencapai Rp 10.000, dijual dalam bentuk padat.

Setelah dibentuk dengan cara diketok-ketok dari karbit padat besar jadi ukuran sekitar 1,5 kali 1,5 sentimeter, karbit dimasukkan ke dalam meriam yang sebelumnya diisi air. Guna air adalah untuk mengurai karbit padat menjadi karbit gas, selama 3-5 menit.

Lantas, api pun disulutkan dengan kayu ukuran 50-60 sentimeter, ke lobang penyulut meriam karbit. Hanya sepersekian detik, gas karbit pun meledak. Semburan api pun keluar dari lobang penyulut dan moncong meriam karbit.

Bicara tentang “ramuan” amunisi meriam karbit, Remaja Tepian Kapuas (Retika) punya resep khusus, yakni 3-5 ons karbit, diimbuhi satu sendok teh cuka, maka bunyi lebih dashyat. Tiap kelompok yang didasarkan pada lokasi gang, punya rahasia tersendiri soal “ramuan jawara” ini.

Dentuman meriam karbit ini sangat keras, dapat terdengar dari radius 3-5 kilometer. Apabila didengar dari tepian Sungai Kapuas, lantaran ada ruang kosong di atas sungai, maka akan terdengar gema berulangkali.

Sensasi luar biasa, lebih terasa bila berdiri radius 1-2 meter dari meriam. Sebab gertak dan panggung kayu nibung yang dibangun di atas permukaan Sungai Kapuas, pasti bergetar. Dan, tubuh pun bergoyang terpengaruh pergolakan udara yang menghantarkan suara membahana dari meriam.

Menurut penuturan warga setempat, tradisi meriam karbit ini surut dari tahun ke tahun. “Harga kayu sekarang mahal, per batang ukuran panjang 3-4 meter dan diameter 80 sentimeter, mencapai Rp 800.000. Kayu pun susah dicari,” kata pengurus Remaja Tepian Kapuas (Retika), Mardian.

Retika pada Ramdhan 2006 ini, memasang lima meriam karbit di Jl Tanjung Harapan Gg Sulaiman, Pontianak Timur. Dibutuhkan biaya Rp 8 juta, untuk menyiapkan meriam dan panggung. Dulu sponsor berlimpah, kini agak surut, yakni hanya beberapa agen motor dan perusahaan telekomunikasi.

“Sebenarnya, ketika industri kayu di Kalimantan Barat rontok maka tradisi meriam karbit pun terganggu. Sebab, kayu gelondongan dari hulu sulit didapat. Tahun 1980-an sampai 1990-an, istilahnya tinggal mencegat tongkang kayu yang lewat,” ujar Sugeng Hendratno dari Masyarakat Pariwisata Indonesia (MPI) Kalbar.

Sugeng menuturkan dulu meriam karbit dibuat dari kelapa maupun pinang, sebagaimana digunakan Syarif Abdurrahman. Eksploitasi kayu besar-besaran dari hulu Kapuas, mengubah wajah meriam karbit, apalagi bunyi meriam karbit dari kayu gelondongan sangat memekakkan telinga.

“Karena kayu mahal padahal bagus untuk meriam, kami pakai kayu yang sudah digunakan lima tahun. Selama tidak dipakai, kayu dibenamkan di lumpur di dasar Sungai Kapuas, sehingga tidak dimakan binatang penggerek kayu,” tandas Yurniadi, warga Gang Bayu.

Untuk menaikkan kayu gelondongan, ke panggung nibung, bukan perkara mudah. Harus menunggu air Kapuas pasang, akibat desakan air laut pada pukul 02.00-03.00. Butuh belasan pemuda untuk mengangkat kayu gelondongan tersebut.

“Tahun ini, ada Festival Meriam Karbit yang diadakan Pemerintah Kota Pontianak. Tetapi tidak semua kelompok ikut, delapan meriam karbit dari Jl Tanjung Pura, Gang Kamboja, saja tidak ikut padahal bagus. Mungkin karena hadiah Rp 1 juta, memang sangat kecil, padahal modal sudah besar,” kata Sugeng.

Bila meriam karbit Syarif Abdurrahman, dimaknai mendalam karena mengawali salah satu perjuangan membangun Kota Pontianak, yang kini berumur 245 tahun. Maka kini, tradisi meriam karbit Pontianak, nyaris “miskin” dan kehilangan makna.

“Kesulitan kayu untuk meriam karbit, harus dimaknai runtuhnya industri kayu di Kalbar, berikut penggangguran ribuan buruh kayu. Sepinya turis yang menyaksikan meriam karbit, harus dimaknai ketidakseriusan pemerintah menggarap promosi meriam karbit,” ujar Sugeng.

Berdasar pengamatan, penikmat meriam karbit pun kini sekedar remaja—biasa dikenal Anak Baru Gede (ABG). Yang lebih dewasa, datang berpasangan untuk berpacaran di kafe bernuansa remang-remang di tepian Kapuas. Tidak terlihat keluarga-keluarga yang menyaksikan tradisi ini, apalagi turis lokal dan mancanegara.

Padahal, anak-anak remaja itu hanya menikmati bunyi menggelegar dan pekik ketakutan dari remaja putri. Tidak terlihat benang merah dari pembunyian meriam karbit, dengan ramadhan, misalnya. Yang tampak di permukaan, hanya sekedar permainan rakyat.

Padahal, banyak hal dapat dimaknai—lebih lanjut disikapi—dari tepian Kapuas, selama menyaksikan tradisi meriam karbit. Gertak hasil pendanaan Bank Dunia yang mulai tua, berderit-derit, dan nyaris roboh. Berulangkalinya pemadaman listrik di tepian Kapuas yang menggelapgulitakan lokasi meriam karbit.

Kacau balaunya tata kota Pontianak, dilihat dari tepian Kapuas yang kumuh. Belum lagi, implementasi Pontianak Water Front City, yang entah kapan terealisasi. Mengapa kita tidak singgah sejenak, merenungkan Pontianak, setelah mendengarkan dentuman meriam karbit? Syarif Abdurrahman telah mengawali, sementara kita…... (HARYO DAMARDONO)

Read More..

Kabupaten Kapuas Hulu, Menunggu Limpahan Turis dari Serawak….

Penat. Membayangkan harus menempuh perjalanan pulang sejauh 700 kilometer dari Putussibau, ibukota Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat, menuju Pontianak. Dalam kondisi normal saja, perjalanan darat antarkedua kota itu harus ditempuh 18 jam karena rusaknya jalan.

Harapan dapat pulang dengan pesawat terbang, yang biasanya menempuh Putussibau-Pontianak selama satu jam harus kandas, karena ketidakjelasan penerbangan. Padahal, sebelumnya rute ini dilayani Air Mandiri (mencarter Merpati dan Dirgantara Air Service (DAS).

“Pesawat yang biasanya memang sedang diperbaiki di Singapura, karena itu sementara ini tidak ada penerbangan. Tapi nanti pasti terlayani lagi,” ujar Bupati Kapuas Hulu, Abang Tambul Husin, saat ditemui di Putussibau, pertengahan Maret.

Bila salah satu ukuran kemajuan suatu daerah adalah sarana perhubungan, maka sesungguhnya Kapuas Hulu—sebagai kabupaten tertimur Kalbar, saat ini sedang mengalami kemunduran. Ketika daerah lain berhasrat terlayani penerbangan reguler, penerbangan di Kapuas Hulu seolah antara ada dan tiada.

Seorang Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Kabupaten Kapuas Hulu, membisikkan bahwa alasan jarangnya penerbangan ke Putussibau, karena maskapai bersangkutan terancam bangkrut.

Dengan tarif Pontianak-Putussibau lebih dari Rp 500.000 per orang (lebih mahal dari Pontianak-Jakarta), maka konsumen biasanya hanya menggunakan rute penerbangan Putussibau-Pontianak dan ketika pulang memilih menggunakan bus dengan tarif lebih murah yakni hanya Rp 180.000 per orang.

Lantas, bagaimana dengan turis mancanegara maupun asing? Sangat jelas mereka enggan terantuk-antuk selama 18 jam. Padahal, dengan luas Kapuas Hulu mencapai 2,98 juta hektar, dimana 56 persen diantaranya Taman Nasional dan Hutan Lindung, diharapkan wisata
ekoturisme mampu menambah pendapatan asli daerah.

“Turis akan tetap datang, tapi menurut pertimbangan kami akan datang dari Kuching, Serawak, Malaysia. Mereka dapat melalui ruas Badau-Putussibau sejauh 177 kilometer yang kini pengaspalannya terus dilakukan,” ujar Abang Tambul Husin.

Dalam pengamatan Kompas, pemerintah Negara Bagian Serawak-Malaysia kini sedang membangun jalan menuju perbatasan Badau, di Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat. Jalan ini nantinya akan menghubungkan Lubuk Antu di Serawak dengan Putussibau, ibukota Kabupaten Kapuas Hulu.

Jalan baru empat lajur sepanjang sekitar 10 kilometer yang dibangun Serawak tersebut menembus perkebunan sawit milik Malaysia, hingga tepat di Pos Pemeriksaan Lintas Batas (PPLB) Badau.

“Pos Lintas Batas Badau akan dibuka tahun 2007, tapi kami optimis pengerjaannya selesai 2006 ini. Kami juga sedang menunggu pengerjaan Pos Lintas Batas Serawak, hingga nantinya ini menjadi Pos Lintas Batas kedua,” kata Gubernur Kalimantan Barat, Usman Jaffar, di Badau.

Usman Jaffar mengatakan PPLB Badau akan menjadi PPLB kedua yang dibuka setelah PPLB Entikong di Kabupaten Sanggau tahun 1991. Setelah pembukaan PPLB Badau, akan menyusul pembukaan PPLB Sajingan di Kabupaten Sambas dan PPLB Jagoi Babang di
Bengkayang.

Kini, PPLB Badau memang menjadi harapan masyarakat Kapuas Hulu—yang selama ini dapat masuk Serawak dengan surat keterangan Camat Badau—setidaknya menjadi harapan Bupati Kapuas Hulu.

Bahkan, Bupati Kapuas Hulu Abang Tambul Husin, mengatakan pembukaan PPLB berpeluang meningkatkan perekonomian Kapuas Hulu, yang terlalu jauh dari Pontianak. Jarak dari Kuching-Lubuk Antu-Putussibau sekitar 460 kilometer, bandingkan jarak Pontianak-Putussibau sekitar 750 kilometer.

Pernyataan Kapuas Hulu merupakan Kabupaten Konservasi dengan dua Taman Nasional yang mampu memikat turis, memang terus saja didengung-dengungkan. Meski tersirat bahwa Kapuas Hulu tidak lain, hanya menunggu limpahan turis dari Serawak!

Permasalahannya, apakah pembukaan PPLB Badau akan secara signifikan meningkatkan arus wisatawan menuju Kapuas Hulu. Apalagi, sarana dan prasarana wisata nyaris tidak dimiliki kabupaten ini.

Kemudian terdapat sederetan masalah yang harus diselesaikan dengan merevolusi alam berpikir dan bertindak di Kapuas Hulu. Masalah bersama yang harus diselesaikan secara tanggung-renteng oleh negara maupun masyarakat.

Masalah infrastruktur buruk, misalnya adalah masalah klasik yang tergantung anggaran negara maupun daerah. Tapi, keramahan yang kurang dan penegakan hukum yang lemah, memang menjadi hal yang patut dibenahi.

Padahal, ketika harus membandingkan, alam Serawak-Malaysia kalah indah dengan pesona alam di Kapuas Hulu. Apalagi, alam Serawak kini memang hanya didominasi perkebunan sawit.
***

Pertengahan Maret 2006, Kompas menginap di Hotel Hilton Batang Ai, Lubuk Antu, Serawak-Malaysia. Hotel yang dapat ditempuh hanya 20 menit dari perbatasan Serawak-Indonesia ini, dipadati wisatawan mancanegara dari Eropa.

Berkonsep long-house (rumah panjang)—arsitektur khas Dayak, hotel ini mengisolasikan para tamu di tepian Waduk Batang Air, bahkan bangunan utama hotel hanya dapat ditempuh dengan long boat selama 20 menit dari parkiran hotel.

Dua hal utama yang patut digarisbawahi, yakni tarif hotel yang murah bahkan bila dibandingkan Hotel Santika Pontianak, dan kegiatan out-door bagi turis yang diorganisir sangat profesional.

Mulai dari berjalan melihat senja, kayak di waduk Batang Ai yang dijadikan Pembangkit Listrik Tenaga Air, menyusuri sungai, memancing, hingga eksibishi sumpit, telah diatur dalam jadwal hotel. Tentunya, tiap paket outdoor dinilai dengan ringgit, yang berarti pemasukan tambahan bagi hotel.

Ketika sarapan pada pukul 07.00 waktu setempat, teramati beberapa pemuda Lubuk Antu berperilaku sopan, telah siap mengantar turis—yang seluruhnya memakai pakaian berbahan khaki warna cokelat muda. Sungguh, dalam hal pariwisata Serawak telah siap.

Bagaimana dengan kesiapan pariwisata di Kapuas Hulu? Kiranya, jauh dari sempurna. Hal utama diluar infrastruktur yang diperkirakan dituntaskan pengerjaannya tahun 2007—adalah ketiadaan standarisasi.

Tanpa standarisasi harga dan pelayanan, jangan harap Kapuas Hulu dilirik wisatawan asing. Karena mereka sangat berhitung dan cermat dalam melakukan penghitungan biaya perjalanan.

Sugeng Hendratno dari Masyarakat Pariwisata Indonesia (MPI) Kalbar, juga mengeluhkan ketidakprofesionalan guide lokal dalam pengalamannya menembuh belantara Putussibau.

“Seringkali, para pemandu lokal merubah harga dengan tiba-tiba di tengah hutan. Kalau tidak dipenuhi, mereka dapat saja pergi dengan seenaknya. Ini tentu pengalaman yang mencoreng pariwisata Indonesia dimata turis asing,” tandas Sugeng.

Jangan dibandingkan dengan sarana hotel di Kapuas Hulu, jauh dari memuaskan. Satu-
satunya hotel representatif di Putussibau, bahkan air di kamar mandi sering mati, dan pelayan restoran tidak dapat menjelaskan jenis ikan yang disajikan terkecuali hanya menyebutkan: ikan sungai!


Dan, yang paling menakutkan bagi wisatawan asing di Kapuas Hulu adalah perilaku mengemudi para sopir bus yang melaju hingga 100 km/ jam di ruas berkerikil (gravel). Seorang Kanada, bernama Tim Johnson, yang bersama Kompas melancong ke Putussibau pernah mengeluhkan hal ini.

Tahun depan, ketika infrastruktur sudah tuntas. Harusnya, Sumber Daya Manusia Kapuas Hulu sudah siap untuk menerima limpahan wisatawan dari Serawak. Bila tidak, kemajuan pariwisata di Kapuas Hulu, lagi-lagi hanya dapat dimimpikan.

Mendapat “limpahan” turis saja, lagi-lagi masih dimimpikan….

(HARYO DAMARDONO)

Read More..

Sunday, April 02, 2006


Sendiri….

“….Gue cuman mau ingetin aja,
Yang paling perih dari sendirian,
bukan pas kita lagi sedih.

Justru pas kita lagi ketawa senang,
tapi nggak ada orang yang bisa kita ajak ketawa….”

Penggalan dialog ini diucapkan Wishnu (Christian Sugiono) pada Levi Bahtiar (Restu Sinaga) di film Cinta Silver. Jujur dialog tersebut menampar-ku sekeras-kerasnya, hingga keseimbangan diri goyah dan ingin lari dari kenyataan.

Inti dari penggalan dialog itu, tentu saja sendiri-an. Pertanyaannya, apakah aku sendiri sehingga tertampar…? Entah… selalu saja sulit menjawab pertanyaan macam ini. Apakah aku sendirian bila di tiap pulau di archipelago ini, setidaknya ada satu orang yang mengenal dan jadi temanku.

Buat diri-ku,
buat apa kerja keras, buat apa mencari uang, buat apa mengeksistensikan-mengaktualisasikan diri, kalau toh sendiri… buat apa kulakukan semua itu…?!? buat siapa..?!?

Mungkin coretan singkat ini terbilang egois dan mengada-ada… orang mungkin juga bilang, pria macam apa yang mengalah dengan sepi. Toh, pastur, biksu, biksuni—hidup selibat tanpa mengeluh…

Para pengikut hidup selibat—yang berteman dengan sepi—bahkan nyaris tidak dapat tidur, karena mendedikasikan hidup-nya demi sesama. Tuhan—mungkin—bahkan berusaha merekrut sebanyak mungkin “penjala-penjala manusia” itu…

Entah-lah,
Aku mungkin memang tidak sendirian—dalam arti harafiah..
Tapi mungkin, merindukan seseorang...
merindukan pendamping….
merindukan orang untuk berbagi setiap saat…



_haryo damardono
April, 02, 06

PS. If u see my picture here, can u believe that I saw that sunset alone (without someone special) at Pasir Panjang, Singkawang, West Borneo… Justru pas kita lagi (ketawa) senang,
tapi nggak ada orang yang bisa kita ajak (ketawa) ….”


Neh, OST Cinta Silver.. top abizzz…

My Everything
Glenn Fredly feat. Red (OST Cinta Silver)

cruising when the sun goes down
i cross the sea
searching for something inside of me

i would find all the lost pieces
hardly feel deep in real
i was blinded now i see

* hey hey hey you're the one
hey hey hey you're the one
hey hey hey i can't live without you

reff:
take me to your place
where our heart belongs together
i will follow you 'coz you're the reason that i breath
i'll come running to you fill me with your love forever
promise you one thing that i would never let you go
'coz you are my everything

you're the one, you're my inspiration
you're the one kiss, you're the one
you're the light that would keep me safe and warm
you're the one kiss, you're the one
like the sun goes down coming from above all
to the deepest ocean and highest mountain
deep and real deep i can see now

Read More..

Saturday, March 11, 2006

PG TASIKMADU: TENAGA PRIMA, TEBU TIADA

Pabrik iki openono, senajan ora nyugihi, nanging nguripi, kinaryo papan pangupo jiwone kawulo dasih. (Pabrik ini peliharalah, meskipun tidak membuat kaya, tapi menghidupi, memberikan perlindungan, menjadi jiwa rakyat kecil).

Demikianlah pesan KGPAA Mangkunegara IV, satu-satunya pribumi yang menggagas keberadaan pabrik gula (PG). Visinya tegas! Keberadaan PG demi penghidupan rakyat kecil, misinya pun jelas, sebab PG di mana saja adalah proyek padat karya.

Ratusan hingga ribuan orang, mulai mekanik mesin, masinis lokomotif tebu, sopir truk, hingga pembabat tebu adalah serpihan faktor produksi sebuah PG yang menggantungkan hidupnya di situ. Mengepulnya asap dapur, di samping keberlanjutan ekonomi daerah, mau tak mau turut dipengaruhi sebuah PG.

Bicara tentang sejarah keemasan Mangkunegaran, maka keberadaan PG Colomadu yang didirikan 1861, dan PG Tasikmadu yang berdiri sepuluh tahun setelahnya menjadi bagian tak terpisahkan.

Singkap selubung kotak seng yang tersembunyi di belakang kantor Administratur PG Tasikmadu, Kabupaten Karanganyar, maka sebuah gerbong kereta bercat hijau buatan S Chavalier Constructe, Paris-Perancis, yang biasanya digunakan Mangkunegara IV untuk meninjau rakyat, menjadi saksi bisu zaman keemasan ini.

Telusuri pula rel-rel lori tebu yang kini tak lagi terpakai, niscaya sebuah bukti mengguritanya jaringan rel ke lahan-lahan petani tebu menjadi tidak terbantahkan. "Saya sampai merinding bila berkendaraan dari Tawangmangu ke Karanganyar dan menyaksikan jaringan rel lori yang tak terpakai. Hal ini menunjukkan dahulu industri gula pernah berjaya bahkan hingga diekspor ke luar negeri," kata Administratur PG Tasikmadu, Hanung Trihutomo, Juni 2004.

Memasuki bangunan utama pabrik yang bertuliskan PG Tasikmadoe maka lampu hijau diatas gerbang utama, serta asap putih yang mengepul dari cerobong utama PG, menjadi penanda aktifnya pabrik.

Sekitar 670 pekerja tetap dan kurang lebih 3.000 pekerja musiman PG memulai kembali kerja kerasnya selama tiga bulan musim panen raya tebu 2004, sedangkan mesin-mesin utama PG yang diproduksi Machinefabriek Gebr Stork & Co pada tahun 1926 dengan perkasanya mulai bekerja kembali. Bukan hanya menggiling tebu, tapi juga memasak, mencampur, dan mengkristalkan cairan tebu menjadi gula.

BAU kolonial -yang tak selalu harus berkonotasi negatif -ajaibnya masih tercium kental di PG ini. Panggilan administratur bagi kepala PG, masinis bagi kepala teknik PG, merupakan kultur sehari-hari yang belum terkikis modernisasi.

Bila Anda berdialog tentang nira atau gula kristal putih-hal demikian akan percuma, sebab pekerja PG takkan tahu hal itu. Bagi mereka nira adalah sap, gula kristal putih adalah superior hoof suiker (SHS), dan tebu adalah riet.

Bila Anda menanyakan di mana kepala pengolahan PG kepada pekerja pabrik, mereka akan bingung karena mereka biasa memanggilnya dengan Pak FC atau fabrikaat chef -atau dokter gula- demikian sebagian petani tebu menyebutkannya.

Bukti zaman keemasan gula Indonesia masih terekam dari peninggalan yang ada. Rumah tua administratur, lengkap dengan seperangkat gamelan dan meja biliar tua, lantas pedang-pedang tahun 1800-an dengan pelindung tangan, masih tersimpan di rumah satpam. Menurut asisten masinis Edi Suroso, turis-turis asing yang menyambangi PG ini, bahkan sering berupaya membeli alat-alat produksi PG bukan untuk mengolah tebu melainkan sebagai barang koleksi.
Hampir semua alat produksi nyaris tidak tersentuh pergantian zaman. Secara konkret hanya mesin utama pabrik yang direnovasi di tahun 1988/1989, lainnya tidak! Sekitar lima lokomotif tua dengan beban maksimal 24-30 lori, juga masih berseliweran, menaikkan tebu dari crane tebu di sisi selatan pabrik, lalu memasukkannya ke pelataran sisi timur PG.

Bukan main-main, loko tebu dengan mekanisasi ketel uap dan berbahanbakarkan ampas tebu (bal), ada yang berangka tahun 1910-an. Ambil contoh, loko nomor III berkekuatan 80 PK (paardekracht, tenaga kuda) diproduksi Orenstein & Koppel Arthur Koppel AG Berlin-Germany tahun 1913, serta loko nomor X berkekuatan 150 PK diproduksi Orenstein & Koppel AG Berlin-Germany tahun 1929.

WALAU demikian, Administratur PG Tasikmadu, Karanganyar, menolak mentah-mentah kalau PG ini dikatakan tidak mampu lagi bersaing mengolah tebu karena uzurnya alat produksi. "Kapasitas mesin giling kami sekitar 1.500 ton tiap hari sehingga menurut perhitungan dapat diberdayakan untuk memproduksi 450.000 ton tebu pada musim panen. Tapi, pada kenyataannya PG Tasikmadu kami proyeksikan di tahun 2004 hanya mengolah maksimal 350.000 ton tebu," katanya merujuk pada penurunan produktivitas dan produksi tebu dari petani.

Kini, kurangnya produksi tebu membuat pabrik ini tidak lagi memancarkan auranya. Hal sederhana, batang-batang tebu yang masuk pun, tidak berwarna hijau segar, melainkan cokelat kering.

PG Tasikmadu, yang pada awalnya sekitar tahun 1870 dibaptis dengan nama PG Sudokoro oleh Mangkoenegara IV juga menggantungkan diri sepenuhnya pada kemurahan hati petani. Sebab, dengan besaran lahan tebu PG Tasikmadu kurang lebih 5000 hektar, dari besaran lahan itu, hanya tujuh persen yang dimiliki PG, sisanya 93 persen dimiliki petani.

Sebelum tahun 1997, PTPN IX mempunyai 13 PG, namun selain karena kekurangan biaya operasional, lima dari ke-13 PG ini yakni PG Cepiring (Kendal), PG Banjaratma (Brebes), PG Colomadu (Karanganyar), dan PG Ceperbaru (Ceper-Klaten) juga ditutup karena kekurangan bahan baku.

Sedangkan, delapan PG yang masih beroperasi ialah PG Tasikmadu (Karanganyar), PG Jatibarang (Brebes), PG Pangkah (Tegal), PG Sumberharjo (Pemalang), PG Sragi (Pekalongan), PG Mojo (Sragen), PG Gondang Baru (Klaten), dan PG Tersana Baru (Brebes). Akankah Tasikmadu bertahan ataukah harus ditutup? (haryo damardono)

Read More..

Friday, March 10, 2006

SAAT FAJAR MEREKAH DI KEDUNG OMBO

NYASAR di Kedung Ombo? Itu biasa..... Kurangnya papan petunjuk ke lokasi wisata ini memang merupakan kritik terhadap pemerintah setempat.

Jika Anda bertanya kepada penduduk lokal, Anda akan dijawab, "Mau ke Kedung Ombo, Mas? Panjenengan sampai di Banyudono belok ke utara, Desa Sambi ke utara lagi, Simo belok ke timur, lalu ke utara, ke barat sedikit, terus utara lagi. Nah, sampai di Klego, bablas ke timur, lalu ke utara di kawasan Munggur, maka sampailah di Kemusu, tepian Kedung Ombo, dari arah selatan."

Persoalannya, mana timur, mana utara, mana selatan, mana barat! Bolehlah Anda melihat matahari untuk menentukan arah, namun bila di kawasan Candi Cetho, Karanganyar, persoalan jadi rumit, sebab dalam semenit saja mungkin lebih banyak kabut-nya dari terik mentari. Persoalan lain, tak semua desa secara fisik berbentuk desa, di samping banyaknya perpotongan jalan di sana. Mau belok ke timur, di mana?

Ini tak seharusnya jadi kritik kalau pemerintah setempat melakukan otokritik karena menyangkut potensi pelancong yang dapat digaet. Ini berarti pula peningkatan pendapatan asli daerah (PAD), selain pendapatan bagi warga setempat. Demikianlah, untuk mencapai Waduk Kedung Ombo membutuhkan perjuangan tersendiri. Padahal, potensi waduk seluas 4.600 hektar pada elevasi air normal, yang menggenangi sebagian tiga kabupaten, yakni Boyolali, Grobogan, dan Sragen, masih belum terjamah, masih perawan.

Keelokan alam Kedung Ombo dapat disaksikan dengan sederhana bila melintas di jembatan Klewor sepanjang 240 meter di kawasan Kemusu yang menghubungkan Desa Kemusu dengan Desa Genengsari di Kabupaten Boyolali. Bila Anda menyambangi kawasan ini pagi hari, berrhentilah sejenak di jembatan ini, maka kabut yang masih menggantung-melayang rendah di permukaan danau yang kadang tak beriak bak cermin, akan ditingkahi fajar yang merekah perlahan di ufuk timur.

Berbeda dengan Rawa Pening di Kabupaten Semarang, permukaan waduk ini benar-benar bersih, tanpa "pulau-pulau" eceng gondok. Pemandangan luar biasa terhampar, terlebih bila di sana-sini terlihat perahu nelayan hilir mudik menebar jala mereka. Di kejauhan juga terdapat keramba-keramba ikan air tawar yang berserakan di permukaan Kedung Ombo.

Di sisi lain, menyelami keelokan alam Kedung Ombo, kiranya akan disempurnakan pula dengan keberadaan tukang ikan bakar, sebagaimana kerap dijumpai di Desa Boyolayar, Sumberlawang, Sragen. Cukup membayar Rp 20.000, kenyanglah Anda! Namun, ada satu cara tepat "menemani" pengalaman "spiritual" menyaksikan keindahan Kedung Ombo secara fenomenal, yakni wisata tutur!

Trik terbaik untuk memulai wisata ini adalah sapalah penduduk setempat sembari menunjuk tonggak-tonggak pohon yang muncul di permukaan air di tepi waduk. Siapa tahu Anda dibawa keliling desa, menyusuri tepi waduk sembari menceritakan ihwal air yang perlahan menenggelamkan ratusan desa, lahan petani, dan hutan rakyat.

Bila beruntung, mereka akan menawari Anda segelas teh pahit hangat sembari duduk di beranda belakang rumah yang dibangun pemerintah sebagai kompensasi penenggelaman desa mereka. Lantas, mereka akan bercerita apa saja, sembari menunjuk ke tengah waduk dan memandang getir ke bekas makam yang timbul akibat elevasi air waduk yang mulai surut.

Kini, wisata Kedung Ombo mulai digarap serius terutama oleh Pemerintah Kabupaten Sragen. Bila ada waktu, jambangilah Desa Boyolayar, Kecamatan Sumberlawang, Sragen. Di tepian danau "atas prakarsa Bupati Sragen H Untung Wiyono" dibangun hotel berbintang di atas lahan empat hektar di sebuah tanjung Boyolayar. Pemandangan eksotis, olahraga air, dan rerimbunan hutan milik Perhutani menjadi daya tawar wisata Kedung Ombo.

Di kawasan ini pula, beberapa waktu lalu, akan dibangun sirkuit balap mobil, motocross, pacuan kuda, dan taman safari. Saat ini, tiba waktunya menyulap Waduk Kedung Ombo dari bencana menjadi berkah, terutama bagi penduduk Kedung Ombo yang sekian lama tersisihkan oleh proyek yang ada di sekitar permukiman mereka. (haryo damardono)

Read More..

SANGIRAN DOME, KEPINGAN ASAL MANUSIA

"Apa gue bilang!" demikianlah mungkin Charles Darwin, penulis The Origin of Species pada tahun 1859 akan berteriak, saat situs bersejarah Sangiran ditemukan. Namun apa daya, dia telah wafat ketika pada tahun 1936-1939 ditemukan rahang bawah maupun atap tengkorak manusia purba, di tepian Sungai Cemara, Sangiran, yang oleh G. H. R. von Koeningswald diklasifikasikan sebagai Pithecanthropus II.

Dan, terbukalah mata dunia ketika itu, yang tertuju pada Sangiran di Kabupaten Sragen, Jawa Tengah. Berkunjung ke Sangiran, tak sekadar menikmati segarnya udara dan pemandangan alam, tetapi seolah menyaksikan perjalanan hidup-evolusi manusia.

Bila pelancong tiba di sana, alam begitu menawan. Berdirilah di tepian cekungan Sangiran, maka lembah hijau menghampar. Namun, apa yang terkandung di dalam tanah, ataupun apa yang tersingkap dari erosi tanah sangatlah spektakuler dibanding alam di muka Bumi. Betapa tidak! Fosil dari ratusan ribu hingga jutaan tahun yang lalu seolah "muncul" kembali ke permukaan.

SITUS wisata Sangiran merupakan kawasan konservasi kepurbakalaan yang terletak sekitar 20 kilometer utara Kota Surakarta. Situs Sangiran ini berada dalam kawasan seluas 56 kilometer persegi, sedangkan di Sangiran Dome yang merupakan wilayah konservasi inti, terdapat pelarangan pembangunan memiliki luas sekitar 30 kilometer persegi.

Perjalanan menuju Sangiran dapat ditempuh dengan mudah. Dari pagi hingga petang, puluhan bus baik ukuran sedang maupun besar, hilir-mudik sepanjang jalur Solo-Purwodadi. Sebelum mencapai Kota Gemolong, yang telah ditetapkan sebagai ibu kota kedua, second capital Sragen, berbeloklah ke arah timur tepat di perempatan Kalijambe menuju ke jantung Sangiran. Dari jalur utama Solo-Purwodadi, Sangiran Dome dapat dicapai sejauh kira-kira tiga-empat kilometer dengan kondisi jalan bergelombang.

Ada dua pilihan utama ketika tiba di situs Sangiran. Berbelok sedikit ke utara menaiki tebing Sangiran Dome menuju menara pandang Sangiran, ataukah langsung menuju timur memasuki cekungan Sangiran mengunjungi Museum Sangiran.

Bila pilihan jatuh menyambangi menara pandang Sangiran, maka bersiaplah mendaki menara setinggi 11 meter. Dari atas menara, pelancong dapat melayangkan pandangan sebebas dan sejauh mungkin, walau patut disayangkan tak terdapat sebuah teropong pun untuk membantu penglihatan.

Selain itu, rencana untuk memasang bendera-bendera sebagai petunjuk lokasi penemuan fosil pun belum terealisir. Tepat di bagian timur menara pandang, terdapat pula sebuah bangunan joglo luas, yang dipersiapkan sebagai tempat beristirahat, serta akan dipromosikan untuk wisata homestay.

Sebaliknya, apabila pelancong memutuskan langsung menuju Museum Sangiran, kira-kira 300 meter timur menara pandang, berhentilah terlebih dahulu di depan Sekolah Dasar (SD) Krikilan, Ngampon, Kecamatan Kalijambe. Setelah itu, tengoklah kepala Anda ke arah kanan, dan tepat di seberang areal persawahan akan tampaklah singkapan tanah akibat erosi seusai hujan.

"Tanah yang tererosi hujan itu menampilkan lapisan tanah yang masih terjaga baik dari lapisan Pucangan. Lapisan terbentuk dari lempung hitam yang diendapkan di rawa, serta dapat diamati pula lapisan tufa vulkanik yang sangat halus dan lapisan alga silika yang diendapkan di daerah muara. Lapisan tanah ini pun berusia sekitar 1,2 juta tahun-700.000 juta tahun,- kata petugas Museum Sangiran, Nining.

Di lokasi tersebut, banyak ditemukan binatang-binatang laut yang mempertegas bahwasannya cekungan Sangiran dulunya merupakan perairan dangkal, yang terangkat menjadi sebuah danau purba, dan akhirnya menjadi sebuah daratan di tengah pulau Jawa.

Menurut Nining, singkapan Krikilan ini hanya satu dari sekian banyak situs penemuan, yang antara lain terdapat pula di singkapan tanah dekat dam Kali Cemoro. Seusai menyaksikan situs Krikilan, melajulah ke timur hingga pusat desa dan berbeloklah kembali ke kanan-ke arah selatan, maka sampailah pelancong di Museum Sangiran. Setelah menaiki puluhan anak tangga hingga mencapai puncak bukit di mana museum berada, masukilah Museum Sangiran dengan sajian pemandangan kepurbakalaan berupa Gading Stegodon Trigonocephalus.

Harap diingat: Gading ini bukanlah hasil penyimpangan sejenis penyakit pada kepala, melainkan gading binatang purba yang berukuran empat meter. Gading tersebut ditemukan di Dukuh Blimbing, Desa Cangkol, Kecamatan Plupuh, Kabupaten Sragen, dari endapan Kabuh Bawah. Selain itu, terdapat pula puluhan fosil yang tersimpan dalam tiga ruangan.

Menurut Kepala Museum Sangiran Roesmulya, dalam waktu dekat akan dibangun museum dengan diorama dan convention hall di bawah tanah. Dia pun membuka pintu gudangnya dan menunjukkan puluhan fosil yang belum bisa dirangkai dan dipertontonkan. "Sangiran dalam waktu dekat akan memiliki museum yang lebih representatif," kata Roesmulya.

Pengunjung menyaksikan pemandangan indah dari pusat Sangiran Dome terhadap suksesi stratigrafi. Tanpa sadar, berdirilah saya di atas bukit breksi vulkanik tua berusia 1,8 juta tahun, dan bukan mustahil di bawah telapak kaki, bersemayam tengkorak-tengkorak leluhur kita. (haryo damardono)

Read More..

MENIKMATI GROJOGAN SEWU DI KAKI GUNUNG LAWU

"PINDAHKAN kendaraan Anda agak menjauh! Jangan diparkir terlalu dekat di gerbang masuk taman wisata," kata petugas Taman Wisata Alam Grojogan Sewu memperingatkan.

Bukan tanpa sebab dia berkata demikian, pasalnya gapura dan bangunan loket karcis tersebut termasuk teritori "kekuasaan" monyet-monyet berbulu kelabu yang merupakan salah satu "kekayaan" Grojogan Sewu. Dan, tanpa tedeng aling-aling, para monyet dapat begitu saja menorehkan kukunya di jok motor ataukah cat mobil.

Ibarat penyedap rasa, para monyet hanyalah satu unsur "kenikmatan" alam Grojogan Sewu, yang terletak di Kelurahan Kalisoro dan Kelurahan Tawangmangu, Kecamatan Tawangmangu, Kabupaten Karanganyar, sekitar 40 kilometer tenggara Kota Surakarta.

Menyaksikan mereka bertingkah tak ubahnya manusia, itu merupakan hiburan tersendiri. Sementara itu, sajian utama adalah air terjun-atau grojogan-demikian orang Jawa berkata, dan keindahan hutan alam taman wisata ini.

Air terjun spektakuler di Pulau Jawa ini, berketinggian 81 meter. Superb! Bahkan, beberapa puluh meter dari inti grojogan, butir-butir air masih sanggup memercik di muka Anda. Di dataran tinggi kawasan ini, tempat di mana berton-ton air jatuh bebas mengempas bumi, pepohonan masih tumbuh dengan asrinya. Hijaunya lumut ditambah dengan udara yang sejuk di ketinggian 1.100 meter di atas permukaan air, menyitir salah satu produk iklan-seakan membuat hidup menjadi lebih hidup.

Selain itu, di bagian utara air terjun utama, mengalirlah pula beberapa riam sehingga layaklah air terjun ini diimbuhi kata sewu-yang berarti seribu. Selain monyet berekor panjang, yang dapat dijumpai juga tupai dan berbagai jenis burung. Sekali waktu, populasi monyet mencapai jumlah yang disangka melebihi daya dukung ekosistem sehingga untuk periode 5-10 tahun sekali di Grojogan Sewu, dipasanglah perangkap monyet.

Monyet yang tertangkap akan dipindahkan ke beberapa lokasi, di antaranya ke Solo dan kawasan hutan lindung Pantai Pangandaran, Jawa Barat. Saat ini, populasi monyet diperkirakan mencapai 100 ekor. Vegetasi tumbuhan yang dapat dijumpai di antaranya adalah pohon pinus, pohon damar, pohon kaliandra, pohon puspa, dan pohon bendo yang berukuran besar.

Tak usah banyak berpikir, segeralah berkemas, dan berkelana ke Grojogan Sewu! Jarak 40 kilometer dari Surakarta hingga Pasar Tawangmangu, dapat ditempuh dengan bus besar hanya dengan membayar Rp 3.500 tiap orang. Dari Pasar Tawamangu menuju lokasi Grojogan Sewu dapat dijangkau dengan Mitsubishi L 300 seharga Rp 1.000 per orang.

Surakarta-Grojogan Sewu pun dapat ditempuh selama satu jam perjalanan. Tetapi, kendalanya adalah bus-bus tersebut hanya beroperasi hingga pukul 17.30-18.00. Pelancong yang kemalaman dapat menyewa mobil seharga Rp 100.000 berpenumpang sembilan orang menuju Surakarta.

Kawasan wisata Grojogan Sewu dilengkapi pula berbagai penginapan bagi pelancong, baik yang kemalaman maupun sengaja bermalam. Tarifnya berkisar Rp 30.000-Rp 500.000 tiap malam. Jangan terlalu memaksakan diri mencari kamar dengan pendingin ruangan, malah air panas-lah yang merupakan kemewahan di sini.

Menurut petugas Taman Wisata Grojogan Sewu, Wanto, rata-rata setiap hari air terjun ini disinggahi sekitar 1.200 pengunjung. Namun, tentu saja jumlah ini fluktuatif dari hari ke hari. Pada akhir pekan, kawasan wisata ini dipadati 3.000-5.000 pengunjung.

Hanya dengan membayar Rp 4.000 tiap individu, kawasan wisata seluas sekitar 20 hektar dari 65 hektar kawasan konservasi dapat dijelajahi, termasuk di dalamnya kesempatan bermain air maupun berenang di dua kolam renang tanpa dipungut bayaran lagi, terkecuali untuk penyewaan pakaian maupun ban renang.

Berkuda juga dapat dijadikan alternatif hiburan. Pelancong dapat berkuda selama satu jam dengan membayar Rp 25.000, berkuda menuju kawasan air terjun seharga Rp 40.000, ataupun berkuda menuju Terminal Tawangmangu dengan hanya membayar Rp 15.000.

Uniknya, menurut informasi warga setempat, kuda pun dapat disewa untuk mengantar hingga ke Candi Sukuh dengan membayar Rp 100.000 sekali jalan. Dan, tak terlupa kuda-kuda tersebut dapat pula disewa menuju puncak Gunung Lawu dengan membayar Rp 500.000! Nah, Anda ingin mencoba? (haryo damardono)

Read More..

SWIKE PING PURWODADI, ADA SEJAK 1901

Restoran sederhana di Jl Kolonel Sugiono, Purwodadi masih dibanjiri pelanggan meski jarum jam menunjuk angka 21.00. Pelanggan silih berganti berdatangan seraya bertanya, "Masih ada?" sebelum mendarat di kursi makan. Aroma kuat menyengat dari kuah-kuah makanan yang mengepulkan tirai asap tipis.

Tepat di depan restoran terdapat patung kodok. Binatang kodok? Ya, mengapa tidak? Mungkin kodok salah satu binatang terpopuler di dunia termasuk di Indonesia. Yang jelas, di tangan-tangan terampil, dan lidah-lidah mumpuni wong Purwodadi, kodok diolah sedemikian rupa menjadi hidangan lezat. Tak heran terasa asing mencantumkan kata "swike" tanpa petunjuk lokasi-Purwodadi.

Malam itu, pemilik swike "Ping" Indah Lestariningsih menginstruksikan sederetan menu-menu makanan yang harus dipersiapkan demi memenuhi hasrat kuliner para pelanggan. swike kuah, kodok goreng tepung, kodok goreng mentega, pepes kodok, dan rambak kulit kodok adalah sederetan menu utama.

Indah Lestariningsih adalah pewaris bisnis keluarganya di bidang kuliner swike. Sebagai generasi ke-5, restorannya menempati lahan di mana dahulu kakek buyutnya berdiam, meracik bumbu, dan menguliti kodok, sebelum melangkahkan kakinya menapaki jalan-jalan kota Purwodadi, memikul dan menjajakan dagangan masakan swike.

"Saya generasi penerus kelima yang masih berjualan swike. Meski saya keturunan kakek buyut, pionir penjual swike di Purwodadi sejak tahun 1901, saya tak berkesempatan bertemu beliau. Tapi tak jadi soal karena toh keahlian meracik bumbu dan memasak swike diturunkan dari generasi ke generasi," kata Intan yang bernama asli Tjan Ping Nio.

Kini, swike Ping Purwodadi tak hanya dapat dinikmati di Purwodadi. Berkat jaringan keluarga, swike ini dapat dinikmati di Jl Imam Bonjol, Semarang, Jl Diponegoro, Yogyakarta, dan Jl Yos Sudarso, Solo. Restoran buka tiap hari pukul 08.00-21.00. Soal rasa? Menurut pemilik restoran swike Ping Semarang Oei Giem Nio (61), tak beda. Dia mengatakan, hampir tiap hari bumbu-bumbu swike, termasuk kodok-kodok yang akan dimasak, dipasok langsung dari Purwodadi sehingga standarisasi rasa tercapai.

Penikmat swike kuah yang diracik dengan bumbu tauco, bawang merah, irisan jahe, plus bonus aroma kuah menyengat ditingkahi uap bumbu yang harum, dapat menikmati menu kodok hanya dengan Rp 7.000 tiap porsi. Sedangkan kodok goreng tepung dan kodok goreng mentega yang dimasak dengan bumbu bawang putih, merica, bumbu wijen, dan kecapasin, per porsi Rp 8.000.

Menurut Oei Giem Nio, khusus kodok goreng tepung dan kodok goreng mentega, para pelanggannya sering memesan dalam jumlah banyak, sekitar 50-100 bungkus untuk dibawa sebagai oleh-oleh dan penawar rindu akan tanah air untuk kerabat ataupun sahabat, baik ke Singapura maupun Hong Kong. Kodok-kodok itu akan dimasukkan dalam freezer, kemudian dikukus setibanya di tujuan.

Ada pula kodok pepes seharga Rp 3.000 tiap porsi yang diolah dengan bumbu kemiri, kemudian dibakar. Bagi penggemar fanatik kerupuk, yang serasa tak bersantap bila tak menikmati mengunyah dengan sensasi keriuk.. keriuk..., tersedia kerupuk rambak kulit kodok seharga Rp 2.000 tiap kantung.

Oei Giem Nio mengatakan tak ada rahasia khusus mengolah kodok, hanya saja membersihkan jeroan dan isi perut kodok perlu dilakukan dengan benar. Bahan dasar kodok dapat dicari di mana-mana, tak harus dari Purwodadi. Hanya saja dia mengingatkan, kodok dari Cepu cenderung liat dan kenyal dagingnya sehingga membutuhkan waktu lebih lama untuk memasak. (RYO).

Read More..

Thursday, March 09, 2006

Kisah Di Balik Koin China Kuno..

Dalam diskusi di Balai Soedjatmoko, Ketua Kamar Dagang dan Industri Surakarta, Hardono mengungkapkan kejengkelan diperdaya guide Belanda. "Saya dibodohi ketika ditunjukkan the smallest home, yang sesungguhnya biasa menurut ukuran rumah di Solo, padahal telah membayar 10 euro," katanya.

Sepenggal cerita diungkapkan, menunjukan keberhasilan pelaku pariwisata Belanda mengemas situs wisata. "Dalam paket Eurotour, sebuah negara menyuguhi situs wisata berupa jembatan. Namun, yang luar biasa cerita sang guide, di sana kerap kali terjadi pasangan kekasih bunuh diri akibat cinta yang dilarang," kisah Hardono.

"Bayangkan, situs biasa dengan bumbu cerita luar biasa, menjadi luar biasa," tandasnya. Hardono mempertanyakan konsep pariwisata Indonesia, ketika situs yang dapat "dijual" sedemikian unik dan banyak, namun pengemasan amat minim. Menurut pengalamannya, publikasi maupun pengemasan yang terarah merupakan syarat mutlak bagi keberlangsungan pariwisata.

Terkadang, pemaknaan bahkan jauh lebih penting daripada fisik situs itu sendiri. Premis obyek sebagai saksi bisu zaman, namun bila digali dapat "bercerita" banyak, dapat disaksikan pada film Timeline, diangkat dari novel Michael Crichton. Mengambil setting lokasi di tepian Sungai Dordogne, Perancis, pada awalnya film berkisah tentang sebuah patung pasangan kekasih.

Pertanyaan mendasar diajukan para arkeolog, tentang makna di balik pembuatan patung. Pekan lalu, pada areal persawahan milik Sukiyo Haryono, di Dukuh Gelangan, Kelurahan Dukuh, Kecamatan Sukoharjo, ditemukan 20 kilogram uang kuno beraksara China. Uang itu ditempatkan dalam tempayan kuno yang hancur saat diangkat dari kedalaman 20 sentimeter dibawah permukaan tanah.

Dalam semalam, kediaman Sukiyo didatangi ribuan warga sehingga uang kuno tersebut segera diamankan di Polres Sukoharjo. Banyak spekulasi kisah dimunculkan, meski belum tentu bermuara pada kebenaran. Penemuan itu terjadi di sebuah lahan persawahan yang kini mengering dan digali untuk tanah uruk.

Sukiyo -sang penemu- menandaskan kemunculan uang kuno dimaksudkan untuk menuntaskan "penderitaan" rakyat Jawa. Konsep kedatangan "ratu adil" dari alam metafisis terpancar kuat dari tutur Sukiyo saat bercerita. Bahkan, dia mengaku didatangi seorang putri cantik berpakaian hijau yang menanyakan keberadaan uang kuno itu.

"Saya memang sengaja tidak menyimpan sendiri uang kuno itu sebab bisa jadi penemuan ini merupakan ujian dari 'penguasa' metafisis kawasan ini. Apakah saya tergoda dengan harta duniawi," ujar Sukiyo yang sering tirakatan ke berbagai kawasan spiritual.

Sejarawan UNS, Soedarmono SU, dengan tegas menolak pendekonstruksian sejarah dengan mitos. Terkait penemuan uang kuno di Sukoharjo, dia meyakini pasti ada jawabnya. Tanpa melakukan rekonstruksi lapangan, hanya melihat dari bentuk fisik, ditambah pengamatan Kompas, yang "menemukan" Bengawan Solo asli berjarak 100 meter dari situs penemuan (karena pelurusan oleh Departemen Pekerjaan Umum, kini Bengawan Solo berjarak 1.000 meter dari situs tersebut), Soedarmono menduga uang kuno atau kepeng itu bukti penetrasi perdagangan bangsa China, sejak dahulu kala.

"Dulu, kawasan Sukoharjo -kini dikenal situs Majasto- dijadikan salah satu basis pemerintahan Joko Tingkir yang kemudian dikenal dengan Sultan Hadiwijaya, penguasa kerajaan Pajang. Maka, penemuan ini mau tidak mau harus dikaitkan dengan situs Majasto yang diperkirakan berada dalam periodisasi 1300-an, pada masa Majapahit akhir," kata Soedarmono.

Alasan logis dimilikinya angkatan perang kuat oleh Joko Tingkir, menurut Soedarmono, adalah dikuasainya pusat perdagangan berskala internasional. Maka tidak mustahil, keberadaan bandar di tepian Bengawan Solo, wilayah Sukoharjo, sebagai pendukung perdagangan.

Pada gilirannya, dalam penelusuran Soedarmono, pusat perdagangan yang melibatkan bangsa China, bergeser ke utara menempati kawasan- kini dikenal dengan Kota Solo. Penelusuran ini menegaskan keberadaan pecinan di Solo, yang sesungguhnya jauh lebih tua dari Keraton Surakarta Hadiningrat yang baru berdiri pada periode 1700-an.

Kini, uang kuno tetap tersimpan di gudang Polres Sukoharjo. Iptu Agus Setiyono menandaskan, polisi telah menghubungi Dinas Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala, meski belum ada isyarat mereka akan datang. Soedarmono tak menyalahkan ketidakhadiran Dinas dimaksud sebab terdapat kemungkinan rendahnya kadar keantikan uang kuno tersebut.

Di tengah rendahnya apresiasi terhadap penemuan tersebut, atas dalih apa pun, kiranya bila uang kuno dapat meratap, bukan mustahil dia iri pada stakeholders sejarah dalam film Timeline.

Mereka berada dalam satu ruang waktu, terdapat pula kesamaan sebagai hasil peradaban tepian sungai, tetapi generasi masa kini yang menemukannya memiliki perbedaan perlakuan. Bukan mustahil bila dikelola atau "dikemas" oleh ahlinya, uang kuno itu bukan hanya dapat menceritakan peradaban masa lalu, namun juga dapat "dijual" dalam bentuk film. Apa mungkin? (Haryo Damardono)

Read More..

PEMANDIAN LANGENHARJO, MESTIKA TERPENDAM...

Berada di sisi utara Bengawan Solo, tepatnya di Desa Langenharjo, Kecamatan Grogol, Sukoharjo, Pesanggrahan Langenharjo didirikan hanya sekitar 50 meter dari bibir Kali Bengawan Solo, yang kini dibentengi tanggul kali. Sebelum diberi tanggul, bila musim hujan, air akan menggenangi halaman pesanggrahan hingga langkan pendapa.

Renovasi Pendapa Prabasana dan bangunan pesanggrahan yang disebut Kuncungan dilakukan setahun lalu. Renovasi seluas 480 meter persegi telah menimbulkan efek visual baik dan memunculkan jati diri pesanggrahan sebagai sebuah mestika terpendam. Namun, pemandian air hangat-sebagaimana digembar-gemborkan papan petunjuk pariwisata, dari Solo Baru hingga Sukoharjo-malahan tidak terawat.

Pesanggrahan Langenharjo dibangun Susuhunan Paku Buwono (PB) IX pada tahun 1870. Meski demikian, keberadaan pesanggrahan ini tidak terlepas dari kebesaran PB X, yang memerintah menjadi Raja Surakarta sejak Kamis Wage, 30 Maret 1893 hingga tahun 1939. Tertera jelas di dinding pemandian air hangat, tulisan PB X 15-7-1931 sebagai pihak penyelesai persanggrahan.
Tak jelas motif di balik pendirian berbagai bangunan monumental oleh PB X, namun serakan artefak peninggalan PB X sangat banyak. Jauhnya jarak bukan masalah besar, sebab menurut Kuntowijoyo pada tahun 1907, PB X telah memiliki sebuah mobil. Namun, artefak itu tidak terawat. Ini sangat kontras dengan renovasi permandian Tamansari milik Kasultanan Yogyakarta yang dibantu Pemerintah Portugal.

Menurut Kuntowijoyo dalam buku Raja, Priyayi, dan Kawula, PB X sengaja membuat simbol kultural lantaran dikekang Belanda. Secara tersirat dikatakan, bangunan keraton-dan bangunan lain milik keraton-tidak dapat dilihat dari sisi arsitektur semata, melainkan bermakna sebagai tuntutan bagi gusti maupun kawula, baik di dunia atau akhirat.

Maka, layaklah bila ruangan khusus bernama Sanggar Pamujan di sana dan sering digunakan raja bermeditasi, mencari ilham dan wahyu, dalam memutuskan sesuatu berhubungan dengan raja atau masyarakat.

Menurut juru kunci Mbah Suwito, bila malam Selasa Legi atau setiap malam Jumat, banyak pengunjung tapa brata di depan Sanggar Pamujan. Saat Kompas berkunjung, sepasang manusia hanya memakai kain batik yang dililitkan, melakukan tapa brata -padahal saat itu siang bolong.

Berkelana menuju Pesanggrahan Langenharjo yang terletak 10 kilometer sisi selatan Solo, relatif mudah. Sebab, pada jalur utama Solo Baru berseliweran bus jurusan Jakarta-Wonogiri. Setelah menjejakkan kaki di kota satelit Solo Baru, Sukoharjo, tiap pengelana dapat menaiki ojek menuju Langenharjo.

Apa yang ditawarkan dari pesanggrahan ini? Mbah Suwito mengatakan ada dua, yakni wisata spiritual dan kesehatan. Ketika menjejakkan kaki di pesanggrahan, pemandangan spiritual tersaji, yakni patung Kyai Rajamala (Dalam tradisi Mataram, Kyai Rajamala, patung yang diletakkan di haluan perahu raja). Patung ini berasal dari periode PB IX yang diukir Ki Ageng Seto.

Lalu, ndalem ageng dan Pendapa Pungkuran, serta Sanggar Pamujan tempat raja bersemedi yang kini hanya boleh dimasuki kerabat PB. Di sayap bangunan utama terdapat keputren, kesatrian, gudang senjata, dan ruang tamu, yang rencananya direnovasi.

Di halaman belakang Pesanggrahan terdapat ruangan permandian dengan enam kamar mandi, dilengkapi bathtub dari zaman PB X. Uniknya, di bathtub ini dialirkan air belerang dari sumber Langenharjo yang dipercaya menyembuhkan penyakit. Tiap pengunjung berendam dengan membayar Rp 1.500. Air itu tak lagi hangat walau berkhasiat sebab menurut Suwito pipa-pipa di bawah tanah bocor sehingga uap keluar.

Kini, putra PB XII, GRM Suryo Suseno atau KGPH Kusumoyudho, anak dari garwa ampil Pradapaningrum, mendiami Pesanggrahan Langenharjo. (HARYO DAMARDONO)

Read More..

WILUJENGAN KEMERDEKAAN DI CANDI SUKUH

PENDUDUK Desa Berjo menapaki jalan menanjak, diterangi obor, menuju Candi Sukuh, Sabtu (14/8) menjelang tengah malam. Candi Hindu di Kecamatan Ngargoyoso, Kabupaten Karanganyar, di lereng Gunung Lawu itu, yang dibangun tahun 1430, seolah hidup lagi.

CANDI Sukuh memang sempat ditelantarkan. Kali ini, Dinas Pariwisata Kabupaten Karanganyar menjadikannya sebagai lokasi wilujengan peringatan Hari Kemerdekaan Ke-59 Republik Indonesia. Kepala Dinas Pariwisata Karanganyar Ignatius Joko Suyanto, dengan pakaian adat bercorak Bali duduk di pelataran candi, menghadap nasi tumpeng dan dupa yang menghantarkan bau harum semerbak. Ditemani tetua desa dan Budayawan Suprapto Suryodarmo, mereka memanjatkan puja-puji pada Sang Khalik, Sang Pencipta.

Keselarasan tercipta tatkala semua yang hadir bersimpuh di seputaran lingga-yoni dan relief candi yang melakonkan petikan kehidupan-reproduksi manusia-dalam gambaran asli. Seusai fragmen transenden demi keselamatan bangsa setahun mendatang, lighting memukau menghujani Candi Sukuh, yang malam itu tampak sangat megah.

Suasana yang masih hening pun, tiba-tiba "diganggu" petikan siter dan gesekan lembut rebab. Sesosok manusia-penari Mugiyono Kasido-menaiki batu berbentuk kura-kura, bersila, bersimpuh, lalu diiringi suara gamelan membahana, dia memperkasakan diri tegak berdiri, seumpama Bima, sosok yang juga tampil dalam aksi erotis di relief Candi Sukuh.

Mugi pun seolah trance dalam menari ketika mengembara "mencari mata candi", mencari pemaknaan di balik berdirinya suatu candi. Menurut Mugi, pendirian candi adalah pencarian manusia kepada Sang Pencipta, terlebih pencarian manusia terhadap dirinya sendiri.

"Candi itu ibaratnya perpustakaan. Bila manusia ingin mengetahui asal-muasal dirinya, hendaknya dia "membaca" candi, dengan membuka tabir misteri dari berbagai 'mata', entah makna filosofis cerita pada relief, makna kosmos arsitektur candi, dan budaya masyarakat setempat di mana candi didirikan," ujarnya.

Dengan gunungan di tangan, Mugi meliuk-liukkan tubuhnya di sela-sela bebatuan candi. Gunungan (kayon) sebagai perlambangan jagad, di tangannya menjadi batas masa depan dengan masa lalu. Ketika manusia berniat menjadi "mata candi", mencari asal usulnya, dia harus berani melewati "batasan" yang diciptakan gunungan itu. Kadangkala Mugi tampak marah dalam pengembaraannya sehingga bebatuan candi menjadi merah "membara" dihujani lampu sorot, diiringi permainan gamelan yang menggila pula.

Sosok Mugi pun terproyeksi lampu di dinding candi hingga dia seolah raksasa yang hendak membenamkan candi dengan bentuk piramida terpancung itu. Mengenakan topeng Syiwa, Mugi hendak pula mengingatkan akan kedekatan manusia masa lalu, dengan candi sebagai perlambang Sang Khalik.

Meminjam bahasa Mugi, candi bukanlah sekadar onggokan batu. Dalam konteks kepariwisataan, ketika candi hanya dipandang sebagai batu, dia karya arsitektur belaka. Namun, jika disertai pemahaman terhadap makna relief candi, dia akan dijadikan lokasi pengembaraan pengunjung. Pada gilirannya nanti, siapa pun dapat meresapi "jiwa" candi serta mau berdiam beberapa lama di situs itu, dan inilah daya tarik utama wisata yang memberi makna, bukan sekadar "cuci mata" belaka.

Terkait peringatan kemerdekaan Indonesia, pencarian Mugi terhadap "mata candi", seumpama pencarian rakyat Indonesia terhadap pendirian negara ini. Bila Mugi bersedia berhenti berlari, dan sejenak menengok ke masa lalu dengan kontaprestasi jati diri yang makin mantap, mengapa kita tidak! Selamat berulang tahun, Indonesia.... (RYO)

Read More..

"MENIKMATI" STRAWBERRY WILD, DI MANAKAH CINTA...?

PEOPLE killin 'people dyin'/ Children hurt and you hear them cryin'/... Father, Father, Father helps us/ Send us some guidance from above/ Where is the love... di manakah cinta?

DEMIKIAN lantunan ratusan lelaki-perempuan yang tumpah-ruah di Music Room Hotel Quality, Solo, dalam gelar Ladies Domination Part III. Pagelaran sebulan sekali ini memasuki minggu ketiga, dan patut diacungi jempol dari sisi kuantitas pengunjung di tengah makin sepinya hiburan malam di Kota Solo.

Tujuh personel Flavour Band, yang dikomandani vokalis Thomas, langsung menghangatkan suasana dengan lagu R&B dan Top 40, yang memang diset berfrekuensi sama dengan selera musik generasi muda di kota besar mana pun. Thomas, Ratih, dan Jacklin sebagai vokalis, bassist Ari, gitaris Sendy, drummer Bayu, dan Dhikri malam itu menjadi dewa bagi seluruh penduduk Musro.

Raise your finger, knock your head, and jump! Apa pun perintah Thomas, serta merta diikuti ratusan pengunjung. Sederetan syair, gebukan perkusi, atau petikan gitar adalah sumber energi baru bagi mereka. Pasangan yang menyembunyikan diri di sudut Musro pun tak kuasa menahan anggukan kepala, hentakan kaki, atau sekadar memainkan jari pada pegangan kursi. Sembari menandak, meloncat, dan menghentakkan kaki, tiada lagi lirik lagu yang meresap pada diri mereka.

"People killin 'people dyin'/ Children hurt and you hear them crying," lantun mereka. Akankah suara anak yang menangis dan memori manusia yang terbunuh, entah oleh peperangan atau kelaparan, terproyeksi ke retina lantas terdistribusi ke otak mereka?

"Father, Father, Father helps us...," rintih mereka, mungkin tanpa disadari bahwa "Father" dalam syair ini dimaksudkan musisi Black Eyed Peas sebagai Bapa di Surga, Yang Maha Kuasa. Bukan ayah duniawi Musro Lovers, yang berusia belasan tahun, yang membayari premium mobil atau pulsa telepon genggam mereka.

"Send us some guidance from above/ Where is the love...," pastinya lirik yang meminta petunjuk dari Allah takkan teresapi. Sebab, saat lirik Where is the love diteriakkan beramai-ramai seluruh Musro, inilah saat rokok dicabut dari sela bibir, kedua tangan diangkat tinggi-tinggi ke udara, gelas bir diletakkan, dan sekali lagi Where is the love dibumbungkan ke atmosfer Musro.

Malam itu, perempuan muda berpakaian merah, baik pada atasan maupun bawahan berseliweran. Makin merah, makin sensual, dengan potongan pakaian yang makin minim semakin diperhatikan orang. Dengan berpakaian merah, sesuai tema Strawberry Wild, perempuan yang merupakan empunya Ladies Domination, terbebas dari cover charge Rp 40.000 setiap orang, belum termasuk biaya minuman.

"Mungkin mereka layak menikmati hiburan semacam ini seusai membanting tulang sehari penuh. Atau sekadar melepas tekanan kehidupan yang menghimpit," kata Thomas, berusaha bijak. Dia pun mengatakan sesungguhnya tidak terlalu menikmati kehidupan hingar-bingar itu. (RYO)

Read More..

AIR TERJUN JUMUG, THE LOST PARADISE...

BERLEBIHAN kiranya menyebut Air Terjun Jumug di Desa Berjo, Kecamatan Ngargoyoso, Kabupaten Karanganyar sebagai The Lost Paradise, surga yang hilang. Namun, demikianlah petunjuk yang baru tahun ini dipampang -pada lokasi sejauh 300 meter dari air terjun di tepian ruas Kota Kecamatan Ngargoyoso-Candi Sukuh-untuk mempromosikan situs pariwisata terbaru Karanganyar.

Meski sama-sama menyandang predikat the lost paradise, tentu air terjun Jumug tidaklah sefenomental penemuan air terjun Angel yang ditemukan tahun 1935 oleh pilot Amerika Jimmie Angel ketika terjatuh di kawasan Venezuela, Amerika Selatan. Air terjun Jumug jugalah tidak setinggi air terjun Angel yang menurut pengukuran berketinggian 979 meter atau hampir satu kilometer.

Hanya berlokasi 500 meter di atas air terjun, Situs Candi Sukuh di ketinggian 910 kilometer di atas permukaan laut ini telah didirikan pada abad ke-15. Seorang pemuka adat sebuah pura yang cukup berpengaruh di kawasan Keraton, Budiarso, bahkan pernah membisikkan candi tersebut sesungguhnya buah karya kebudayaan Megalitikum dan hanya direstorasi, lalu digunakan kaum Hindu.

Ilustrasi tadi mengajak kita berefleksi bahwa di tengah sebuah peradaban Jawa Kuno, air terjun, grojogan tentunya telah dinodai berbagai kegiatan masyarakat, tidak terlupa aktivitas spiritual. Dengan air sebagai perlambang pencuci, pembersih, dan pembaptis, menjadi pertanyaan ditemukannya kembali air terjun Jumug. Benarkah situs pariwisata ini pernah hilang, atau baru ditemukan?

Entahlah! Yang jelas, menurut warga Desa Berjo, Narto, selama ini dari balik rerimbunan pepohonan hanya terdengar suara air jatuh dari ketinggian. Beberapa orang dewasa menerobos semak belukar, pernah melaporkan keberadaannya, walau tidak mengelaborasinya lebih lanjut. Dinas Pariwisata Kabupaten Karanganyar bukannya tidak tahu-menahu keberadaan situs wisata ini, meski dana yang jadi kendala pengembangan.

Adalah Abdullah, warga keturunan Arab -sejak tahun 1968 berdiam di Kecamatan Ngargoyoso- yang menanamkan investasi di sini. Pemerintah Kabupaten Karanganyar membabat semak belukar, menata pepohonan yang terlalu rimbun, dan mengatur pertumbuhan tanaman yang merambati air terjun sehingga tampaklah kini air terjun Jumug. Kepala Dinas Pariwisata Kabupaten Karanganyar, Joko Suyanto menunjuk Abdullah sebagai the discover of Jumug Waterfall.

Bila Anda berkesempatan menyambangi Solo, tentu tiada ruginya menyinggahi sisa peradaban tua -berupa Candi Sukuh- yang kesohor karena bentuk piramida terpenggalnya. Namun jangan lupa, tengoklah pula air terjun Jumug, 35 kilometer dari Solo. Air terjun ini terdiri dari tiga tingkat, dengan ketinggian air terjun tingkat teratas 8 meter, tingkat kedua 12 meter, dan tingkat terbawah (utama) 30 meter. Jikalau Anda tak kuat, Anda bisa menyaksikan hanya air terjun utamanya, sebab medan mendaki kedua tingkat atas air terjun sangat menguras energi dan dapat membuyarkan chi pernafasan Anda. (RYO)

Read More..

BEDHAYA KETAWANG PUN DITARIKAN

SYAHDAN, Kanjeng Ratu Kidul "penguasa Laut Selatan" terpikat kegagahan seseorang yang bersemedi di Pantai Parangkusumo, Kabupaten Bantul. Ia tak hanya terpikat ketampanan pemuda itu, melainkan keteguhannya bersemedi hingga lautan selatan bergolak. Dia lalu keluar dari keraton kidul dan menemui pemuda itu.

LANTAS, lazimnya dua manusia yang saling terpikat, pernikahan pun tak terelakkan. Beberapa hari, pemuda bernama Panembahan Senopati (raja pertama Mataram) berdiam di Laut Kidul, sebelum kembali ke darat demi Mataram. Dia mengabaikan bujuk rayu Kanjeng Ratu Kidul untuk berdiam di sana.

Demikianlah intisari tari bedhaya ketawang, yang menurut Kitab Wedhapradangga, diciptakan Sultan Agung (1613-1645), seusai mendengar tetembangan dari tawang (langit). Sehingga, secara harfiah, bedhaya ketawang berasal dari ambedhaya (menari) dan tawang.

"Bedhaya ketawang wajib hukumnya bagi jumenengan seorang raja," kata Gusti Raden Ayu (GRAy) Koes Moertiyah, putri Almarhum Sampeyandalem Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhunan (SISKS) Paku Buwono XII. Ia mengaku diserahi wewenang untuk menguri-uri bedhaya ketawang.

Pekan lalu, diiringi gending bedhaya gedhe, dimainkan dari gamelan Kyai Lokonanta asal zaman Keraton Demak. Gusti Mung, panggilan Koes Moertiyah, mengawasi belasan penari perempuan berlatih bedhaya ketawang untuk jumenengan Kanjeng Gusti Pangeran Haryo (KGPH) Hangabehi menjadi PB XIII, di Pendapa Ageng Sasanasewaka, Keraton Surakarta Hadiningrat. Jumenengan akan dilakukan hari Jumat (10/9) mendatang.

Mengapa dilatih belasan penari kalau hanya digunakan sembilan penari? "Saya hanya mencadangkan. Sebab, menarikan bedhaya ketawang tidak boleh dilakukan dalam kondisi menstruasi. Harus suci. Dia pun harus gadis, dalam artian belum menikah. Kalau masih perawan atau tidak, saya tidak tahu," kata Gusti Mung, terkekeh. Dia serius menekuni tari ini sejak tahun 1982.

GUSTI Mung menjelaskan, tari itu dibagi tiga episode, berdurasi 15, 60, dan 15 menit, atau total 90 menit. Pertama, kala Kanjeng Ratu Kidul keluar dari istana dan bertemu Panembahan Senopati, yang memintanya membantu kerajaan yang kalut. Ia mau membantu dengan syarat Senopati harus menjadi suaminya. Kedua, adegan percintaan Penembahan Senopati dan Ratu Kidul, yang sempat mengabaikan negeri walau akhirnya diingatkan Ki Juru Martani (penasihat kerajaan) untuk kembali ke Mataram. Ketiga, tangisan atas kerinduan mendalam dan ungkapan cinta Kanjeng Ratu Kidul, yang bersumpah tidak akan mencari laki-laki lain, kecuali Raja Mataram. Dia juga berjanji mengabdi dan menjadi istri Raja Mataram hingga turun-temurun, hingga kini.

Bedhaya ketawang yang dibawakan dengan lemah gemulai ini, akan ditarikan kembali sehabis shalat Jumat, seusai jumenengan PB XIII. Lemah gemulai? Paradoks dengan konsep lemah gemulai, dalam kacamata maestro tari Sardono W Kusumo, dalam bukunya berjudul Hanuman, Tarzan, Pithecanthropus Erectus, tarian yang dimainkan secara puitis dan abstrak ini membawa pula karakter kuat, seumpama kesatria atau raksasa, seperti karakter Rahwana dalam epos Ramayana.

Gusti Mung tampaknya tidak menegasikan konsep ini. Hanya, dia menegaskan, pada zamannya, bedhaya ketawang dimainkan abdi dalem perempuan sekaligus pengawal terakhir raja Mataram yang dibekali pula ketrampilan kanuragan. Peran abdi dalem perempuan bersenjata ini begitu perkasanya, sebagaimana dibahas Mangunwijaya dalam trilogi Lusi Lindri, Roro Mendut, dan Genduk Duku, yang bersumber dari Babad Tanah Jawi.

"Dulunya, bila raja diserang, ia akan bertahan untuk terakhir kalinya di keputren dengan abdi dalem yang menari bedhaya ketawang itu," tandas Gusti Mung. Seusai latihan, yang disaksikan KGPH Hangabehi, belasan abdi dalem perempuan beringsut menuju Dalem Ageng Prabasuyasa, sesuai dengan pakem yang berlaku, setelah sebelumnya mengatupkan tangan menghormat pada Kendang Pusaka Keraton, Kanjeng Kyai Denok.

Konon, setiap kali bedhaya ketawang dipentaskan pada saat jumenengan atau tingalan jumenengan, Kanjeng Ratu Kidul berkenan hadir dan selalu menari bersama penari lain. (RYO)

Read More..