Monday, November 19, 2007

DANAU SENTARUM

Danau Sentarum, Aset Dunia Untuk Masa Depan

Text/Foto by Haryo Damardono

Empat bekantan (Nasalis larvatus)—binatang berhidung besar, juga salah satu tokoh di Balada Kera Dunia Fantasi—terkapar mati dengan luka tembak di beberapa bagian tubuh. Tiga anjing menghambur keluar hutan, diikuti lima pemburu yang menyandang senjata api rakitan, lalu segera mengikat buruan mereka.

Aksi pemburu liar itu, tertangkap basah tiga petugas KSDA pada penghujung September 2005, di kawasan Bukit Tekenang, Taman Nasional Danau Sentarum(TNDS), Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat, sekitar 700 kilometer dari Pontianak.

”Para pemburu liar berburu bekantan, untuk mengonsumsi dagingnya. Mereka mengatakan babi hutan sudah sulit dicari di wilayah mereka, sebab hutan mulai rusak. Lagipula, kata mereka daging bekantan lebih enak daripada daging babi...,” kata Valentinus Heri, Direktur Riak Bumi.

Para pemburu itu dari suku Dayak Iban. Mereka terbiasa mengonsumsi binatang dari alam. Persoalannya, mereka berburu di Taman Nasional, dan bekantan adalah binatang yang dilindungi.

Ini baru sekelumit masalah di TNDS. Memang terkesan lebih mudah menetapkan suatu kawasan jadi Taman Nasional, persoalannya bagaimana mempertahankannya. Terlebih, TNDS adalah aset Kalbar, Indonesia, maupun dunia, untuk masa depan.

Taman Nasional
Ditetapkan sebagai Taman Nasional tahun 1999—sebelumnya Suaka Margasatwa sejak 1982—TNDS mempunyai area seluas 132.000 hektar, dengan 65.000 hektar kawasan di luar TNDS sebagai zona penyangga.

”Peran TNDS sangat penting. Keutuhan dan kelestariannya, bukan saja untuk tumbuhan dan hewan, tapi demi masyarakat Kalbar,” ungkap Elizabeth Linda Yuliani, dari Center For International Forestry Research (CIFOR).

Dalam berbagai kesempatan dipaparkan, TNDS habitat sekitar 500 spesies tumbuhan, 260 spesies ikan, 300 spesies burung, 11 spesies kura-kura, 3 spesies buaya, orang utan, bekantan, dan spesies lain yang mungkin belum diidentifikasikan.

Lebih lanjut, fakta suplai 60 persen ikan air tawar di Kalbar, berasal dari Danau Sentarum, tak terbantahkan. Sebab danau ini, telah lama digunakan ikan-ikan dari perairan Kapuas untuk bertelor, melalui koneksi Sungai Tawang.

Fungsi lain TNDS adalah fungsi hidrologis. Di musim hujan, Danau Sentarum menyerap 25 persen air Sungai Kapuas. Sebaliknya, di musim kemarau, 50 persen air Sungai Kapuas berasal dari danau.

Fungsi hidrologis ini sangat vital. Bayangkan bencana banjir di sepanjang DAS Kapuas, ketika musim hujan tiba dan TNDS terlanjur rusak. Sebaliknya, bagaimana ketersediaan air tawar di hampir 800 km DAS Kapuas bila fungsi resapan air Danau Sentarum hancur.

TNDS juga merupakan lokasi perkembangbiakan lebah liar (Apis dorsata), dengan hasil sebanyak 20-25 ton madu murni per tahun. Sebuah komoditas, yang membantu perekonomian nelayan setempat ketika tangkapan ikan jauh berkurang. Para petani lebah menarik perhatian lebah dengan membuat tikung, yakni tempat bersarangnya lebah. Tikung serupa kotak kayu berukuran sekitar 25 sentimeter x 200 sentimeter. Kotak kayu kemudian diikat dengan posisi melintang pada dahan pohon, dan setiap tikung bisa menghasilkan 10-20 kg madu.

Masyarakat Danau
Sekitar 8.000 orang tinggal dalam area TNDS, berprofesi sebagai nelayan, perajin rotan dan kayu, serta pencari lebah. Umumnya, beretnis Melayu dan Dayak, serta telah mendiami kawasan Danau Sentarum sejak ratusan tahun lalu.

Tentu saja keberadaan mereka, menghalangi upaya memaksimalkan fungsi TNDS. Meski atas nama kemanusiaan, TNDS tidak boleh sewenang-wenang mengusir masyarakat dari permukiman mereka. Dengan catatan, penduduk setempat harus dapat ”didamaikan” dengan alam.

Pengalaman masa lalu, mengajarkan ”diusirnya” masyarakat asli dari Taman Nasional dimana pun juga, selalu menimbulkan masalah. Misalnya, ”pertempuran” antara penjaga hutan melawan masyarakat di sekitar Pulau Komodo.

Patut diingat selalu ada kearifan lokal masyarakat asli, yang tentu punya aturan maupun norma dalam menyelaraskan hidup dengan lingkungan sekitar. Walaupun wajar, bila sub-sub etnis punya aturan adat berbeda-beda, dan wajib dikodifikasikan untuk dipelajari.

Selama bertahun-tahun, di TNDS berkarya Yayasan Riak Bumi. Mereka mengorganisasi masyarakat setempat untuk lebih akrab dengan alam. Atau sekedar hilir-mudik di danau menggunakan perahu bandung, untuk mengamati dan meneliti.

Buah dari karya Riak Bumi, masyarakat setempat pun sepakat memberlakukan aturan ramah lingkungan. Diantaranya, tidak menangkap ikan dengan bahan kimia maupun alat tangkap listrik, maupun mencegah illegal logging dan kebakaran hutan, karena merusak habitat lebah madu.

Kelompok lain juga membantu, misalnya, kawan-kawan World Wild Fund (WWF) memasukkan TNDS ke kawasan Heart of Borneo yang wajib dilindungi. Lalu, para peneliti CIFOR memperkenalkan pakan alternatif untuk ikan toman (budidaya ikan dalam keramba)..

Yakni, mencampur ikan segar cincang 10-15 kg per hari dengan bahan seperti dedak, ubi jalar, daun singkong. Tentu saja, ini bermaksud mengurangi ”pembantaian” ikan-ikan kecil—yang mungkin masih dapat besar—sebagai makanan ikan toman.

Peran Pemerintah
Bagaimana peran pemerintah pusat, pemerintah provinsi, maupun pemerintah kabupaten yang sejak lama memproklamirkan kabupaten Kapuas Hulu, sebagai kabupaten konservasi?

Segenap elemen masyarakat maupun Lembaga Swadaya Masyarakat, yang menggelar pertemuan pada penghujung September lalu di Aula Kabupaten Putussibau, sepakat mengharapkan kerjasama pemerintah.

Meski demikian, mereka juga sepakat tidak menggantungkan harapan pada pemerintah. Desakan warga setempat untuk membentuk Forum Masyarakat Danau Sentarum, pun menguat, seiring pengembangan dan penguatan kapasitas masyarakat di TNDS, disamping lambannya perhatian pemerintah terhadap pengelolaan TNDS.

Simak saja, hingga detik ini TNDS tidak kunjung memiliki unit pelaksana teknis. Selama ini, TNDS juga hanya dijaga satu jagawana dan seorang tenaga honorer KSDA, Jefri Irwanto, yang sempat tidak digaji selama 10 bulan.

Mana sanggup membentengi TNDS dari penebang liar kayu, pemburu liar, maupun pihak-pihak tidak bertanggungjawab. Maka, jangan heran kalau berbagai lembaga swadaya masyarakat getol memberdayakan masyarakat setempat, siapa tahu masyarakat lebih becus mengatur TNDS, daripada aparat pemerintah.

Read More..

NELAYAN


Ketika Nelayan, Berinvestasi Tanah dan Rumah…

Text and foto by haryo damardono

“Bapak telah menanam uang berbentuk rumah dan tanah di Singkawang. Ini demi masa depan anak-anak dan masa depan bapak sendiri. Mereka pun kini sekolah di Singkawang, menempati rumah bapak di sana,” ujar seorang nelayan, H Al Haris.

Ucapan mengejutkan ini datang bukan dari seorang spekulan tanah ataupun konsumen, yang terpikat jurus-jurus pemasaran Ray White, Era, maupun Century 21. Ucapan ini mengalir bebas dari bibir seorang nelayan Pulau Kabung.

Seorang nelayan pulau kecil, di Desa Karimunting, Kecamatan Sungai Raya, Kabupaten Bengkayang, Kalimantan Barat, sekitar 130 kilometer arah utara Pontianak. Disanalah sekitar 400 jiwa keluarga nelayan, mengakrabi dan mengais rezeki dari laut.

Darah Pak Haris, adalah darah laut. Sulit menyangkalnya, terlebih dia berdarah Bugis berkampung halaman di Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan. Namun, kuat keinginannya meninggalkan kehidupan nelayan.

“Mencari ikan, adalah keahlian utama kami. Tapi, mustahil mengandalkan hidup hanya dari mencari ikan. Kami bisa-bisa tidak makan. Dari waktu ke waktu juga hanya berutang kepada tauke,” tandas Haris.

Meski cinta laut, dia mengatakan kehidupan nelayan seolah berjudi. Terkadang mendapat banyak ikan tangkapan, sebaliknya bisa saja pulang tanpa hasil.

Haris mengatakan telah terbiasa, namun ada waktunya dia gelisah. Laut itu dalam, dia tidak tahu seluruh isi laut. Dan, separah itu ketidaktahuannya akan hasil tangkapan nanti malam. Tiap hari, dia mempertanyakan apakah keluarganya esok dapat makan enak.

Pemberontakan Pemerintahan Revolusioner RI (PRRI) tahun 1959-1961, dikatakan Haris, menyebabkan keluarga menjadi manusia perahu, hijrah dari Bone layaknya pengungsi Vietnam atau Cina.

Awalnya, mereka bermukim di Pulau Kijang Riau. Tapi Haris memisahkan diri, mengarungi kembali Selat Malaka, memasuki Laut Natuna, dan menemukan Pulau Kabung. Tempat dia melego jangkar, dan mendirikan pondok.

Dari hanya enam pondok, kini 160 rumah telah didirikan. Sebagian besar rumah panggung. Dikolong rumah, diletakkan keranjang-keranjang ikan, perahu, timbangan, hingga kandang hewan peliharaan, seperti ayam dan anjing.

Rumah-rumah di Pulau Kabung itu gelap gulita—listrik belum masuk—meski Indonesia telah merdeka 60 tahun. Sinetron maupun siaran bola, dinikmati ketika genset hidup. Itu pun kalau ada bensin, atau kalau ada uang untuk membelinya.

Kehidupan yang memprihatinkan. Terlebih, hanya ada Sekolah Dasar (SD) di Pulau Kabung. Maka, tidak heran pemuda nelayan, Deki (17), harus putus sekolah. “Tapi, anda dapat pergi naik haji,” sanggah saya, membayangkan mahalnya biaya ke Mekkah.

Naik Haji
“Saya dapat naik haji berkat cengkeh. Kami menanam cengkeh ketika pemerintah, menganjurkannya di tahun 1974. Cengkeh pula yang menolong, ketika ikan sulit ditangkap,” kata Haris.

Hasil cengkeh menolong penduduk Pulau Kabung. Mereka jauh lebih beruntung dibanding komunitas nelayan lain. Kini, harga cengkeh mencapai Rp 23.000 per kilogram, dipanen bulan November sampai Mei. Tahun 2001/2002, harga pernah mencapai Rp 68.000 per kg, tapi itu cerita lama.

Meski demikian, harga cengkeh lebih baik dari ikan teri, yakni Rp 12.000 – Rp 13.000 per kilogram, sementara sotong (sejenis cumi-cumi) senilai Rp 60.000 tiap kilogram. Tangkapan lain, ikan alu-alu, ikan kerapu, ikan terubuk, ikan senangin, ikan bawal, ikan hiu, mayong, dan pari.

Sementara komoditi pertanian Pulau Kabung lainnya, hanyalah kelapa senilai Rp 500 per butir, yang tidak menjanjikan. Terkait fluktuasi harga cengkeh, Haris menyatakan keheranannya, “Rokok khan pakai cengkeh. Lalu, kenapa harga rokok terus naik, sedangkan harga cengkeh naik turun. Sekarang saja merosot,” gugatnya.

Ketika panen cengkeh, hanya sedikit nelayan yang melaut ataupun pergi ke bagan. Lainnya, lebih memilih memanen cengkeh dan menjemurnya, karena bernilai ekonomi tinggi.

Bagan dianaktirikan. “Tahun ini saja, sekitar 40 bagan runtuh karena angin kuat dan arus deras. Padahal, harga pembuatan bagan sekitar Rp 6 juta per buah. Itu pun harus dipinjam dari tauke,” kata Deki.

Akibat kerugian itu, sebagian nelayan, menyisihkan pendapatan dari laut selama belasan tahun, lalu dibelikan lahan di Kecamatan Sungai Raya, untuk ditanami limau. Harga limau tipe AB per kilogram, kini mencapai Rp 2.100, meski pernah seharga Rp 7.000 tiap kilogram.

Berat Jadi Nelayan
“Berat menjadi nelayan. Untuk membangun bagan, dibutuhkan pilar kayu nibun (sejenis palmae), dipadu gelagar dari kayu sangae dan propok, dengan pondok nelayan beratap nipah. Tapi bisa saja baru sehari dibangun, runtuh karena ombak,” ujar nelayan Jumila.

Jamilu mengatakan tidak ada perhatian pemerintah, baik dari Dinas Kelautan atau Kecamatan setempat, untuk mengembangkan bagan yang tahan cuaca ganas. Padahal, ketika cuaca tidak bersahabat, nelayan urung melaut, sehingga tidak berpenghasilan.

Maka jangan berharap, nelayan menginvestasikan kembali uang ke sektor perikanan. Haris pernah punya tiga kapal, tapi kini hanya satu. Dia lebih baik membeli tanah. Tanah dan rumah di Singkawang, yang dibelinya tahun 1984, kini harganya berlipat ganda. Baru-baru ini, dia membeli tanah di Kecamatan Sungai Raya.

“Biaya buat kapal sangat mahal, sementara menangkap ikan sulit. Paku saja kini senilai Rp 7.000 per kilogram. Belum lagi kayu, mesin kapal, cat, kemudi, dan sebagainya. Percuma jadi nelayan, selamanya miskin,” ujarnya geleng-geleng.

Letak Pulau Kabung diantara Laut Natuna dan Laut Cina Selatan. Merosotnya sektor perikanan, pantas jadi perhatian. Haruskah laut sana tidak bertuan, lalu leluasa dijarah nelayan negara lain, seperti yang tempo hari ditengarai dilakukan nelayan Malaysia di Pulau Jemur, Riau?

Rekan-rekan Deki—sesama anak laut—kini lebih memilih kerja di darat, menjadi buruh pabrik, penjaga toko, maupun sopir di Singkawang. Siapa sudi berpeluh dibawah terik mentari, dengan penghasilan yang tidak menentu.

Harus kerja keras agar nelayan kembali menjelajahi lautan, seluas 75 persen dari total luas Indonesia. Mereka terlalu lama dilupakan, oleh pembangunan yang “memunggungi” laut, dan “menganak-emaskan” daratan.

Hasil sebuah survei menjabarkan, sekitar 75 persen petani adalah angkatan tua. Survei pula nelayan, mungkin tak jauh beda. Katanya, nenek moyang kita pelaut, tapi belum tentu anaknya, cucunya, keturunannya mau jadi pelaut. Tidak percaya? Simak kembali kata Haris, “Percuma jadi nelayan, selamanya miskin….”

Read More..

Usai Hutan Karet Terbakar, Hanya Amarah Tersisa….

Text and foto by haryo damardono

“Dulu dalam sehari, saya dapat Rp 60.000 dari karet. Sekarang hutan karet saya musnah karena terbakar. Padahal, sejak saya belum lahir hutan karet ini sudah menghidupi keluarga besar kami. Saya sungguh marah,” ujar Acung, menahan geram.

Acung menunjuk ke arah hutan karet seluas 3,5 hektar, yang dimilikinya turun-temurun. Tiap hari, dia menyusuri hutan menoreh getah karet sebanyak delapan kilogram. Tiap kilogram karet, dijual seharga Rp 7.500 pada pengumpul karet.

Hutan karet milik Acung, di tepi perkebunan sawit milik PT Mega Sawindo Perkasa (MSP), di Desa Lalang, Kecamatan Tayan, Kabupaten Sanggau, sekitar dua jam dari Pontianak, melalui ruas baru Trans-Kalimantan, yang belum diaspal.

“Keterlaluan. Perusahaan hanya mau bayar hutan karet, sebesar Rp 500.000 per hektar. Mau makan berapa lama, dengan uang Rp 1,75 juta. Saya menuntut lebih dari perusahaan,” kata Acung. Dia menduga perusahaan sengaja membakar hutan karetnya, karena dia menolak konversi hutan karet jadi kebon sawit.

Awalnya, kebakaran terjadi di areal PT MSP. Tetapi lambat laun, kebakaran melanda ladang penduduk. Acung curiga kebakaran itu disengaja. Dia makin marah, karena pekerja perkebunan, tidak membantunya memadamkan api.

Site Manager PT MSP, Mr Kong, membantah perusahaannya membakari lahan warga. “Kami juga korban. Uang sebesar Rp 500.000 itu, bukan ganti rugi, tapi bantuan bagi warga,” tutur Mr Kong, warga Malaysia, berperut tambun, yang rajin mengelilingi perkebunan dengan RX-King-nya.

Acung berpendapat lain. Dengan telah membayar hukum adat senilai Rp 50.000 kepada perangkat adat Dayak setempat, seusai peradilan adat dilangsungkan berarti perusahaan mengaku salah. Acung hanya menuntut hak miliknya.

Di Desa Lalang tersebut, Mr Kong akan membuka perkebunan sawit seluas 2.000 hektar. Telah ratusan hektar dibukanya. Namun hingga November ini, belum ada satu pun pohon sawit ditanam, karena ribuan bibit sawit baru disemaikan.

Ketika lahan terbakar awal Agustus lalu, Mr Kong menuturkan api berasal dari beberapa lokasi. “Kemarau ini sangat parah. Udara kering, rumput pun kering. Sebatang rokok saja, dapat menyebabkan kebakaran lahan. Kami ini juga victim, korban,” ucap Mr Kong, memberi penekanan pada kata korban..
Saat Kompas bicara dengan Mr Kong, Acung berjalan hilir-mudik di sekitar kami. Dia sangat marah, tapi hanya dapat menyerampah. Apalagi, pembicaraan Kompas dengan Mr Kong dalam bahasa Inggris. “Bohong. Mr Kong bicara bohong,” ungkapnya berulangkali.




Selain Acung, ada pula warga desa lain yang hutan karetnya terbakar. Alung misalnya, mengaku per hari menoreh 6 kilogram getah karet. Sementara Yusak, menoreh 20 kilogram getah karet per hari.

“Saya geram ketika seorang pekerja perkebunan, bilang karet dapat tumbuh lagi. Saya bilang, tau gak kalau butuh 16 tahun, agar karet dapat ditoreh lagi. 16 tahun bukan sebentar,” kata Yusak. Seperti Acung, Yusak pun terlihat sangat marah, tapi tiada daya berontak ke perusahaan.

Yusak menjelaskan tanaman karet miliknya merupakan karet alam. Keterbatasan modal, menyebabkannya tidak dapat membeli karet bibit unggul yang dijual Rp 2.000 per pohon. Sebab, satu hektar hutan karet biasanya terdiri dari 500 batang karet.

“Karet unggul sih nyaman. Sebelum usia 10 tahun sudah dapat ditoreh. Tetapi karet unggul, juga sangat manja. Tidak boleh ada rumput tumbuh di sela-sela tanaman. Repot juga mengurusnya,” jelas Yusak. Dia memperinci mengapa penduduk tidak terlalu suka karet unggul.

Untuk menghadapi PT MSP, kini Acung, Yusak, Alung, dan beberapa penduduk desa, telah mengonsultasikan masalah mereka pada pengacara Pontianak, Andel SH. Mereka berhadap Andel dapat memperjuangkan nasib mereka.

Jalur hukum merupakan salah satu upaya penduduk desa. Apalagi sekelompok petugas keamanan, dibayar perusahaan untuk menghalangi siapa pun yang ingin mempertanyakan nasib hutan karet mereka.

“Kita pakai pengacara. Semoga hukum masih ada, dan kita menang,” ujar Acung bersemangat, ditemui di kawasan perkebunan PT MSP. Tidak lama, delapan petugas keamanan menunggangi RX-King “mengepung” kami. Kata-kata mereka, sedikit mengancam.

Ada sedikit rasa gentar. Terlebih, beberapa petugas mengatakan dapat membuat kami tidak keluar dengan selamat dari perkebunan itu. Diam-diam, memory card pun diambil dari kamera, lalu dikantongi agar foto hutan karet yang terbakar tidak dihapus.

Dalam bahasa Dayak, Acung membantah ucapan petugas keamanan. Petugas itu pun pergi, setelah kami berjanji melapor ke kantor mereka. “Mereka saudara sekampung, walau sekarang memusuhi kami karena telah bekerja dan digaji perusahaan,” tutur Acung. Kini, konflik horizontal antarwarga Desa Lalang, memang terlihat nyata.

Kepala Desa Lalang, Alex Pramana, saat ditemui di warung kopi membenarkan kini ada warga yang pro maupun kontra dengan perkebunan sawit. Tapi, dia tidak ingin memihak karena dua pihak adalah warganya. Meski diakuinya, potensi bentrokan sangat besar.

Haryono Sadikin dari World Wild Fund (WWF) untuk Pontianak, menyatakan keprihatinannya atas pembukaan lahan sawit oleh PT MSP. “Saya tidak mengerti mengapa mereka harus membabat hutan karet masyarakat yang masih produktif. Masih banyak lahan kritis yang dapat diupayakan,” ujar dia.

Menurut Haryono, Pemerintah Daerah dan kepolisian harus menyidik kebakaran lahan PT MSP, yang merembet pada lahan rakyat. Sebab modus pembukaan lahan dengan cara dibakar, telah menjadi hal lumrah yang selalu ditutup-tutupi.

“Membakar lahan tetap lebih murah, daripada membuka lahan dengan alat berat dan banyak pekerja. Musim kemarau sering diperdaya, sebagai alasan terjadinya kebakaran tanpa disengaja, padahal dapat terjadi telah direncanakan,” tutur Haryono.

Sementara Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah (Bapedalda) Kalbar, Tri Budiarto, mengatakan penyidikan terhadap PT MSP telah dilakukan. Pemeriksaan saksi telah pula berlangsung.
Kini, seusai hujan berhari-hari, langit biru kembali terlihat di Pontianak. Kabut asap nyaris dilupakan warga Kalbar. Tetapi, bagi Acung dan petani lain yang hutan karetnya terbakar—yang terlalu perkasa untuk menangis—hanya amarah tersisa.

Mereka hanya dapat menahan amarah, sebab perlawanan secara fisik hanya membuka “pintu” baru, yakni kriminalisasi penduduk desa oleh perusahaan perkebunan. Modus lama, yang selalu berulang. Ditunggu keberpihakan dewi keadilan bagi mereka.

Read More..

Sunday, November 18, 2007

GUNUNG PALUNG
Memburu Penebang Kayu Ilegal di Gunung Palung

Text and foto by haryo damardono

Delapan belas jam berlalu. Tetapi, perjalanan sepanjang 200 kilometer, dari ibukota Kabupaten Ketapang di Kalimantan Barat, menuju Kubing—sebuah kawasan masuk Taman Nasional Gunung Palung (TNGP)—belum tertuntaskan.

Lubang selebar badan jalan dan sedalam sebuah sedan, merupakan tantangan rutin. Dorong-mendorong, tarik-menarik kendaraan, hal lumrah. Bahkan kendaraan berpenggerak empat roda seharga lebih Rp 500 juta, yang saya naiki terbenam berulangkali.

Hancurnya infrastruktur, merupakan tantangan Polisi Hutan TNGP, belum lagi saat memasuki hutan. Dalam perjalanan, dari tiga kendaraan roda empat dan tiga kendaraan roda dua, tercatat dua bemper copot, satu tangki bensin copot, satu spion pecah, dan dua mobil sempat mogok karena over-heat.

Operasi darat di wilayah TNGP seluas 90.000 hektar, bukan perkara mudah. Memburu penebang kayu ilegal di wilayah seluas itu, seumpama mencari jarum dalam jerami. Apalagi polisi hutan di TNGP, hanya 41 orang. Sungguh jumlah yang jauh dari ideal, dengan kata lain: tidak masuk akal.

“Tapi kini, kami punya dua pesawat ultra light, yang menjangkau TNGP dalam 20 menit penerbangan dari Ketapang. Pemotretan udara terhadap aktivitas penebangan liar dilakukan, lalu dilengkapi data Global Positioning System (GPS), baru diluncurkan operasi darat maupun air,” tandas Kepala Balai TNGP, B Prabani Setiohindrianto.

Setelah terbanting-banting selama 18 jam, perjalanan dilanjutkan berjalan kaki menembus hutan hujan tropis berkanopi lebat, sehingga ketika hujan lebat pun kami serasa hanya dijatuhi hujan gerimis.

Bersama 20 polisi hutan, kami menembus TNGP—satu-satunya Taman Nasional berekosistem terlengkap di Indonesia. Tercatat tujuh ekosistem mulai ekosistem pantai hingga puncak Gunung Palung (1.116 meter). Belum lagi sekitar 2.200 orangutan dan ribuan bekantan.

Peneliti Tim Laman, dalam Majalah National Geographic Oktober 2000, mengindentifikasi 30 spesies binatang terbang (glider). Yang dikatakannya, tidak terdapat di hutan tropis Amazon, dan hanya sedikit ditemukan di hutan tropis Afrika.

Demikianlah, kami pun memburu penebang liar, yang bergantian mengobrak-abrik sekitar 80 persen kawasan TNGP. Keberadaan mereka sulit ditemukan, karena lebatnya hutan, terlebih tebangan pada spot-spot yang terpisah jauh satu sama lain, dan hanya dihubungkan sungai-sungai kecil.

Tembakan peringatan diberikan dari lima senjata api jenis PM 1A1 buatan Pindad. Hanya lima? Ya, hanya lima yang dimiliki TNGP. Padahal, senjata api sangat penting karena penebang liar pun seringkali menyandang senapan lantak, dengan dalih untuk berburu di hutan.

Patut disayangkan, hanya dijumpai empat bagan penebang liar yang telah ditinggalkan, berikut sekitar 50 barang bukti kayu jenis meranti dan mengkirai. Ditemukan pula karung beras, bensin, oli, chainshaw, hingga logistik penebang kayu, yang diperkirakan berjumlah 20 orang.

Kami pun pulang, menyusuri hutan hujan tropis ditemani kicau burung. Sesekali beristirahat karena kaki ini pun seolah tidak lagi bertulang, terkadang meminum air sungai dicampur extra joss karena logistik air habis, dan lagi-lagi mengonsumsi mie instan.

Sungguh, kami bersimpati dengan para polisi hutan, yang kiprahnya tidak banyak terdengar. Polisi hutan yang rela berhari-hari meninggalkan keluarga untuk menjelajahi hutan. Yang dengan setia menjaga hutan Gunung Palung sebagai paru-paru dan warisan dunia.

Read More..

Saturday, November 17, 2007

LINGGARJATI
Bangkitkan Roh Perjanjian Linggarjati...

Siapa tidak kenal dengan nama besar Linggarjati? Kalimat tersebut mungkin terlalu angkuh dan provokatif, tetapi menimbang kata Linggarjati terpatri pada setiap buku pelajaran sejarah, yang tentunya dibaca (dan dihapalkan) tiap anak didik di Indonesia, maka tidaklah berlebihan bila Linggarjati dikenal tiap orang.

Kalau pun hanya segelintir orang, terutama masyarakat Jawa Barat, yang mengetahui letak geografis Linggarjati di Kecamatan Cilimus, Kabupaten Kuningan, tentunya itu sebuah persoalan lain. Ketidakjelasan informasi? Bisa jadi. Ketidakpedulian pada sejarah bangsa? Mungkin juga.

Sungguh, tidak sulit menjangkau Kompleks Perundingan Linggarjati. Bila melintas di ruas Pantai Utara Jawa (Pantura), cobalah sesekali berbelok arah ke selatan keluar di gerbang Ciperna pada ruas tol Palimanan-Kanci (tol Cirebon).
Ambil arah Kota Kuningan dan hanya dalam hitungan 20 menit, anda dapat mencapai Kota Kecamatan Cilimus, yang berjarak 25 kilometer dari Kota Cirebon. Lalu mendakilah sejauh beberapa kilometer di jalan desa Linggarjati, yang terletak di kaki gunung Ciremai (3.078 meter—gunung tertinggi di Jawa Barat), maka akan kau jumpai kawasan Wisata Linggarjati tempat Kompleks Perundingan Linggarjati berdiri.

Bila pun berkehendak menggunakan kendaraan umum, tidak usah risau karena ratusan bus jurusan Jakarta-Kuningan tersedia setiap saat. Sebab, berdasarkan catatan Kabupaten Kuningan hampir 20 persen penduduk Kuningan yang berjumlah total sekitar 1,3 juta jiwa merupakan kaum perantau.


“Mangga, silahkan masuk,” sapa Saom, pegawai Dinas Pariwisata dan Kebudayaan, yang telah bertugas di Linggarjati sejak 1978. Maka, setelah melewati ruang sekretaris, tibalah di ruang tengah bangunan tua seluas 800 meter persegi, yang berada di atas lahan dengan luas 2,4 hektar.

Bangunan tua ini secara keseluruhan terpelihara amat baik, bahkan akhir minggu Januari 2005 ini mengalami pengecatan. Bangunan tua berarsitektur bangunan tropis-Hindia Belanda ini pun, berventilasikan memadai dengan jendela yang bertebaran dimana-mana, untuk mengakomodasi udara segar Gunung Ciremai dan matahari.

Saom pun menjelaskan satu-demi satu empunya kursi di ruang tengah, tatkala perundingan berlangsung 10 – 15 November 1946. Dari sisi paling utara, sebuah kursi tunggal ditempati Lord Killearn—penengah berkebangsaan Inggris, lalu di kiri-kanan meja yang terletak di depannya, duduk delegasi Indonesia dan Belanda.

Delegasi Indonesia dipimpin Perdana Menteri Sutan Sjarir dengan anggota delegasi Mr Susanto Tirtoprodjo, Dr AK Gani dan Mr Mohammad Roem. Sementara delegasi Belanda terdiri dari Dr Van Mook, Mr Van Pool, Dr F De Boer dengan Prof Dr Shermerhorn sebagai ketua delegasi.

Pada kutub lain, di bagian selatan ruang perundingan tersebut, terdapat meja yang konon ditempati Dr J Leimina, Dr Soedarsono, Mr Amir Sjarifoedin dan Mr Ali Boediardjo, sebagai notulen perundingan. Dalam ruangan itu, diletakkan pula replika lemari kayu, serta sebuah diorama perundingan yang dibuat Dinas Pariwisata Provinsi Jawa Barat tahun 1986.

Terdapat pula dua benda antik yang menyita perhatian, yakni piano bermerek (atau nama pemilik?) bertuliskan H Rawie Osnabrick—namun sayang tidak ditemukan tahun pembuatan meski seluruh piano telah digeledah, dan sebuah jam tower bermerek Junghans, bertuliskan Made ini Germany, yang dengan malu-malu diakui Saom merupakan replika.

Boleh jadi, dua benda itu merupakan pelengkap interior gedung perundingan Linggarjati yang dalam perjalanannya, sempat menjadi hotel bernama Rustoord (1935), Hotel Hokay Ryokan pada penjajahan Jepang (1942), Hotel Merdeka (1945) pascakemerdekaan, sebelum menjadi SD Negeri Linggarjati (1975) dalam kondisi fisik yang mengenaskan, dengan akhir perjalanan menjadi Museum Linggarjati.

Terdapat enam kamar tidur bagi delegasi Belanda dan Indonesia, di bagian depan gedung yang menghadap timur. Enam kamar tersebut, saling berhadapan-dipisahkan lorong selebar dua meter. Di masing-masing kamar, diletakkan replika tempat tidur, lemari pakaian, dan kursi. Ada pula replika yang tidak mendekati aslinya, yakni wastafel. Saom menjelaskan sulit menemukan model asli wastafel, tapi dia bersikukuh seluruh pipa wastafel peninggalan asli.

Satu kamar lain yang terletak terpisah di sayap utama bangunan, ditempati Lord Killearn. Selain berukuran lebih luas, kamar ini dihubungkan dengan dua pintu koneksi ke kamar tamu pribadi serta menuju taman. Kamar Lord Killearn pun dilengkapi kamar mandi pribadi, walau dengan interior sederhana.

Hampir 90 persen ubin di gedung perundingan Linggarjati, yang didonimasi warna hijau dan coklat muda merupakan ubin asli, dengan tambahan ubin berwarna kuning yang menghubungkan kamar Lord Killearn dan ruang tengah-ruang perundingan, karena ubin asli telah amblas. Sementara kusen maupun daun pintu-daun jendela, ternyata masih asli.

Tetapi menurut Saom, penggantian dilakukan terhadap seluruh genteng pada tahun 1994. Sekitar dua bulan lalu, juga dilakukan penggantian terhadap kulit jok kursi, yang didominasi warna aslinya yakni abu-abu.

“Selain piano, hanya kursi dan meja makan yang benar-benar masih asli, selebihnya merupakan replika, karena furnitur asli sempat tidak dipelihara dalam waktu puluhan tahun,” kata dia. Bahkan, benda-benda asli dikembalikan atas itikad baik penduduk setempat, yakni Abdul Rasyid (orang Jerman yang menikah dengan penduduk setempat) dan H Abdul Rahman Saleh, yang selama ini menyimpan dan merawat furnitur tersebut.

Bila melihat pada bagan gedung, konsep bed and breakfast mungkin lebih tepat dikemukakan daripada konsep hotel. Sebab, dengan jumlah ruangan sedikit, kehangatan-keakraban tampak lebih ditonjolkan.

Ini selaras dengan pemikirin, bahwa setelah meminang dan memboyong janda kembang Jasitem, Tuan Mergen atau dikenal sebagai Tuan Tersana (pemilik pabrik gula Tersana Baru di dataran rendah Kabupaten Cirebon), merombak gubuk Nyai Jasitem sebagai rumah semi-permanen untuk villa-peristirahatan pada tahun 1921. Walau akhirnya dijual pada Van Ost Dome, yang menjadikannya rumah tinggal permanen.

“Berdasarkan catatan kami, rata-rata tiap hari obyek wisata perundingan Linggarjati didatangi tidak kurang 100 pengunjung,” kata pegawai Dinas Pariwisata dan Kebudayaan, Kabupaten Kuningan, Tujih Sunarsih, yang sehari-hari mengepalai sekitar 10 pegawai Dinas Pariwisata dan Kebudayaan. Dia adalah puteri alm Sukarta, yang wafat 2001, seorang pelayan pada perundingan Linggarjati.

Kunjungan wisatawan tertinggi terjadi pada bulan Juli (masa liburan sekolah) yang dapat mencapai 6.000 orang. Jumlah pengunjung tertinggi adalah para pelajar, yang datang berkelompok. Sementara pengunjung umum cukup sedikit, walau ada pula wisatawan asing. Sementara menurut Saom, para mahasiswa malah jarang berkunjung.

Minimnya fasilitas menyebabkan museum Linggarjati kurang diminati pelancong. Padahal, Desa Linggarjati memiliki beberapa kawasan wisata, mulai dari wisata alam, wisata perhotelan, pusat hiburan musik, kawasan peristirahatan (villa), yang dipadati pengunjung biasa maupun birokrat, dari Kabupaten Kuningan, Cirebon, Kota Cirebon, dan kabupaten lain.

Tijih mengatakan kompleks perundingan Linggarjati sesungguhnya telah dilengkapi kawasan bisnis terpisah di sisi selatan, berupa halaman parkir, kios, maupun auditorium, tetapi pemanfaatannya kurang maksimal. Auditorium malah hanya digunakan jajaran Dinas Pariwisata dan Kebudayaan untuk rapat. Dia mengatakan masyarakat lebih tertarik menyambangi kawasan wisata alam, maupun hiburan lain.

Sesungguhnya, kompleks perundingan Linggarjati berpotensi, misalnya untuk membangun perpustakaan, teater (dapat diputarkan cuplikan film atau microfilm), bahkan kafe sebagai lokasi diskusi bukan hanya kaum muda tetapi juga kaum intelektual, tentu dengan menangkap “daya magis” kompleks perundingan Linggarjati sebagai situs sejarah. Bercermin pada Gedung Arsip di Jl Gajah Mada, Jakarta Pusat, bukan mustahil pesta pernikahan dengan konsep pesta kebun dapat pula dilakukan di sini.

Modal perpustakaan, kata Saom, telah dimulai tahun 1991, dengan dihibahkannya puluhan buku berbahasa Belanda oleh Kedutaan Besar Belanda, diantaranya KGP Kleine Serie Nederlands Indonesische Betrekkingen 1945-1950, Jan Bank Katholiekenen de Indonesische Revolutie, Het Corps Binnenlands Bestuur op Java 1945-1949, dan puluhan buku politik dan budaya Indonesia, yang ditempatkan dalam dua lemari kaca yang selama ini selalu terkunci. Bangunan paviliun dengan tiga ruang utama, pun siap seandaikan perpustakaan dibuka untuk publik.

Modal telah ada, pertanyaannya maukah memaksimalkan Gedung Perundingan Linggarjati. Ini bukan sekedar membangun kawasan wisata, tapi juga momentum untuk membangkitkan roh Perjanjian Linggarjati..., roh nasionalisme, roh perjuangan diplomasi bukan sekedar perjuangan bambu runcing-perjuangan kekerasan.

Tentunya, daya juang-daya pikir para pendiri negeri dalam perjanjian ini, nantinya dapat terefleksi entah dalam perdebatan di meja kafe atau di sudut perpustakaan. Sekali lagi, maukah membangkitkan roh Perjanjian Linggarjati. Ini persoalan mau atau tidak, bukan lagi persoalan dana, sebab kini zamannya kemitraan dapat mengalahkan persoalan klasik dana. Mampu atau tidak, mau atau tidak? (HARYO DAMARDONO)

Read More..