Monday, November 20, 2006


Bersua Nemo di Pulau Kabung-Kalimantan Barat



Jauh dari rutinitas, keramaian kota, polusi kendaraan, serta modernitas, di pesisir Pulau Kabung, saya bersua nemo—demikianlah anak-anak mengenalinya. Kehidupan nemo (tokoh film Finding Nemo) atau ikan badut (clownfish) ini, yang dijumpai disela-sela terumbu karang, merupakan andalan eko-tourisme Pulau Kabung.

Hal lain, kehidupan nelayan, baik di bagan maupun di laut lepas, pemandangan matahari terbit (sunrise) maupun matahari terbenam (sunset), dan kehidupan kampung nelayan. Bila beruntung, dapat pula menyaksikan lumba-lumba bermain di perairan ini.

Cukup mudah menjangkau Pulau Kabung, di Desa Karimunting, Kecamatan Sungai Raya, Kabupaten Bengkayang, Kalimantan Barat. Dari Pontianak, arahkan kendaraan ke Singkawang. Sekitar 130 kilometer, sampailah di kampung nelayan Teluk Suak.

Lalu, naiklah perahu motor menuju Pulau Kabung, berongkos Rp 3.000 per orang. Bila ingin santai, tanpa dipusingkan transportasi, akomodasi, sampai urusan pandu-memandu, gunakan jasa Canopy Kalimantan—satu-satunya operator wisata di Pulau Kabung.

Sepi. Kesan pertama saat menjejakkan kaki di Pulau Kabung. Yang terlihat, ikan-ikan teri dijemur di tikar bambu. Kemanakah penduduk pulau ini? Panggilan makan siang, membuyarkan permenungan. Ikan teri, ikan pindang tumbuk, dan sotong kuah memanjakan indera pengecap dan lambung. Jangan berharap menu ayam maupun sayur.

Populasi ayam di Pulau ini, mungkin tidak sebanyak penduduk Pulau Kabung yang berjumlah 400 jiwa. Sementara sayur dibeli dari Bengkayang atau Singkawang, pepohonan di pulau ini, hanya kelapa dan cengkeh.

Matahari di ufuk barat, saat saya bangun tidur setelah lelah di perjalanan—dan kekenyangan. Pemuda nelayan setempat, Deki (16) lalu mengajak bersampan menuju bagan, menyaksikan sunset.

Arsitektur bagan sederhana. Pilar bagan dari kayu nibun (sejenis palma), dipadu gelagar kayu sangae dan propok, dengan pondok beratap nipah. Pada tiang bagan yang terbenam air laut, hidup berbagai biota, mendukung perkembangbiakan ikan.

Tinggi bagan dari dasar laut mencapai 18 meter, sementara tinggi anjungan bagan sekitar 4-6 meter. Anjungan bagan berukuran 9 x 7 meter, pada bagian bawah terdapat jala yang dapat diangkat. Umur maksimal bagan, mencapai tiga tahun.

Dari bagan, kami lihat indahnya sunset, yang “ditelan” laut Cina Selatan. Langit meredup hingga gelap gulita, lalu ditaburi bintang. Masing-masing bagan menurunkan dua petromaks, mengelabuhi ikan-ikan—yang tertarik cahaya—hingga mendekat, lalu ditangkap.

Sungguh mengesankan, melihat sunset dari bagan. Ketika lapar, kami menangkap sotong dari jala, membakarnya tanpa bumbu, lalu menyantapnya lahap. Doyan atau Lapar? Entahlah, beda tipis.

Ditemani Teguh Panglima, juragan Betawi Foto di Pontianak, kami bermalam di rumah Ibu Intan. Penginapan villa tidak disediakan. Sebaliknya, menginap di rumah penduduk (senilai Rp 10.000 per malam). Ternyata, listrik belum masuk di Pulau ini. Padahal, ini tahun 2005, bung.

Menjelang tengah malam, seluruh anggota keluarga melongok ke jendela, lalu berhamburan turun dari rumah panggung. Ternyata, sekelompok lelaki merapatkan perahu, menurunkan puluhan keranjang ikan teri. Baik Intan, maupun kedua anaknya membantu menurunkan keranjang ikan.

Tetangga berdatangan, menyiapkan kayu bakar, dan membawa jeriken minyak tanah. “Ikan harus direbus dalam tong air. Supaya tidak busuk, kemudian besok pagi kami akan menjemurnya,” tandas nelayan Jamilu.

Maka, ikan teri itu direbus. Sementara anak-anak, asyik bercanda, seolah tidak menyadari larutnya malam. Terjawablah pertanyaan saya. Kebanyakan nelayan Pulau Kabung memanfaatkan siang hari untuk beristirahat, karena aktivitas mencari ikan adalah urusan di malam hari.

Keesokan pagi, seraya menikmati sunrise dan secangkir kopi, saya berbincang dengan tokoh masyarakat, H Al Haris. Dia berkisah pemberontakan PPRI di Sulawesi Selatan, pada dekade 60-an, menyebabkannya merantau hingga Pulau Kabung.

“Kini sulit, bila hidup sebagai nelayan, karena terus merugi dan dililit hutang. Maka, ditetapkannya wisata Pulau Kabung, sangat membantu. Apalagi, masyarakat dilibatkan, untuk membuat makanan, tempat tinggal, serta lainnya,” tandas H Al Haris.

Bukan perkara mudah, menjadikan Pulau Kabung—terutama Kampung Tengah menjadi desa wisata. Kawan-kawan muda Canopy Kalimantan, membutuhkan waktu dua tahun, agar diterima masyarakat.

“Kami menjaga keaslian kampung nelayan ini. Tidak ada perubahan, terkecuali perbaikan sarana mandi dan cuci. Untuk air bersih, air gunung tersedia. Diluar itu, bahkan di malam hari pun, kita menggunakan petromaks dan lilin, karena listrik belum ada,” ujar Yuliantini.

Menjelang siang, saya meminjam peralatan snorkeling. Berenang perlahan di permukaan air laut, lalu tampaklah ikan bergaris-garis orange dan putih yang menawan. Tak salah lagi, itulah nemo-ikan badut, bermain di sela anemon laut.

Setelah puas, kami makan siang sembari menunggu kapal penjemput tiba. Tapi, perbincangan di sudut meja sana sangat mengganggu, karena saya menangkap kata-kata investasi.
Saya muak mendengarnya. Jangan diubah keaslian kampung nelayan ini.

Enyahkanlah berpikir proyek, membangun vila-vila, apalagi warung dengan musik hingar bingar. Ini membuat masyarakat setempat tersingkir. Dinas Pariwisata setempat, cukuplah sebagai regulator.

Bila ingin membantu Pulau Kabung, buat dermaga, instalasi listrik, puskesmas, dan diri SMP dan SMA—karena baru ada SD. Canopy Kalimantan telah memfasilitasi pelatihan pemuda, untuk menjadi pemandu selam, agar dapat bekerja sebagai guide.

Tiru dan bantu, atau enyahlah, karena wisata ekoturisme Pulau Kabung, dibangun tanpa bantuan sepeser pun dari pemerintah daerah. (HARYO DAMARDONO)

Read More..

Revolusi Desain Keramik, Bukan Hal Tabu…

Keramik atau gerabah adalah hasil dari sebuah kebudayaan. Sebuah bukti, jejak, maupun wujud dari kebudayaan. “Walau demikian, tidak aneh ketika desain keramik berubah. Sah-sah saja, karena kebudayaan selalu berkembang, seiring kemajuan manusia,” tandas Sumarsono, antropolog dari Departemen Kebudayaan dan Pariwisata.

Pendapat antropolog Sumarsono ini, dikemukakan menyikapi fenomena revolusi desain keramik, dari bentuk tradisional menjadi kontemporer. Dari pembuatan sesuai pakem dan desain menurut rasa seni setempat, menjadi modernisasi pembuatan serta desain mengikuti permintaan konsumen dan tren pasar.

Revolusi, redesain, atau apa pun namanya, merupakan usulan para peserta Jelajah Budaya Kalimantan Barat—difasilitasi staf Deputi Hubungan Antarbudaya, Departemen Kebudayaan dan Pariwisata dan Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Pontianak—menyikapi kemunduran industri Keramik Singkawang.

Ada pun revolusi keramik, ternyata tidak ditabukan dalam industri keramik. Simaklah revolusi desain pada ornamen tempel di sentra keramik Kasongan, Kabupaten Bantul, Yogyakarta, sentra keramik di Plered, Kabupaten Purwakarta, Jabar, dan sentra keramik Sitiwinangun, di Kabupaten Cirebon, Jabar.

Ornamen tempel di Kasongan, misalnya, membuat perajin keramik setempat tidak hanya memproduksi keramik konvensional, seperti kuali, gentong, dan bentuk tabung lainnya—yang membosankan. Tapi mencipta bentuk-bentuk gentong, dengan kepala gajah dilengkapi belalai menjuntai, atau bentuk lain yang sangat artistik.

Salah satu perajin keramik, yang sukses menelorkan karya-karya keramik inovatif, adalah F Widayanto. Dengan sederetan karya, beride dasar loro blonyo—patung pasangan pengantin Jawa, dia mengentaskan keramik ke strata lebih tinggi. Keramik sebagai barang pajangan kaum elite, bagian dari interior rumah, bukan sekedar katakanlah “peralatan masak-peralatan dapur”.

Sesungguhnya, keramik asal Singkawang pun, telah beralihfungsi menjadi barang pajangan. Lihatlah lantai II Markas Polda Kalbar, keramik Singkawang terpajang di sana, lihatlah pula lobi-lobi hotel di Pontianak bahkan hingga Jakarta, keramik Singkawang pun terpajang di sana. Tapi, tanpa revolusi desain, konsumen pun akan jenuh, dan pada gilirannya mematikan industri keramik Singkawang.

*** “Saya merasa bertanggungjawab, atas kemunduran produksi keramik di Sitiwinangun. Pada awalnya, saya menekankan pembuatan keramik tradisional, termasuk pola, corak, dan desain tradisional,” kata Bonzan Eddy R Setyo, sarjana keramik Seni Rupa Institut Teknologi Bandung (ITB), yang bermukim di Sitiwinangun, beberapa waktu lalu.

Keramik Sitiwinangun—kawasan yang terletak sekitar 15 km sebelum Kota Cirebon dari arah Lohbener-Jakarta—memang eksotis. Saat ini, perajin Sitiwinangun masih mempertahankan teknik pijit (pinching) dan pilin (coiling), tak ubahnya proses pembuatan keramik zaman prasejarah.

Belum lagi pembakaran keramik, dilakukan dengan menaruh keramik di lapangan, ditutupi jerami dan sekam, lalu dibakar begitu saja. “Saya terlambat berinovasi untuk menyesuaikan dengan pasar, karena tidak ingin kekhasan keramik Sitiwinangun punah ditelan zaman,” tandas Bonzan.

Setelah menyadari keterlambatannya merevolusi desain keramik, kini Bonzan memperkenalkan proses pengayakan bahan baku, teknik glasir atau pelapisan gelas (sehingga permukaan keramik lebih halus), termasuk penggunaan tungku bakar, kepada perajin Sitiwinangun. Walau hingga pertengahan 2005 ini, pembuatan tungku bakar, masih belum selesai sempurna.

Keterlambatan revolusi desain keramik, berimbas stagnansi dalam industri keramik, dialami beberapa sentra keramik. Sekitar 20 km dari Sitiwinangun, sentra keramik Arjawinangun kini sekarat. Hampir tiga dekade, perajin keramik setempat hanya menghasilkan keramik seperti kendi dan celengan, seharga maksimal sekitar Rp 5.000 per buah, adapula yang berharga Rp 150 per buah.

Nasib lebih baik, dialami sentra keramik Bayat (Klaten-Yogyakarta) dan Batu (Malang-Jawa Timur). Berkat revolusi, mereka tetap memasok keramik hingga Bali, mendekati konsumen mancanegara. Bahkan, meski sempat krisis akibat Bom Bali, tiap bulan, para perajin masih mengekspor beberapa kontainer keramik.

Bercermin pengalaman tersebut, revolusi desain Singkawang, tidak dapat ditawar lagi. Berbagai tren keramik, dapat dikerjakan. Entah pernak-pernik kecil, seperti asbak, pot, dan wadah aromaterapi, hingga keramik besar berdesain seturut konsumen.

Tentu saja, proses tradisional tungku naga Singkawang, jangan dilupakan. Karena itu “kekayaan” bangsa. Tapi mengikuti tren, lebih baik daripada banting stir sekedar membuat batu bata untuk rumah walet!

Peserta Jelajah Budaya Kalbar sepakat, redesain dapat melibatkan seniman keramik. Pendesain ini, dapat didatangkan dari Institut Seni Rupa Indonesia (ISI) Yogya atau ITB—yang mempunyai jurusan seni keramik, mengingat Pontianak, tidak punya sekolah seni (kontemporer) yang representatif.

Hadirnya seniman keramik dari luar Singkawang pun, diharapkan dapat “memecahkan” ketertutupan para keramik Singkawang—yang mayoritas orang Tionghoa. Siapa pun tahu, ketertutupan berimbas kemunduran dan keterbelakangan. Sudah saatnya, mata mereka terbuka pada revolusi (desain) keramik… (HARYO DAMARDONO)

Read More..

Meriam Karbit Pontianak Kehilangan Makna….

Alkisah, menjelang subuh 14 Rajab 1184 Hijriah (23 Oktober 1771), pendiri Kota Pontianak, Syarif Abdurrahman sampai di persimpangan Sungai Kapuas dan Landak Setelah delapan hari menebas pohon di kawasan itu, beliau membangun rumah dan balai.

Tilas bangunan pertama di Pontianak, kini berdiri Masjid Jami dan Keraton Pontianak. Di pertemuan kedua sungai, berdiri kampung tertua yakni Kampung Beting. Dan sejak 1771, Kota Pontianak berkembang hingga detik ini.

Mengapa permukiman yang dibangun di pertemuan dua sungai itu, dinamakan Pontianak? Konon, selama delapan hari menebas pohon, para pengikut Syarif Abdurrahman mendapat gangguan para kuntilanak.

Boleh jadi kata “kuntilanak” bertransformasi menjadi “Pontianak”. Namun dalam cerita rakyat Melayu, kata Pontianak pun berarti perempuan yang meninggal ketika melahirkan, kemudian bergentayangan di desa-desa untuk meneror warga.

Disarankan oleh tetua Melayu, agar kita memelihara kuku panjang dan tajam. Sehingga bila bersua sang Pontianak, dapat menancapkan kuku tajam pada lehernya agar berubah jadi perempuan cantik.

Tapi Syarif Abdurrahman, memilih metode lain. Dia menembakkan meriam karbit ke arah hutan, yang diyakini sumber bunyi-bunyian seram pengganggu pengikutnya. Inilah sejarah Pontianak, sekaligus awal tradisi meriam karbit.

Kini 245 tahun berselang, meriam karbit masih mentradisi di masyarakat Kota Pontianak, terutama bagi warga tepian Sungai Kapuas. Tradisi dimainkan pada bulan Ramadhan, sejak malam takbiran hingga tiga hari setelah Lebaran, selepas senja hingga hampir tengah malam.

Langkah sederhana melihat meriam karbit adalah melintas di Jembatan Sungai Kapuas, yang menghubungkan Pontianak Kota dengan Pontianak Timur. Kemudian dari ketinggian jembatan, dapat disaksikan deretan meriam di sisi timur dan barat jembatan.

Mau sedikit berpeluh, tapi mendapatkan pengalaman lebih? Dari Jl Tanjung Pura atau Imam Bonjol, masuki gang-gang hingga tepian Sungai Kapuas. Kemudian susuri gertak (jembatan kayu di tepian Kapuas terbuat dari kayu ulin), hingga ditemukan deretan meriam.

Meriam diletakkan berkelompok, antara dua sampai enam meriam, tepat di tepian Sungai Kapuas. Meriam ditaruh diatas panggung dari kayu nibung. Panggung dimaksud mencipta ruang, agar pelaksanaan tradisi tidak mengganggu lalu lintas warga yang mempergunakan gertak untuk berjalan kaki.

Ukuran meriam cukup fantastik, yakni berdiameter hingga 80 sentimeter, dengan panjang 3-4 meter. Ini sebanding ukuran dua lelaki dewasa. Meriam dari kayu gelondongan besar, jenis pohon belian, ramin, atau meranti, yang dilubangi.

Bagian ujung meriam dibiarkan berlubang, sedangkan pangkal meriam ditutup dengan campuran semen dan pasir. Agar batang kayu tidak pecah (hancur karena ledakan), maka rotan seukuran kelingking manusia dibelitkan ke batang kayu.

Dipergunakannya rotan, karena elastisitasnya tinggi sehingga mampu memelarkan diri sesaat ketika ledakan terjadi. Sedangkan, bila pakai kawat atau tali kapal, sering putus hingga batang kayu hancur. Ini membahayakan pemain meriam karbit maupun masyarakat yang menyaksikannya.

Seturut nama tradisi ini, untuk bahan bakar digunakan karbit—senyawa kimia yang digunakan untuk mengelas dan balon gas. Harga karbit per kilogram mencapai Rp 10.000, dijual dalam bentuk padat.

Setelah dibentuk dengan cara diketok-ketok dari karbit padat besar jadi ukuran sekitar 1,5 kali 1,5 sentimeter, karbit dimasukkan ke dalam meriam yang sebelumnya diisi air. Guna air adalah untuk mengurai karbit padat menjadi karbit gas, selama 3-5 menit.

Lantas, api pun disulutkan dengan kayu ukuran 50-60 sentimeter, ke lobang penyulut meriam karbit. Hanya sepersekian detik, gas karbit pun meledak. Semburan api pun keluar dari lobang penyulut dan moncong meriam karbit.

Bicara tentang “ramuan” amunisi meriam karbit, Remaja Tepian Kapuas (Retika) punya resep khusus, yakni 3-5 ons karbit, diimbuhi satu sendok teh cuka, maka bunyi lebih dashyat. Tiap kelompok yang didasarkan pada lokasi gang, punya rahasia tersendiri soal “ramuan jawara” ini.

Dentuman meriam karbit ini sangat keras, dapat terdengar dari radius 3-5 kilometer. Apabila didengar dari tepian Sungai Kapuas, lantaran ada ruang kosong di atas sungai, maka akan terdengar gema berulangkali.

Sensasi luar biasa, lebih terasa bila berdiri radius 1-2 meter dari meriam. Sebab gertak dan panggung kayu nibung yang dibangun di atas permukaan Sungai Kapuas, pasti bergetar. Dan, tubuh pun bergoyang terpengaruh pergolakan udara yang menghantarkan suara membahana dari meriam.

Menurut penuturan warga setempat, tradisi meriam karbit ini surut dari tahun ke tahun. “Harga kayu sekarang mahal, per batang ukuran panjang 3-4 meter dan diameter 80 sentimeter, mencapai Rp 800.000. Kayu pun susah dicari,” kata pengurus Remaja Tepian Kapuas (Retika), Mardian.

Retika pada Ramdhan 2006 ini, memasang lima meriam karbit di Jl Tanjung Harapan Gg Sulaiman, Pontianak Timur. Dibutuhkan biaya Rp 8 juta, untuk menyiapkan meriam dan panggung. Dulu sponsor berlimpah, kini agak surut, yakni hanya beberapa agen motor dan perusahaan telekomunikasi.

“Sebenarnya, ketika industri kayu di Kalimantan Barat rontok maka tradisi meriam karbit pun terganggu. Sebab, kayu gelondongan dari hulu sulit didapat. Tahun 1980-an sampai 1990-an, istilahnya tinggal mencegat tongkang kayu yang lewat,” ujar Sugeng Hendratno dari Masyarakat Pariwisata Indonesia (MPI) Kalbar.

Sugeng menuturkan dulu meriam karbit dibuat dari kelapa maupun pinang, sebagaimana digunakan Syarif Abdurrahman. Eksploitasi kayu besar-besaran dari hulu Kapuas, mengubah wajah meriam karbit, apalagi bunyi meriam karbit dari kayu gelondongan sangat memekakkan telinga.

“Karena kayu mahal padahal bagus untuk meriam, kami pakai kayu yang sudah digunakan lima tahun. Selama tidak dipakai, kayu dibenamkan di lumpur di dasar Sungai Kapuas, sehingga tidak dimakan binatang penggerek kayu,” tandas Yurniadi, warga Gang Bayu.

Untuk menaikkan kayu gelondongan, ke panggung nibung, bukan perkara mudah. Harus menunggu air Kapuas pasang, akibat desakan air laut pada pukul 02.00-03.00. Butuh belasan pemuda untuk mengangkat kayu gelondongan tersebut.

“Tahun ini, ada Festival Meriam Karbit yang diadakan Pemerintah Kota Pontianak. Tetapi tidak semua kelompok ikut, delapan meriam karbit dari Jl Tanjung Pura, Gang Kamboja, saja tidak ikut padahal bagus. Mungkin karena hadiah Rp 1 juta, memang sangat kecil, padahal modal sudah besar,” kata Sugeng.

Bila meriam karbit Syarif Abdurrahman, dimaknai mendalam karena mengawali salah satu perjuangan membangun Kota Pontianak, yang kini berumur 245 tahun. Maka kini, tradisi meriam karbit Pontianak, nyaris “miskin” dan kehilangan makna.

“Kesulitan kayu untuk meriam karbit, harus dimaknai runtuhnya industri kayu di Kalbar, berikut penggangguran ribuan buruh kayu. Sepinya turis yang menyaksikan meriam karbit, harus dimaknai ketidakseriusan pemerintah menggarap promosi meriam karbit,” ujar Sugeng.

Berdasar pengamatan, penikmat meriam karbit pun kini sekedar remaja—biasa dikenal Anak Baru Gede (ABG). Yang lebih dewasa, datang berpasangan untuk berpacaran di kafe bernuansa remang-remang di tepian Kapuas. Tidak terlihat keluarga-keluarga yang menyaksikan tradisi ini, apalagi turis lokal dan mancanegara.

Padahal, anak-anak remaja itu hanya menikmati bunyi menggelegar dan pekik ketakutan dari remaja putri. Tidak terlihat benang merah dari pembunyian meriam karbit, dengan ramadhan, misalnya. Yang tampak di permukaan, hanya sekedar permainan rakyat.

Padahal, banyak hal dapat dimaknai—lebih lanjut disikapi—dari tepian Kapuas, selama menyaksikan tradisi meriam karbit. Gertak hasil pendanaan Bank Dunia yang mulai tua, berderit-derit, dan nyaris roboh. Berulangkalinya pemadaman listrik di tepian Kapuas yang menggelapgulitakan lokasi meriam karbit.

Kacau balaunya tata kota Pontianak, dilihat dari tepian Kapuas yang kumuh. Belum lagi, implementasi Pontianak Water Front City, yang entah kapan terealisasi. Mengapa kita tidak singgah sejenak, merenungkan Pontianak, setelah mendengarkan dentuman meriam karbit? Syarif Abdurrahman telah mengawali, sementara kita…... (HARYO DAMARDONO)

Read More..

Kabupaten Kapuas Hulu, Menunggu Limpahan Turis dari Serawak….

Penat. Membayangkan harus menempuh perjalanan pulang sejauh 700 kilometer dari Putussibau, ibukota Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat, menuju Pontianak. Dalam kondisi normal saja, perjalanan darat antarkedua kota itu harus ditempuh 18 jam karena rusaknya jalan.

Harapan dapat pulang dengan pesawat terbang, yang biasanya menempuh Putussibau-Pontianak selama satu jam harus kandas, karena ketidakjelasan penerbangan. Padahal, sebelumnya rute ini dilayani Air Mandiri (mencarter Merpati dan Dirgantara Air Service (DAS).

“Pesawat yang biasanya memang sedang diperbaiki di Singapura, karena itu sementara ini tidak ada penerbangan. Tapi nanti pasti terlayani lagi,” ujar Bupati Kapuas Hulu, Abang Tambul Husin, saat ditemui di Putussibau, pertengahan Maret.

Bila salah satu ukuran kemajuan suatu daerah adalah sarana perhubungan, maka sesungguhnya Kapuas Hulu—sebagai kabupaten tertimur Kalbar, saat ini sedang mengalami kemunduran. Ketika daerah lain berhasrat terlayani penerbangan reguler, penerbangan di Kapuas Hulu seolah antara ada dan tiada.

Seorang Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Kabupaten Kapuas Hulu, membisikkan bahwa alasan jarangnya penerbangan ke Putussibau, karena maskapai bersangkutan terancam bangkrut.

Dengan tarif Pontianak-Putussibau lebih dari Rp 500.000 per orang (lebih mahal dari Pontianak-Jakarta), maka konsumen biasanya hanya menggunakan rute penerbangan Putussibau-Pontianak dan ketika pulang memilih menggunakan bus dengan tarif lebih murah yakni hanya Rp 180.000 per orang.

Lantas, bagaimana dengan turis mancanegara maupun asing? Sangat jelas mereka enggan terantuk-antuk selama 18 jam. Padahal, dengan luas Kapuas Hulu mencapai 2,98 juta hektar, dimana 56 persen diantaranya Taman Nasional dan Hutan Lindung, diharapkan wisata
ekoturisme mampu menambah pendapatan asli daerah.

“Turis akan tetap datang, tapi menurut pertimbangan kami akan datang dari Kuching, Serawak, Malaysia. Mereka dapat melalui ruas Badau-Putussibau sejauh 177 kilometer yang kini pengaspalannya terus dilakukan,” ujar Abang Tambul Husin.

Dalam pengamatan Kompas, pemerintah Negara Bagian Serawak-Malaysia kini sedang membangun jalan menuju perbatasan Badau, di Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat. Jalan ini nantinya akan menghubungkan Lubuk Antu di Serawak dengan Putussibau, ibukota Kabupaten Kapuas Hulu.

Jalan baru empat lajur sepanjang sekitar 10 kilometer yang dibangun Serawak tersebut menembus perkebunan sawit milik Malaysia, hingga tepat di Pos Pemeriksaan Lintas Batas (PPLB) Badau.

“Pos Lintas Batas Badau akan dibuka tahun 2007, tapi kami optimis pengerjaannya selesai 2006 ini. Kami juga sedang menunggu pengerjaan Pos Lintas Batas Serawak, hingga nantinya ini menjadi Pos Lintas Batas kedua,” kata Gubernur Kalimantan Barat, Usman Jaffar, di Badau.

Usman Jaffar mengatakan PPLB Badau akan menjadi PPLB kedua yang dibuka setelah PPLB Entikong di Kabupaten Sanggau tahun 1991. Setelah pembukaan PPLB Badau, akan menyusul pembukaan PPLB Sajingan di Kabupaten Sambas dan PPLB Jagoi Babang di
Bengkayang.

Kini, PPLB Badau memang menjadi harapan masyarakat Kapuas Hulu—yang selama ini dapat masuk Serawak dengan surat keterangan Camat Badau—setidaknya menjadi harapan Bupati Kapuas Hulu.

Bahkan, Bupati Kapuas Hulu Abang Tambul Husin, mengatakan pembukaan PPLB berpeluang meningkatkan perekonomian Kapuas Hulu, yang terlalu jauh dari Pontianak. Jarak dari Kuching-Lubuk Antu-Putussibau sekitar 460 kilometer, bandingkan jarak Pontianak-Putussibau sekitar 750 kilometer.

Pernyataan Kapuas Hulu merupakan Kabupaten Konservasi dengan dua Taman Nasional yang mampu memikat turis, memang terus saja didengung-dengungkan. Meski tersirat bahwa Kapuas Hulu tidak lain, hanya menunggu limpahan turis dari Serawak!

Permasalahannya, apakah pembukaan PPLB Badau akan secara signifikan meningkatkan arus wisatawan menuju Kapuas Hulu. Apalagi, sarana dan prasarana wisata nyaris tidak dimiliki kabupaten ini.

Kemudian terdapat sederetan masalah yang harus diselesaikan dengan merevolusi alam berpikir dan bertindak di Kapuas Hulu. Masalah bersama yang harus diselesaikan secara tanggung-renteng oleh negara maupun masyarakat.

Masalah infrastruktur buruk, misalnya adalah masalah klasik yang tergantung anggaran negara maupun daerah. Tapi, keramahan yang kurang dan penegakan hukum yang lemah, memang menjadi hal yang patut dibenahi.

Padahal, ketika harus membandingkan, alam Serawak-Malaysia kalah indah dengan pesona alam di Kapuas Hulu. Apalagi, alam Serawak kini memang hanya didominasi perkebunan sawit.
***

Pertengahan Maret 2006, Kompas menginap di Hotel Hilton Batang Ai, Lubuk Antu, Serawak-Malaysia. Hotel yang dapat ditempuh hanya 20 menit dari perbatasan Serawak-Indonesia ini, dipadati wisatawan mancanegara dari Eropa.

Berkonsep long-house (rumah panjang)—arsitektur khas Dayak, hotel ini mengisolasikan para tamu di tepian Waduk Batang Air, bahkan bangunan utama hotel hanya dapat ditempuh dengan long boat selama 20 menit dari parkiran hotel.

Dua hal utama yang patut digarisbawahi, yakni tarif hotel yang murah bahkan bila dibandingkan Hotel Santika Pontianak, dan kegiatan out-door bagi turis yang diorganisir sangat profesional.

Mulai dari berjalan melihat senja, kayak di waduk Batang Ai yang dijadikan Pembangkit Listrik Tenaga Air, menyusuri sungai, memancing, hingga eksibishi sumpit, telah diatur dalam jadwal hotel. Tentunya, tiap paket outdoor dinilai dengan ringgit, yang berarti pemasukan tambahan bagi hotel.

Ketika sarapan pada pukul 07.00 waktu setempat, teramati beberapa pemuda Lubuk Antu berperilaku sopan, telah siap mengantar turis—yang seluruhnya memakai pakaian berbahan khaki warna cokelat muda. Sungguh, dalam hal pariwisata Serawak telah siap.

Bagaimana dengan kesiapan pariwisata di Kapuas Hulu? Kiranya, jauh dari sempurna. Hal utama diluar infrastruktur yang diperkirakan dituntaskan pengerjaannya tahun 2007—adalah ketiadaan standarisasi.

Tanpa standarisasi harga dan pelayanan, jangan harap Kapuas Hulu dilirik wisatawan asing. Karena mereka sangat berhitung dan cermat dalam melakukan penghitungan biaya perjalanan.

Sugeng Hendratno dari Masyarakat Pariwisata Indonesia (MPI) Kalbar, juga mengeluhkan ketidakprofesionalan guide lokal dalam pengalamannya menembuh belantara Putussibau.

“Seringkali, para pemandu lokal merubah harga dengan tiba-tiba di tengah hutan. Kalau tidak dipenuhi, mereka dapat saja pergi dengan seenaknya. Ini tentu pengalaman yang mencoreng pariwisata Indonesia dimata turis asing,” tandas Sugeng.

Jangan dibandingkan dengan sarana hotel di Kapuas Hulu, jauh dari memuaskan. Satu-
satunya hotel representatif di Putussibau, bahkan air di kamar mandi sering mati, dan pelayan restoran tidak dapat menjelaskan jenis ikan yang disajikan terkecuali hanya menyebutkan: ikan sungai!


Dan, yang paling menakutkan bagi wisatawan asing di Kapuas Hulu adalah perilaku mengemudi para sopir bus yang melaju hingga 100 km/ jam di ruas berkerikil (gravel). Seorang Kanada, bernama Tim Johnson, yang bersama Kompas melancong ke Putussibau pernah mengeluhkan hal ini.

Tahun depan, ketika infrastruktur sudah tuntas. Harusnya, Sumber Daya Manusia Kapuas Hulu sudah siap untuk menerima limpahan wisatawan dari Serawak. Bila tidak, kemajuan pariwisata di Kapuas Hulu, lagi-lagi hanya dapat dimimpikan.

Mendapat “limpahan” turis saja, lagi-lagi masih dimimpikan….

(HARYO DAMARDONO)

Read More..