Tuesday, May 08, 2007






Menyambangi Ayu dan Putu….

Selasa (27/3) pukul 22.00 Wita,




Garuda berbadan lebar, jurusan Jakarta-Denpasar-Osaka itu mendarat di I Gusti Ngurah Rai, Bali. Ketika landing nyaris tanpa goncangan berarti, sementara pelayanan pramugarinya pun ramah—maklum penerbangan internasional.


Ketika HP dinyalakan, selain ada notice SMS masuk, tertulis di layar “Tuban”. Hah, masih di pantura? Ndak lah man, gue tau persis ini di Bali. Sesaat sebelum landing pun, sempat kulihat kerlip cahaya di pesisir Jimbaran, dari kursi ku di nomor di 24 H.

Memasuki terminal kedatangan internasional, alunan musik Bali mengiringi langkah yang makin berat, karena kantuk menyergap. Benar kata Icha, masuk kamar ku, seperti menunggu pesawat di Bandara Ngurah Rai, karena ada kalanya kunyalakan CD Bali. Musik tradisional yang kuharapkan membuyarkan kepenatan.

Saat menunggu taksi, kuteringat salah satu prioritas ketika berkelana ke luar kota, yakni mengunjungi sahabat. Makin prioritas, bila di kota tersebut ada teman seangkatan di KOMPAS.

Kubuka 9300, masih tersimpan salah satu pesan di situ. “Ryo, jam 11 siang td anakku sudah lahir di rs surya husada. Laki2, tapi lewat operasi krn lumayan besar. Lwt normal dah ndak ckp waktu. Berat 4,3 kg, panjang 52 cm,” pengirim Ayu Sulistyowati.

Aku ingat pesan kuterima Minggu (11/03/07), di Surabaya dalam sebuah perjalanan. Masih teringat pula, Ayu langsung kuhubungi per telepon. Ketika itu, dia mengaku belum memberi nama sang bayi.

Oke, di taksi akhirnya kuputuskan menyambangi dia. Kami teman satu angkatan, resmi diangkat Agustus 2004, diumumkan di kantor Kompas Yogyakarta, Jl Suroto, Yogyakarta.
Ayu telah kukunjungi ketika bertugas di Yogyakarta, Bandung, Tasikmalaya (wuih, ndak bakal deh nyampe lagi di kontrakannya yang belibet jalannya), dan sebentar lagi di Denpasar, Bali.


Mencari kediaman Ayu dan suaminya, sebenarnya bukan perkara mudah. Aku ke sana ketika sang surya sudah ke peraduan di hari ketiga-ku di Bali, sedangkan peta Bali yang kuandalkan out of date.


Simak pula petunjuk jalan dari Ayu, dalam sms-nya yang kukutip utuh.
Hoi sabar2… bayiku pipis.. he.. he.. Kamu cr jalan teuku umar aja dan lurus terus ke barat sampai ketemu lemb permasyrktan kerobokan lurus dikit ktmu perempatan ambil kanan jl raya kerobokan lurus ke utara… ada purimas tetap lurus cari banjar kancil. Ketemu banjar kancil ada posko pdi sblhnya gang namanya gang pinguin masuk cr 2x atau tanya rumahnya agus wartw denpost. Gt bos.” (Date 29/03/2007 pukul 11:03:37).


Ini petunjuk jalan dari seseorang yang belum luntur ke-Jawa-annya, karena menunjukkan arah dengan bantuan mata angin. Untung saja, kupaham Bali, sehingga walau surya tidak lagi bersinar, tetap kutahu mana utara, barat, timur, atau selatan. Bila tidak matilah.


Persoalannya, di peta ternyata tidak tertera ruas Jl Teuku Umar hingga LP Kerobokan. Purimas pun tidak kutemui, mungkin sudah tutup. Yang dimaksud Ayu, bukankah Purimas jaringan toko roti itu? Posko PDI-nya ternyata juga kecil he.. he..


Akhirnya, kutemukan kediaman Ayu. Dia kini lebih mbulet, rambut tetap panjang, tapi gigi lebih rapi karena dikikir dalam sebuah upacara adat, menandai kepindahannya ke Hindu. Dalam upacara itu, menurutnya dilantunkan syair-syair kematian. Hallah..


Namanya Putu Bagus Karna Surya Putra, yo,” ujar Ayu saat aku dipertemukan dengan Putu. Putu adalah nama anak pertama di keluarga Bali. Sementara Karna adalah tokoh perwayangan.
Dalam kisah perwayangan yang kuhapal sejak SD, Karna memang putera Batara Surya. Kakak tertua dari Pandawa Lima, yang dilahirkan dari daun telinga Kunti. Dalam Bratayudha, Karna dibunuh Arjuna dan Kresna, setelah Karna sebelumnya menjebak Abimanyu, putra sang Arjuna, dalam sebuah gelar tempur.


By the way, ketika kusapa eh Putu, lelaki mungil itu malah pipis.. he.. he…Ayu pun mengganti popok Putu, yang disambut dengan tangis keras, membuat seisi rumah bergegas ke kamar Ayu.
Aku pun berkenalan dengan pasangan mertua Ayu, bertemu dengan ipar perempuannya, tapi tidak sempat berkenalan dengan Agus—suami Ayu, editor di Denpasar Pos, yang waktu itu belum pulang kerja.


Kami lantas berbincang di bale-bale di halaman kediaman Ayu. Selain untuk tempat santai, bale itu digunakan untuk upacara keagamaan. Ada kasur tipis di sana, tapi hanya boleh digunakan untuk menyemayamkan jenazah. Di bale itu, disimpan pula buku-buku keagamaan Hindu.
Lama tidak bersua, kami bicara tentang berbagai hal, mulai dari urusan kantor, keluarga, hingga kehidupannya yang baru di Bali. Dan Ayu, berbicara dengan logat Bali, yang kadang terdengar menggelikan, karena ku tahu dulu logatnya nJawani.


Kamu betah di Bali?” tanyaku, setelah dua jam ngobrol ngalor-ngidul.


Iya yo, Ayu betah di pulau kecil ini Aku punya keluarga sekarang, dan ini hidupku,” ujarnya sambil tersenyum.


Aku pun mohon diri. Sang mertua lelaki, mengantarku keluar gang, menuju tepi Jl Kerobokan tempat ku memarkir mobil. Setelah melambaikan tangan, kuakselerasikan mobil ke arah selatan. (walah, aku Jawa juga neh)


Ketika melintas di Jl Raya Kuta, menuju Warung Made untuk santap malam icip-icip steak, pesan masuk ke HP-ku. “Makasih bgt ya Yo.. ayu seneng bgt ditengokin…makasih bgt ya…”

Yap, see you next time, Ayu dan Putu...

Read More..