Friday, December 12, 2008

Anak Mall

Di Pontianak, Leavy, wartawan Pontianak Pos sering mengejek saya sebagai anak mall. “Budak-budak (anak-anak, maksudnya) lain masih liputan, Haryo sudah di mall. Cemane tu,” ujar dia.

Awalnya, Mal Gajah Mada merupakan target utama. Namun seiring hijrahnya Toko Buku Gramedia ke Mega Mall, maka saya lebih sering menyambangi mal itu. Lebih sering? Maksudnya sering sekali, seminggu bisa empat kali.

Di mal, saya paling sering beli buku, beli CDs, nonton film, hingga belanja di hypermart untuk membeli makanan—yang biasanya dijarah Leavy juga. Buat saya, mal adalah oase dalam menjalani tugas di Pontianak. Mohon maaf, tapi segalanya tersedia. Di Pontianak, mal juga jadi melting pot utama, penuh sesak, ketika… kabut asap menyelimuti kota.

By the way, sembari membereskan kertas-kertas di meja kerja, saya menemukan fotokopian Catatan Pinggir Majalah Tempo, 13 Mei 2007, yang ditulis Goenawan Mohammad, judulnya singkat, “Mall”. Buat saya, tulisan ini luar biasa! Anda akan sependapat dengan saya….

MALL (oleh Goenawan Mohammad)

Jika tuan berdiri di salah satu sudut Senayan City, tuan akan tahu bagaimana malam berubah sebagaimana juga dunia berubah. Di ruangan yang luas dan disejukkan pengatur udara, cahaya listrik tak pernah putus. Iklan dalam gambar senantiasa bergerak, bunyi musik menyusup lewat ratusan iPod ke bagian diri yang paling privat, dan lorong-lorong longgar itu memajang bermeter-meter etalase dengan busana dan boga.

Sepuluh, bukan, lima tahun yang lalu, malam tidak seperti ini. Juga dunia, juga kenikmatan dan kegawatannya.

Hari itu saya duduk minum kopi di salah satu kafe di salah satu mall di Jakarta, dan tiba-tiba saya merasa bodoh: saya tak tahu berapa mega-kilowatt listrik dikerahk an untuk membangun kenikmatan yang tersaji buat saya hari itu. Saya merasa bodoh, ketika saya ingat, pada suatu hari di Tokyo, di tepi jalan yang meriah di Ginza, teman saya, seorang arsitek Jepang, menunjukkan kepada saya mesin jajanan yang menawarkan Coca-Cola dan kripik kentang. "Tahukah Tuan," tanyanya, "jumlah tenaga listrik yang dipakai oleh mesin jenis ini di seluruh Jepang?

Saya menggeleng, dan ia menjawab, Jumlahnya lebih besar ketimbang jumlah tenaga listrik yang tersedia buat seluruh Bangladesh.

Ia berbicara tentang ketimpangan, tentu. Ia ingin saya membayangkan rumah-rumah sakit yang harus menyelamatkan nyawa manusia di sebuah negeri miskin yang ternyata tak punya daya sebanyak 10 buah mesin jajanan di negeri kaya mesin yang menawarkan sesuatu yang sebetulnya tak perlu bagi hidup manusia.

Saya merasa bodoh, mungkin juga merasa salah. Seandainya bisa saya hitung berapa kilowatt energi yang ditelan oleh sebuah mall di Jakarta, di mana saya duduk minum kopi dengan tenang, mungkin saya akan tahu seberapa timpang jumlah itu dibandingkan dengan seluruh tenaga listrik buat sebuah kabupaten nun di pedalaman Flores .

Tapi tak hanya itu sebenarnya. Kini banyak orang tahu, ketimpangan seperti itu hanya satu fakta yang gawat dan menyakitkan. Ada fakta lain: kelak ada sesuatu yang justru tak timpang, sesuatu yang sama: sakit dan kematian.

Konsumsi energi berbeda jauh antara di kalangan yang kaya dan kalangan miskin, tapi bumi yang dikuras adalah bumi yang satu, dan ozon yang rusak karena polusi ada di atas bumi yang satu, dengan akibat yang juga mengenai tubuh siapa saja termasuk mereka yang tak pernah minum kopi dalam mall, di sudut miskin di Flores atau Bangladesh, orang-orang yang justru tak ikut mengotori cuaca dan mengubah iklim dunia.

Dengan kata lain, tak ada pemerataan kenikmatan dan keserakahan, tapi ada pemerataan dalam hal penyakit kanker kulit yang akan menyerang dan air laut yang menelan pulau ketika bumi memanas dan kutub mencair. Orang India, yang rata-rata hanya mengkonsumsi energi 0,5 kW, akan mengalami bencana yang sama dengan orang Amerika, yang rata-rata menghabisi 11,4 kW.

"Saya tak lagi berpikir tentang keadilan dunia," kata teman Jepang itu pula, "terlalu sulit, terlalu sulit." Beberapa tahun kemudian ia meninggalkan negerinya.

Saya dengar ia hidup di sebuah dusun di negeri di Amerika Latin, membuat sebuah usaha kecil dengan mengajak penduduk menghasilkan sabun yang bukan jenis detergen, mencoba menanam sayuran organik sehingga tak banyak bahan kimia yang ditelan dan dimuntahkan. Tapi kata-katanya masih terngiang-ngiang, "terlalu sulit, terlalu sulit."

Mungkin memang terlalu sulit untuk menyelamatkan dunia. Saya baca hitungan itu: dalam catatan tahun 2002, emisi karbon dioksida dari seluruh Amerika Serikat mencapai 24% lebih dari seluruh emisi di dunia, sedangkan dari Vanuatu hanya 0,1%, tapi naiknya permukaan laut di masa depan akibat cairnya es di kutub utara mungkin akan menenggelamkan negeri di Lautan Teduh itu dan tak menenggelamkan Amerika.

Ingin benar saya tak memikirkan ketidakadilan dunia, tapi manusia juga menghadapi ketidakadilan antargenerasi. Mereka yang kini berumur di atas 50 tahun pasti telah lama menikmati segala hal yang dibuat lancar oleh bensin, batu bara, dan tenaga nuklir. Tapi mungkin sekali mereka tak akan mengalami kesengsaraan masa depan yang akan dialami mereka yang kini berumur 5 tahun. Dalam 25 tahun mendatang, kata seorang pakar, emisi C02 yang akan datang dari Cina bakal dua kali lipat emisi dari seluruh wilayah Amerika, Kanada, Eropa, Jepang, Australia, Selandia Baru. Apa yang akan terjadi dengan bumi bagi anak cucu kita?

"Terlalu sulit, terlalu sulit," kata teman Jepang itu.

Ekonomi tumbuh karena dunia didorong keinginan hidup yang lebih layak. "Lebih layak" adalah sesuatu yang kini dikenyam dan sekaligus diperlihatkan mereka yang kaya . Kini satu miliar orang Cina dan satu miliar orang India memandang mobil, televisi, lemari es, mungkin juga baju Polo Ralph Lauren dan parfum Givenchy sebagai indikator kelayakan, tapi kelak, benda-benda seperti itu mungkin berubah artinya. Jika 30% dari orang Cina dan India berangsur-angsur mencapai tingkat itu seperempat abad lagi, ada ratusan juta manusia yang selama perjalanan seperempat abad nanti akan memuntahkan segala hal yang membuat langit kotor dan bumi retak. Seperempat abad lagi, suhu bumi akan begitu panas, jalan akan begitu sesak, dan mungkin mobil, lemari es, baju bermerek, dan perjalanan tamasya hanya akan jadi benda yang sia-sia.

Mungkin orang harus hidup seperti di surga. Konon, di surga segala sesuatu yang kita hasratkan akan langsung terpenuhi. Itu berarti, tak akan ada lagi hasrat. Atau hasrat jadi sesuatu yang tak relevan; ia tak membuat hidup mengejar sesuatu yang akhirnya sia-sia. Tapi akankah saya mau, seperti teman Jepang itu, pergi ke sebuah dusun di mana tak ada mall, tak ada bujukan untuk membeli, dan hidup hampir seperti seorang rahib? Di mall itu, saya melihat ke sekitar. Terlalu sulit, terlalu sulit, pikir saya.

dari: Majalah Tempo Edisi. 10/XXXIIIIIII/ 07 - 13 Mei 2007

Read More..

Tuesday, October 07, 2008

Orang-Orang Spanyol

“Pernah pacaran dengan orang Spanyol?” tanyaku. Didit tersenyum, mengangguk- mengiyakan. Dia lahir di Jakarta, besar di Spanyol. Ayahnya, staf KBRI yang resign lalu menetap di Spanyol. Aku tertarik kisahnya tentang hubungan dua manusia beda benua. Tapi dia serius menyetir. Di sana, menyetir urusan serius. Jangan pakai HP saat nyetir, urusannya panjang.

Di Madrid, di sudut gedung Biblioteca Nacional, kulihat perempuan kulit putih tinggi sekitar 165 meter. Dia mancung, langsing, berambut coklat tua. Perempuan berkemeja dan berok hitam itu, jelas layak jadi gadis sampul majalah wanita. Dia menunggu seseorang. Tak lama, sang pria mendekat. Dia hitam, tampak dari satu negara di Afrika. Sang pria mencondongkan tubuh, memeluk, mencium bibir, satu telapak tangan menyentuh punggung, telapak lainnya menangkup lalu meremas pantat. Aiiiiiihhh….

Saat menulis feature bertajuk “Perjalanan Waktu The Aljaferia”, Senin (22/9), pikiranku melayang kembali ke jazirah Iberia, negara Spanyol yang kukunjungi pertengahan tahun ini. Tau gak? Tiada perasaan inferior menghinggapiku saat itu. Mengapa? Mungkin, salah satu penyebabnya, postur tubuh orang Spanyol yang tidak terlalu tinggi. Tidak terlalu tinggi, untuk orang Mongoloid sepertiku.

Umumnya, orang Eropa lebih tinggi dari orang Asia. Dalam perjalanan dari Heathrow Airport (London) menuju Baragas Airport (Madrid), pramugara dan pramugari British Airways juga lebih tinggi dari ku. Seperti raksasa-raksasi, dalam kisah pewayangan. Tapi orang Spanyol, kata orang Betawi, sepantaran dengan kita, sama pendeknya.

“According to one survey, Spaniards are among the shortest and slimmest people too,” demikian ditulis dalam The lonely planet Spain edisi 2007. Pembalap F1, Fernando Alonso juga tak terlalu tinggi. The Gladiator, adalah Spaniards too. Dia pun tak terlalu tinggi.

Mungkinkah, postur orang Spanyol yang tak terlalu tinggi, selain mengenyahkan inferioritas diri ku juga mempermulus hubungan cinta antarbenua? Aku sedang tak ingin berargumentasi, berkata-kata....

Aku memilih menunjukkan foto jepretanku. Orang-orang Spanyol. Nikmati!!

foto: Haryo Damardono (dilindungi hak cipta)

caption: 1. pengamen di Madrid (pengamen aja ganteng ya), 2. cewek Toledo (75 km dari Madrid), 3. pastor di Madrid (80 % orang Spanyol ngaku-nya Katolik), 4. cewek2 Madrid, 5. tukang jual Lotre (SDSB kalo di sini:), 6. a lady nunggu bus di halte, 7. pacaran ih, 8. modissss deh

Read More..

Friday, October 03, 2008

Menang Lomba Penulisan PT Kereta Api

Kabar itu datang via telepon genggam-ku. ”Mas, anda menang lomba karya tulis PT Kereta Api ke-63 sebagai Juara II (kedua),” kata Humas Eksternal PT Kereta Api Bambang SP. Tak sampai sebulan setelah tulisan itu dimuat, ternyata penghargaan menghampiri. Aku tak mengirim tulisan itu untuk diikutsertakan dalam lomba, tetapi staf humas PT KA memelototi tulisan-tulisan di media menyangkut perkeretaapian.

Rabu (17/9) pukul 08.30, aku menerima penghargaan itu di halaman kantor pusat PT KA di Bandung. Berbatik Danar Hadi dengan warna dasar hitam dan celana wool hitam, sebenarnya aku ingin menunjukkan keprihatinan atas dunia perkeretaapian sebagaimana kutulis dalam feature yang memenangi lomba ini. Entah apakah pegawai PT KA menangkap sinyal dari kostum-ku?

Terima kasih untuk tim ekspedisi Jalan Raya Pos-Daendels, yang mengajak bergabung. Dan, untuk Ahmad Arif yang merapikan-memoles tulisan itu. Tak lupa, terimakasih untuk narasumber utama Taufik Hidayat (Direktur Indonesia Railway Watch). Selamat pula bagi Djoko Setijowarno (dosen Unika Soegijapranata) yang tulisannya kali ini merebut Juara I.

Ini tulisan-ku, selamat membaca....

Kereta Api
Loko Tua, Siapa Mau Turut?

“…Sebab baru keesokan harinjalah saja berangkat ke Surabaja dengan kereta api eendaagsche untuk hadir di dalam Kongres Indonesia-Raya…,” demikian penggalan surat Ir Soekarno kepada Mr Sartono, tertanggal 14 Desember 1931, menjelang dia dibebaskan dari penjara Sukamiskin, Bandung. Dengan kereta api, Soekarno datang ke kongres penting yang menjadi dasar Indonesia.

Oleh: Haryo Damardono

Jaringan kereta api di Jawa, yang mulai dibangun 56 tahun setelah pembangunan Jalan Raya Pos dari Anyer-Panarukan, sebenarnya disiapkan Belanda menjadi moda transportasi utama. Sehingga, Belanda terus meningkatkan kualitas pelayanannya.


Pada tahun 1894, perjalanan kereta Batavia-Surabaya ditempuh dua hari, tahun 1929 hanya 13,5 jam, dan sepuluh tahun kemudian dapat ditempuh 11,5 jam. Ironisnya, tahun 2008 ini perjalanan Jakarta-Surabaya dengan kereta eksekutif Argo Bromo Anggrek ditempuh dalam 10 jam. Tidak ada kemajuan berarti!

Eendaagsche Expres atau ekspres satu hari, merupakan penanda kemajuan transportasi di Jawa. Dengan lokomotif C 53, kereta dapat melaju hingga 100 km per jam saat melewati beberapa ruas di rute Cikampek-Cirebon-Kroya-Yogya-Solo-Madiun. Lokomotif C 53, yang dibuat di Werkspoor, Amsterdam itu merupakan salah satu lokomotif tercepat di dunia pada masa itu.

Namun, 63 tahun di tangan Indonesia, perkeretaapian di Jawa terus menurun.

Terbengkalai
Panjang rel kereta api warisan Belanda itu makin berkurang, dari 6.811 km (1939), kini tersisa 4.500 km, dimana 3.425 km ada di Jawa. Di ujung barat Pulau Jawa, tak jauh dari reruntuhan benteng dan pelabuhan lama Banten, stasiun tua yang pernah menjadi jantung kota, dalam kondisi ditelantarkan.


Di ujung timur, Stasiun Panarukan, yang menjadi pemberhentian terakhir tembakau-tembakau terbaik Besuki, sebelum kemudian dikapalkan ke Bremen (Jerman) melalui Pelabuhan Panarukan, menjadi bangunan tua tak bertuan.

Di selatan Terminal Terboyo, Semarang, sebuah stasiun tua telah diubah menjadi toko, demikian juga nasib Stasiun Rembang. Di Pelabuhan Cirebon, rel-rel yang sejajar Jalan Raya Pos telah ditutup aspal. Tak jauh dari pintu masuk Pelabuhan Tegal ke arah Pemalang, rel yang melintasi jalan nasional pun dimatikan, menyisakan sepenggal rel yang menggelantung diatas selokan.

Puncak kemerosotan itu dapat dilihat di Jalan Pemuda, Jalan Raya Pos di ruas Semarang. Gedung Lawang Sewu, yang dulu kantor pusat Nederlands Indische Spoorweg-Maatschappij (NIS) atau Jawatan Kereta Api Pemerintah Hindia Belanda, menjadi bangunan tua yang tak terurus. Stasiun Semarang Tawang, rancangan JP de Bordes, yang dibangun 29 April 1911, dibiarkan sekarat menghadapi rob dari laut Jawa.

“Perkeretaapian kita terus mundur. Hampir seluruh perjalanan kereta api waktu tempuhnya menurun rata-rata satu jam. Kereta tua masih jadi andalan,” ujar Direktur Eksekutif Indonesia Railway Watch, Taufik Hidayat. Data Direktorat Jenderal Perkeretaapian Departemen Perhubungan menunjukkan, 109 dari 342 lokomotif telah berusia di atas 40 tahun, 412 dari 1.275 kereta berusia diatas 40 tahun, dan 1.887 gerbong dari 5.439 gerbong berusia diatas 40 tahun.

Pekan lalu, Taufik naik Argowilis (Bandung-Yogyakarta). “Dulu, ketika masih single-track lamanya 6,5 jam tetapi jutru menjadi 7,5 jam. Lalu, untuk apa dibangun double-track dari Kutoarjo-Yogja? Apa pula hasilnya modernisasi sinyal?” ujar Taufik.
Kereta api memang terus meredup. Kereta anjlok terus terjadi. Bulan lalu, bahkan ditemukan 10 bom molotov di rangkaian Kereta Cirebon Ekspres. “Bagaimana sterilisasi stasiun dan keamanan kereta api?” gugat Taufik.

Prioritas
Direktur Utama PT Kereta Api, Ronny Wahyudi beralasan, rendahnya pelayanan kereta api karena perhatian pemerintah terhadap kereta api masih kurang dibandingkan terhadap pembangunan jalan. “Kami kekurangan dana, dan sumber daya manusia juga masih rendah. Pemerintah baru memihak kereta api sejak tahun 2005,” kata Ronny..

Menurut Ronny, pemerintah harus memihak angkutan massal, utamanya kereta. ”Bila pemerintah lebih memilih tol, keuntungan mengalir ke industri otomotif Jepang. Membebaskan lahan tol juga butuh lima tahun, padahal lahan rel sudah siap,” ujar dia.

Pengalaman negara-negara lain, kereta cepat (high-speed train) telah menjadi penopang utama transportasi seperti Jepang dan negara-negara Eropa. Shinkansen telah dioperasikan di Tokyo-Osaka (515 kilometer) sejak 1964. Vietnam, yang masih perang pada dekade 70-an, pada Februari 2007 berani mengumumkan pembangunan kereta cepat Hanoi-Ho Chi Minh City (1.630 kilometer) berbiaya 33 miliar dollar Amerika.

Alokasi dana dari pemerintah Vietnam ini jauh lebih besar dibandingkan estimasi kebutuhan dana untuk membangun jaringan kereta api cepat Jakarta-Surabaya oleh perusahaan kereta api Perancis Societe Nationale des Chemins de Fer (SCNF), sebesar 6,14 miliar dollar Amerika. Bila terwujud, Jakarta-Surabaya bisa ditempuh tiga jam.

Pemerintah, melalui Meneg BUMN, Sofyan Djalil mengatakan, UU Kereta Api Nomor 23 Tahun 2007 telah membuka peluang investasi swasta di bidang perkeratapian. Namun, hingga kini belum ada investor yang berminat membangun kereta penumpang. Investor baru tertarik membiayai angkutan kereta batu-bara, seperti dirintis PT Bukit Asam Tbk. Peluang kerja sama lebih terbuka dengan perusahaan semen, pupuk, dan bahan bakar minyak.

Investor justru lebih tertarik membangun apartemen dan pusat perbelanjaan di lahan-lahan PT KA di jantung kota yang telantar, seperti di Manggarai. PT KA mempunyai 16.494 rumah dinas di Jawa dan Sumatera, namun tidak seluruhnya difungsikan. Sekitar 30 persen lahan PT KA saat ini juga masih dikuasai pihak lain. Padahal, saat ini PT KA kekurangan dana hingga Rp 11 triliun.

Taufik Hidayat menyarankan, revitalisasi perkeretaapian dimulai dengan merehabilitasi jaringan-jaringan yang sudah ada. Baru kemudian, memodernisasi dan menstabilisasikan operasional kereta api.

Menurut hitungan Taufik, kereta api dapat meningkatkan efisiensi ekonomi karena sifatnya yang massal. Di India, sebesar 40 persen barang diangkut dengan kereta, sedangkan di Indonesia baru 0,6 persen.

Dengan segenap kelebihannya, kereta api tetap menjadi andalan transportasi massal di dunia. Misalnya Belanda, pada tahun 2006 negeri ini meremajakan kereta dengan mengoperasikan Randstad Rail untuk menghubungkan intra maupun interkota. Sedangkan menuju negara lain di Eropa menggunakan jaringan kereta The Thalys PBKA, akronim dari Paris, Brussels, Koln, dan Amsterdam.

Dibandingkan Belanda, negara kita ternyata tidak banyak bergerak ke depan. Negara Belanda mengapung karena mengeruk kekayaan kita, tetapi, tetap saja kita terpuruk hingga 200 tahun kemudian, dan menyia-nyiakan kekayaan yang tersisa...(Ahmad Arif)


Read More..

Tuesday, September 23, 2008


Birthday Tart dari Hotel Santika Cirebon

Kriiiiing, bunyi telepon, suara percakapan, lalu sebuah pertanyaan. “Kau ulang tahun?” ucap Ahmad Arif, wartawan Kompas yang menjadi teman sekamar di Hotel Santika Cirebon. “Iya,” kataku. “Selamat ya,” balas Arif, seraya menginformasikan Santika menanyakan keberadaanku.

Jumat sore itu, 1 Agustus 2008, aku berulangtahun ke-29 tepat ditengah-tengah perjalanan ekspedisi Daendels. Tak lama kemudian, bel berbunyi, pintu kubuka. Dan ternyata, seorang karyawan Santika Cirebon mengantar kue tart. My birthday tart.

Thanks Santika. Terima kasih untuk teman, sahabat, dan keluarga yang mengucapkan selamat ulang tahun. Mohon maaf, baru sekarang aku sempat membalas. Terima kasih pula untuk teman yang mengirim sms pukul 22.00, berisi, ”mas, Indonesia Timur mengucapkan selamat ulang tahun”. SMS serupa dia kirim lagi, pukul 23.00 dan pukul 24.00. Thanks...

Read More..

Monday, September 08, 2008

GARUDA MANADO
Nyawa Bisa Saja Melayang....

Geat decision, Capt. Saya lihat anda abort landing hanya 1-2 menit sebelum roda pesawat touch-down runway—tulisku dalam kartu namaku yang kutitipkan pada senior cabin crew untuk captain GA 602.

Hujan lebat, angin kencang. Jarak pandang di Bandara Sam Ratulangi, Manado, Sulawesi Utara, Kamis, 4 September 2008, menjadi terbatas. Cuaca berubah dengan drastis. Padahal, ketika Boeing 737-400 ini melayang di atas Teluk Manado, cuaca masih cerah.

Oleh HARYO DAMARDONO

Pramugari mengumumkan pesawat segera mendarat. Kumatikan Ipod, kumasukkan earphone Sennheiser-ku ke dalam tas. Kubersyukur, Sennheiser masih berfungsi. Agen resmi Sennheiser di Ratu Plaza menvonis mati earphone itu, tetapi Haji Apa, perantauan Bireuen, Aceh yang tinggal dekat rumah memperbaiki dengan ongkos Rp 15.000. Irit lebih dari Rp 400.000, dibanding membeli Sennheiser baru.



Penerbangan Jakarta-Manado, tidak sebentar. Jakarta-Makassar ditempuh 2 jam 15 menit, transit di Makassar selama 30 menit, lalu terbang lagi ke Manado selama 1 jam 30 menit. Total dibutuhkan 4 jam 15 menit, belum termasuk merayap di taxiway menuju ujung runway, atau dari runway ke apron yang bila dihitung mencapai sekitar 30 menit.

Selain berbekal ipod, aku membawa dua buku milik perpustakaan kantor, untuk membunuh waktu. Novel Deadly Triangle, karangan Lewis Perdue; mengisahkan perburuan Rusia, Nazi, dan Takhta Suci Vatican terhadap dokumen Leonardo da Vinci. Dan, buku teks The Geography of Urban Transportation; berisi tinjauan transportasi di Amerika Serikat.

Pesawat turun dari ketinggian jelajah 33.000 kaki (sekitar 11 kilometer di atas permukaan laut). Dari bangku ku di nomor 9A, kulihat di sisi utara Manado Tua. Pulau vulkanik setinggi 800 meter ini, dapat diamati dari seluruh penjuru Manado. Di sebelahnya, ada Pulau Bunaken. Perairan Pulau Bunaken, merupakan firdaus bagi penyelam.

Kursi pesawat ini pun sebagian penuh dengan orang kulit putih. Tetapi, mereka tidak tampak seperti pelancong. Entah mengapa kuberpikir demikian? Mungkin karena bule-bule itu berpakaian lebih rapi, tidak berpakaian casual sebagai layaknya pelancong. Mereka juga bukan pebisnis, yang memakai setelan mahal.

”Permisi,” ujar salah satu perempuan bule itu kepada pramugari Garuda, yang sudah tua-tua. Serentetan kosa-kata Indonesia, lalu keluar dari mulut bule itu. Kupikir, mereka adalah para pewarta Injil, yang berkelana dari satu negara ke negara lain. Di Bitung (50 km dari Manado), tahun 2007, pernah kusaksikan satu kapal besi bernama lambung Hannah I, berbobot sekitar 600 Gross Ton. Isinya, ratusan pewarta Injil!

Ketinggian terus terpangkas. Kini pesawat telah meninggalkan Laut Sulawesi, lalu terbang di atas bagian paling timur laut daratan Sulawesi Utara. Di bawah tampak permukiman yang berserakan di kaki gunung. Terlihat pula beberapa gereja, yang terlihat lebih megah dibanding rumah penduduk di sekelilingnya.

Ini kali ketiga aku mendarat di Bandara Sam Ratulangi. Pesawat selalu mendarat dari utara dengan hidung pesawat menghadap ke selatan. Sebelumnya, pesawat melintasi Teluk Menado dari barat ke timur, lalu berbelok melingkar sedikit ke kanan. Kutandai, tiap bandara memang selalu mempunyai jalur pendaratan, karena posisi geografinya, karena posisi runwaynya, atau arah angin.

”Landing position,” ujar pilot. Suara gemuruh menandai keluarnya roda pendaratan. Landing main gear, dan nose landing gear diturunkan. Lalu, suara elektris terdengar ketika trailing edge flap, di sisi belakang sayap, dijulurkan untuk menambah drag atau hambatan angin.

Posisi pesawat sedikit menengadah, hidung terangkat. Posisi ini supaya landing main gear yang menyentuh runway terlebih dahulu. Ketinggian makin berkurang. Badan pesawat terasa menyendal-nyendal terhambat angin. Badan pesawat bergoyang-goyang, tertiup angin yang cukup kencang.

Ujung-ujung pohon kelapa mulai terlihat. Pak Djoko dari Departemen Perhubungan di kanan saya, terlihat mulai tegang. Satu hingga dua menit lagi, roda pendaratan menyentuh runway.

Sebaliknya, aku rileks saja. Senin, 25 September 2005, pesawat jenis Fokker 27 rute Pontianak-Putussibau, yang kutumpangi hampir jatuh. Setelah pengalaman itu, terbang tidak pernah menakutkan. Kalau hanya cuaca buruk, apalagi angin kencang—enteng, menurutku.

Tiba-tiba, satu titik air, dua titik air, lalu hujan lebat menerpa jendela pesawat. Lalu kulihat kabut. Kabut di siang hari? Ternyata, hujan yang sangat lebat meminimalkan jarak pandang. Nyaris sepekat jarak pandang di Bandara Supadio, Pontianak, saat dikepung kabut asap.

Grooommmm. Mesin ..... tiba-tiba meraung. ”Abort landing, pak Djoko,” ujar ku. Seketika kecepatan ditambah, hidup pesawat pun makin dinaikkan. Runway terlihat makin menjauh, pesawat take-off kembali. Dalam hitungan detik, Capt GA 602 memutuskan pembatalan pendaratan. Kubayangkan, pilot berkata ke co-pilot, "Overshoot." Dan, dijawab, "Overshoot landing, capt.." Tak lama kemudian, sang pilot menginformasikannya ke Air Traffic Control.

Di sisi kiri, tampak Gunung Klabat (1.995 meter). Pesawat menambah ketinggian dengan cepat, tetapi sepertinya kami masih lebih rendah dari gunung itu. Edan, siapa yang berinisiatif membangun bandara ini tidak jauh dari gunung itu, pikirku. Terbang ke selatan, sang captain harus ekstra waspada. Terlebih, di barat daya Bandara Sam Ratulangi, terdapat Gunung Lokon (1.579 meter).

Kurang dari lima menit, kami telah terbang di atas perairan Sulawesi. Kuduga, kami berada di selatan Pulau Lembeh. Ketinggian pesawat distabilkan. ”Para penumpang yang terhormat, karena jarak pandang di Bandara Sam Ratulangi tidak memungkinkan untuk pendaratan. Maka, kami akan menunggu cuaca membaik untuk beberapa saat,” kata Captain GA 602.

Nyaris tidak ada reaksi dari penumpang. Meski bagi ku, itu adalah keputusan terbaik yang diambil sang captain. Itu keputusan yang diambil hanya dalam hitungan detik. Capt GA 602 bertindak profesional, karena abort landing menghabiskan bergallon-gallon avtur berbiaya jutaan rupiah.

Meski jarak pandang memburuk, kupikir seharusnya pesawat itu tetap mampu menyentuh runway. Karena pesawat dalam posisi lurus dengan runway. Lagipula percepatan pesawat saat hendak mendarat cukup konstan, serta proses pendaratan telah dipahami dengan baik.

Tetapi sekali lagi, mungkin, sang captain tidak mau ambil resiko. Mendarat dengan jarak pandang rendah, memungkinkan pesawat tidak mendarat di ujung runway tetapi di pertengahan runway. Akibatnya, pesawat tidak memungkinkan untuk direm tepat pada akhir runway.

Peristiwa Lion JT 538 di Solo, Selasa, 30 November 2004, menunjukkan akibat tergelincirnya pesawat, puluhan jiwa melayang. Dan, peristiwa Sriwijaya Air, yang overrun dari runway Bandara Sultan Thaha, Jambi, Agustus 2008, mempertontonkan tragedi akibat pesawat tidak landing dengan sempurna… Great decision, Captain...


Foto: Haryo Damardono
Caption:
1. Pengisian bahan baker avtur di Bandara Sam Ratulangi
2. Kota Manado difoto dari dalam pesawat. Dapat dilihat reklamasi pantai di jalan boulevard
3. Pulau Manado Tua (kiri) difoto dari kolam renang Hotel Ritzy ****, tempatku menginap di Manado
4. Ikan, kekayaan alam Sulawesi Utara, yang seringkali dijarah orang Filipina
5. Manado Town Square, contoh menjamurnya pusat perbelanjaan di Manado
6. Terminal Bandara Internasional Sam Ratulangi, Manado

PS. Joseph-pilot berkontribusi atas perbaikan artikel ini.. thanks

Read More..

Saturday, July 26, 2008

Bangun Ryana… Lu Masih Utang Sushi…

Oleh: HARYO DAMARDONO


Bon itu masih terselip dalam dompetku. Ayam Goreng Rp 12.000, Soft drink Rp 9.000, J (maksudnya juice) Melon Rp 12.000, Cash Rp 38.000. Tercetak tanggalnya, 09-07-08 13:12. Tertera dibawahnya, Ayam Goreng Fatmawati Bandara Terminal 1A.

Siang itu, aku dijadwalkan terbang ke Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Menteri Perhubungan akan meresmikan pengoperasian kapal perintis rute Batu Licin-Makassar-Bau-bau. Dan, Dephub mengajakku ikut serta. Dari Banjarmasin menuju Batu Licin, kami masih harus terbang 30 menit lagi, dengan pesawat berbaling-baling.

Dalam perjalanan menuju bandara, lapar menyergap. Setiba di Terminal IA Bandara Soekarno-Hatta, dari beberapa restoran kupilih Ayam Goreng Fatmawati. Duduk di meja 12, setelah memesan kutelepon Ryana. Dia berkantor di Terminal 1A, titel kerennya, Senior Executive Corporate Public Relations Indonesia AirAsia.

“Yes, mas Haryo,” jawab Ryana.

“Ry, temenin gue makan. Di Ayam Goreng Fatmawati,” kataku.

Aku lupa dia memakai baju apa. Yang jelas, saat dia menghampiri meja ku, meja nomor 12, rambutnya tergerai seperti biasa. Tidak terlihat polesan lip-stick, di wajahnya yang chubby.

“Gue dah pesan makanan, kamu mau makan apa, ry?”

“Aku udah makan mas Haryo. Juice aja deh…”

“Bohong ya? Lagi diet?”

“Gak diet, tauk. Dodol deh. Gue dah makan. Gue bawa makan, abis beli makan di restoran bandara, muahaaal mas Haryo…” ujarnya berapi-api, dengan lafal seperti anak kecil. Cadel-cadel, manja. Mau tau ciri khas Ryana? Kata: dodol.

Sambil makan, kami mengobrol seru. Mulai dengan berbagi gosip di dunia penerbangan, hingga bertengkar mengenai sogokan dari airlines kepada oknum Dephub. Aku bersikeras seluruh airlines, harus menyogok agar bisa terbang. Ryana berang airlines-nya dituduh menyogok.

“he.. he.. sebenarnya, gue gak tau juga sih mas Haryo, soal sogok-menyogok itu”.

Obrolan terhenti, sebab aku harus segera check-in. Aku pun membayar bill, lalu berpisah dengan Ryana.

“Lain kali, gantian aku traktir shushi ya mas Haryo”.

Itu pertemuan terakhir dengan Ryana Yahya Nasution. Itu setengah bulan lalu. Dan kini, Ryana terbaring di RSI Cempaka Putih. Kehilangan kesadaran. Koma, belum titik.

Kompas, Sabtu, 26 Juli 2008 halaman 25 memberitakan Ryana dan keluarga dengan judul, “Truk Hajar Taksi, Dua Tewas”. Tabrakan antara truk dan taksi di jalan tol layang Wiyoto Wiyono, ruas Cawang-Tanjung Priok, Kilometer 9+800, Jumat (25/7) pukul 05.30. Tabrakan itu merenggut nyawa sopir taksi dan Nur Khairina Maltu (50), ibunda Ryana.

Sebelum kutahu Ryana jadi korban, pertanyaan yang muncul adalah mengapa tembok pembatas tol dapat “ditembus” truk yang melaju dari arah seberang? Apakah kecepatan truk sangat tinggi, sehingga tembok pun hancur? Tiada jawaban dari berita itu.

Tahun 2008 ini, sudah dua kali aku pergi dengan Ryana. Bulan Januari ke Kuala Lumpur, dan bulan Februari ke Singapura. Dia sebenarnya mengajak ke Laos, Maret lalu, tetapi batal karena Perdana Menteri Laos pergi entah kemana. Padahal, kami menghadiri acara yang sedianya dibuka beliau.

Sepulang dari Kuala Lumpur, setelah mendarat di Soekarno-Hatta, kutawarkan Ryana tumpangan. Tetapi, dia menolaknya karena ada kerjaan.

“Khan lu Senior Executive, ry.. Suruh aja Junior lu kerja”.

”he.. he.. cuman aku mas, Public Relations Indonesia di AirAsia,” ujarnya malu-malu.
“Kalau begitu, tidak usah ada embel-embel Senior, donk..,” ujarku, lalu menertawakannya.

Pekan lalu, untuk terakhir kalinya, kami chatting. Dia pun memamerkan foto yang menampilkan beberapa perempuan. Namun, di monitor komputer ku, foto itu hanya seukuran perangko.

“Tebak, gue yang mana mas Haryo”.

“Yang tengah, ry… Aku sebenarnya gak melihat jelas karena fotonya kekecilan. Tetapi, aku bisa menebak dari pose mu yang setengah menunduk”.

“Yap.. itu pose terbaik gue.. he.. he..”

Ryana, cepat sadar ya, cepat sembuh ya…

Jangan pergi dulu, teman… lu masih utang shushi sama gue….
---------------------
Foto: Gatot Angkasa
Februari 2008
caption:
Ryana (paling bawah, pakai baju lengan putih) dan aku, kami delay lima jam di Bandara Changi, Singapura, gara-gara banjir memblokade Soekarno-Hatta. Jadi, siapa bilang di Changi gak ada delay.. he.. he..

Read More..

Wednesday, July 23, 2008

IRIGASI
Harus Cerdas Mengelola Air….

"Every man is the architect of his own fortune,” – kutipan dari Appius Claudius Caecus (300 tahun Sebelum Masehi), arsitek Aqua Appia, kanal air minum buatan bagi penduduk kota Roma.

“Indonesia merupakan negara nomor lima terbesar di dunia dalam ketersediaan air per kapita,” kata Menteri Pekerjaan Umum Djoko Kirmanto, Senin (21/6) di Madrid, Spanyol. Menteri PU memaparkan karunia alam, yang tidak dimaksimalkan pemanfaatannya oleh bangsa Indonesia.

Oleh Haryo Damardono,
dari Zaragoza, Spanyol

Segenap pengusaha terkemuka Spanyol, yang mendengarkan pemaparan Menteri PU di Gedung Confederacion Espanola De Organizaciones Empresariales (semacam Kamar Dagang Indonesia) terkesima lalu mengerutkan dahi.

Di Spanyol, urusan air sudah tuntas, maka mereka mengincar investasi di negara lain. Adapun Indonesia memang tercatat mempunyai sumber daya air 3,22 triliun meter kubik per tahun, setara ketersediaan air per kapita sebesar 16.800 meter kubik per tahun.




Padahal, pengelolaan air yang baik dapat menyelesaikan tiga masalah terkrusial dunia, yakni pangan, energi, dan air. Manusia dapat campur tangan dalam daur hidrologi, dengan membangun waduk, untuk meningkatkan produktivitas tanaman pangan, dan menggerakkan pembangkit tenaga listrik.




Dr Andrew Benedek, ilmuwan Hongaria yang diganjar Lee Kuan Yew Prize 2008 pun menegaskan, keterkaitan pemenuhan kebutuhan energi, air, dan pangan. Bila satu jenis kebutuhan itu terpenuhi, demikian pula dengan kebutuhan lain.


Fakta mempertontonkan, pemanfaatan air di Indonesia sangat buruk. Meski kaya cadangan air, Indonesia didera kekeringan pada lahan pertanian, dan minimnya layanan air minum. Di perkotaan, jaringan air minum hanya menjangkau 40 persen penduduk.


Sebaliknya di Spanyol, meski hujan jarang turun dan pepohonan relatif jarang, namun sempurnanya sistem irigasi dan pengolahan air minum membuat kebutuhan air tercukupi. Sistem irigasi bahkan sudah terkomputerarisasi sehingga pembagian air lebih adil. Tidak ada cerita, petani menggergaji gembok pintu air.

Konsep Serupa
Di Zaragoza, ibukota provinsi Aragon, Spanyol, digelar Ekspo Dunia 2008 bertema Air dan Pembangunan Berkelanjutan, sejak 14 Juni hingga 14 September 2008. Dalam Ekspo tersebut, semua pembicaraan melulu terarah pada pengelolaan air.




“Lihat, konsep pengelolaan air di Indonesia, ternyata sudah sama seperti di Spanyol,” kata Direktur Jenderal Sumber Daya Air Departemen PU Iwan Nursyirwan Diar, saat meninjau paviliun Spanyol.


Bila Indonesia membagi pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) dengan Balai-balai Besar Wilayah Sungai, Spanyol membagi DAS dalam distrik hidrologi. Jadi, pengembangan suatu DAS tidak dibatasi wilayah administrasi seperti provinsi atau negara bagian, melainkan sebagai suatu kesatuan aliran sungai beserta anak-anak sungai.


Meski demikian, bila salah satu DAS utama di Indonesia yakni DAS Bengawan Solo melayani 27.000 hektar sawah irigasi teknis (Jawa Tengah) dan 70.000 hektar sawah irigasi teknis (Jawa Timur), maka layanan distrik hidrologi Spanyol terbilang luar biasa.


Untuk menjamin ketersediaan air, misalnya dibangun 154 bendungan di distrik hidrologi Guadiana saja. Tidak heran, distrik hidrologi Guadiana (satu dari lima sungai utama di Spanyol), melayani 1,05 juta hektar sawah irigasi, dengan 68 jenis tanaman pangan.

Jaringan irigasi waduk di Spanyol, tidak hanya mengalir air melalui kanal-kanal di permukaan tanah, tetapi juga dibawah tanah melalui pipa-pipa. Air dari bawah tanah, langsung menyirami tanaman seperti zaitun dan anggur, lewat keran atau sprinkle.


Keberadaan waduk, memang dibutuhkan bagi ketersediaan air sawah, serta air baku untuk air minum. Di Indonesia, sebagai contoh, hanya 800.000 hektar dari 7,2 juta hektar sawah berjaringan irigasi, yang ketersediaan airnya dijamin waduk.


Bicara soal pembangunan waduk, untuk negara dengan ketersediaan air sangat tinggi, Indonesia sangat tertinggal. Hingga 2008, baru dibangun sekitar 200 waduk, dimana 122 bendungan diantaranya merupakan bendungan besar, dengan tinggi 15 meter dan volume tampung lebih dari 500.000 meter kubik.




Bandingkan, dengan Amerika dengan 6.000 bendungan, 3.000 bendungan di Jepang, 1.500 bendungan di India, dan 20.000 bendungan di China. Andai Menteri PU Republik Rakyat China sehari meresmikan satu bendungan, dibutuhkan 54,5 tahun! Yang jelas, Menteri PU China tidak menghabiskan waktunya sekedar meresmikan bendungan.


“Untuk pembangunan waduk, tanggungjawab di pemerintah. Jadi, bila dana pemerintah tidak mencukupi, dicarikan pinjaman luar negeri. Untuk pengolahan air minum, baru kita membuka investasi,” ujar Djoko Kirmanto, dengan wajah berseri-seri seusai pertemuan di Madrid itu.


Javier Sierra selaku Direktur perusahaan Grupo Cobra, Carlos Martinez dari perusahaan Isofon, dan wakil-wakil perusahaan terkemuka Spanyol, memang menjanjikan investasi sektor air. Dari bidang pendidikan dan rumah sakit, tampaknya arah investasi dan bantuan Spanyol ke Indonesia juga difokuskan di sumber daya air.

Kemampuan Indonesia
Apakah Indonesia tidak cukup ahli mengelola air, sehingga harus berpaling ke Spanyol? “Saya yakin ada orang Indonesia yang cukup ahli. Tetapi, kita butuh teknologi yang segera mungkin dapat diterapkan, tidak lagi dicoba-coba,” ujar Djoko Kirmanto.


Bila investasi sumber daya air dari Spanyol, atau negara lain terwujud, sudah sepatutnya diapresiasi positif. Meski demikian, pemerintah tidak dapat hanya memfokuskan diri pada proyek besar semata. Pemerintah harus lebih cerdas dalam mencari terobosan-terobosan pengelolaan air.


Di Sungai Sulo, Kabupaten Kendal, ada Kepala Desa bernama Darsiyan yang memimpin warga membangun bendung untuk mengairi 35 hektar sawah baru dengan dana patungan Rp 20 juta. Bandingkan dengan Bendungan Kedung Brubus, di Kabupaten Madiun, yang diresmikan bulan lalu. Bendungan berbiaya Rp 69,3 miliar, menyuplai kebutuhan air bagi 500 hektar sawah irigasi baru.

Dengan hitungan kasar saja, bila Rp 20 juta setara 35 hektar sawah baru, seharusnya Rp 69,3 miliar dapat mencetak 121.500 hektar sawah baru. Tentu saja, pembangunan bendung itu tidak dapat satu lokasi, tetapi di banyak lokasi yang telah disurvei. Yang jelas, dibutuhkan sokongan lebih jauh bagi figur seperti Darsiyan.


Memberdayakan air untuk pembangkit energi, juga tidak perlu membangun bendungan besar, yang menggusur ribuan penduduk. Tetapi, cukup membangun pembangkit listrik mini bertenaga air atau mikrohidro.


Sebuah studi menunjukkan potensi pembangkit listrik tenaga air secara nasional diperkirakan sekitar 75.670 MW. Ini 19 kali lebih besar dari kapasitas energi yang dihasilkan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir Muria yang kontroversial itu.

Tentu saja, keberlanjutan pembangunan sumber daya air sangat tergantung keberadaan hutan di hulu sungai. Departemen PU telah memperkenalkan pengelolaan partisipatif pada DAS Keduang di Kabupaten Wonogiri, dengan mengarahkan tanggungjawab sosial perusahaan untuk ikut mengonversi hutan. Pengelolaan itu, patut diperluas ke DAS lain.


Dan, ketika tiga masalah terkrusial di dunia makin mengemuka, Indonesia seharusnya dapat mengatasinya karena kaya air. Namun, untuk memperkuat keunggulan di sumber daya air tidak cukup dengan proyek besar semata.


Tetapi, harus rajin melihat praktek penggelolaan sumber daya air yang murah tetapi berdaya guna, agar pembangunan sumber daya air berlangsung simultan di berbagai pelosok negeri….

Read More..

IRIGASI LUAR JAWA
Arahkan Pembangunan Irigasi Ke Luar Jawa

Oleh Haryo Damardono


Makin terbatasnya lahan pertanian di Pulau Jawa, seharusnya mendorong Departemen Pekerjaan Umum mempercepat pembangunan waduk dan jaringan irigasi di luar Jawa. Ketika air tercukupi, apalagi lahan luas, idealnya ketahanan pangan dan kesejahteraan petani pun tercapai.


Direktur Jenderal Sumber Daya Air (SDA) Departemen PU Iwan Nursyirwan telah menegaskan, pemerintah memang memfokuskan pembangunan irigasi ke luar Jawa. Di Jawa, khususnya Jawa Tengah dan Jawa Barat misalnya, tahun 2006-2008 ini tidak ada pembangunan maupun perlanjutan irigasi baru.


Data Ditjen SDA menunjukkan rencana pembangunan baru jaringan irigasi tahun 2008, terluas di Nusa Tenggara Timur (8.062 hektar), disusul Sumatera Selatan-Bangka Belitung (6.890 ha), Sulawesi Selatan (6.207 hektar), Sumatera Barat (4.884 ha), dan Nanggroe Aceh Darussalam (4.807 ha).


Ketua Dewan Pertimbangan Organisasi Himpunan Kerukunan Tani Indonesia Siswono Yudho Husodo mengatakan, pembangunan pertanian di luar Jawa memang tidak dapat ditawar lagi. Program transmigrasi harus kembali digalakkan, terutama untuk memasok tenaga kerja pertanian.


Papua dan Kalimantan, kata Siswono, merupakan dua pulau harapan untuk membuka lahan pertanian baru. Lahan yang luas serta penduduk yang masih jarang, sangat mendukung lahan-lahan pertanian dengan luasan minimal 1-2 hektar per petani.


Pertanian padi di Jawa dengan kepemilikan 0,3 hektar, tidak menjanjikan apa-apa bagi kesejahteraan petani. Cepatnya alih fungsi lahan di Jawa pun, membuat jaringan irigasi yang dibangun rezim Orde Baru, menjadi sia-sia dalam meningkatkan produksi pangan.

Irigasi Komering
Tidak sekedar bicara kosong, Selasa (2/4) Dirjen SDA Departemen PU mencanangkan pembangunan lanjutan Jaringan Irigasi (JI) Komering tahap II phase 2, di Desa Nusa Raya, Kecamatan Belitang III, Kabupaten Ogan Komering Ulu Timur, Sumatera Selatan. Ini bukti perluasan daya dukung irigasi di luar Jawa.


Pencanangan didahului tarian Bali, ditimpali celetukan-celetukan dalam bahasa Jawa. Petani Komering Timur memang keturunan transmigran Bali yang jadi korban Gunung Agung tahun 1957, disamping transmigran Jawa, dan tentu saja penduduk asli Komering.


Nantinya, JI Komering tahap II fase II mengairi 14.140 hektar persawahan, didukung saluran sekunder sepanjang 39 kilometer, melewati 15 desa. Pembangunan ini akan memaksimalkan pemanfaatan potensi pengairan Daerah Irigasi (DI) Komering seluas 125.000 ha di Sumsel dan Lampung, yang kini baru mengairi 44.990 ha sawah.


Ketika irigasi terbangun, diharapkan taraf hidup masyarakat meningkat sebagaimana terlihat pada masyarakat Belitang di tepian saluran sekunder Belitang, yang minimal menanam padi dua kali dalam setahun.


Apalagi, sebagian besar petani Komering mempunyai lahan 1-2 ha. Ini disebabkan, mereka keturunan kedua dari para petani perintis pembuka lahan. Berbeda dengan petani di Jawa yang umumnya keturunan ketiga atau keempat, sehingga setelah dibagi-bagi per generasi luasnya menjadi kecil.


Namun setelah ditelusuri, masih ada petani yang kesulitan air. Petani Desa Jaya Mulyo, Kecamatan Semendawai suku III, misalnya ketersediaan bahan baku airnya hanya untuk satu kali musim tanam. Padahal, masuk pada JI Komering stage II-1 North Area, kawasan pertanian ini hanya berjarak kurang dari lima kilometer dari Saluran Sekunder terdekat.


"Bila petani di sini mampu menanam dua kali dalam setahun, maka satu kali penanamannya pasti "main" (istilah setempat untuk spekulasi)," ujar Maruf. Dia petani setempat, keturunan transmigran asal Kebumen, Jawa Tengah. Bila tidak menanam padi, mereka hanya berkebun seadanya, atau jadi buruh di perkebunan karet rakyat.


Tanpa air yang memadai, pertumbuhan padi terganggu. Sehingga petani harus "membayar" air, yakni menyedotnya dari saluran irigasi yang muka airnya rendah dengan mesin pompa buatan China. Kebutuhan air untuk satu musim tanam diperoleh dengan delapan jam penyedotan. Biaya sewa pompa termasuk solar per jam sebesar Rp 15.000.

Pemeliharaan Irigasi
Petani menduga sendimentasi di saluran sekunder mengganggu aliran air masuk ke saluran-saluran tersier. Mereka berniat bergotong royong mengeruk sendimentasi, tetapi dihalangi aturan-aturan yang dipampangkan di tepi saluran irigasi.


Kekurangan air meski berada di lingkup Daerah Irigasi, mempertunjukkan bahwa pembangunan apa pun harus didukung pemeliharaan. Sendimentasi di mulut saluran misalnya, ternyata berdampak tidak teralirinya puluhan kilometer saluran irigasi. Sawah mengering, petani pun merana.


Kepala Balai Wilayah Sungai Sumatera VIII Ditjen SDA Bistok Simanjuntak menegaskan, sedang ditenderkan upaya pengerukan sedimentasi di Saluran Sekunder Kali Macak II. Dengan nilai tender Rp 5 miliar, diharapkan realisasinya sangat membantu petani. Ini jawaban untuk kekurangan air di Jaya Mulyo.


Tetapi secara umum, Bistok mengatakan seluruh jaringan DI Komering secara bertahap selalu dirawat. Apalagi, diidorong pemberlakuan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang SDA, maka dana operasional dan pemeliharaan DI Komering (karena lintas provinsi) berasal dari dana pemerintah pusat. Sebelumnya, dana pemeliharaan dari Pemerintah Provinsi.


Kini, Balai Wilayah Sungai masih merasa dihambat dalam pemeliharaan irigasi. Misalnya, Balai Wilayah Sungai kesulitan menjaga tingkat sedimentasi Saluran Sekunder akibat warga menolak saluran itu dikeringkan. Adanya pembudidaya ikan memperparah penolakan. Sehingga, pendekatan pada masyarakat menjadi penting.


Maka, dari dana pinjaman Japan Bank for International Coorporation bagi proyek lanjutan jaringan irigasi Komering ini (senilai 13,74 miliar Yen), bukan saja didatangkan konsultan desain. Tetapi juga, konsultan pemberdayaan petani dan konsultan optimalisasi bidang pertanian.


Di JI Komering Tahap II fase II, nantinya dikedepankan fungsi kelompok Persatuan Petani Pemakai Air (P3A). ”Ini agar petani merasa memiliki jaringan irigasi, sehingga membantu memelihara. Mereka juga akan dilimpahi pekerjaan seperti membersihkan jaringan irigasi, hingga mencabuti rumput di tepian saluran irigasi,” kata Bistok.


Sementara konsultan optimalisasi bidang pertanian, akan bekerja sama dengan Departemen Pertanian, dalam meningkatkan teknik-teknik pertanian maupun tanaman pangan. Dapat dioptimalkan misalnya bibit-bibit padi unggul, atau upaya pemberantasan hama.


”Petani di Komering Timur ini, sudah mendapat air yang cukup, lahan yang luas, tetapi terkadang tidak mendapat pendapatan yang memadai. Mungkin, mutu beras kurang baik sehingga nilai jualnya rendah. Andaikata bibit bagus dan perawatan padinya baik, dapat saja mutu berasnya setara beras-beras unggul yang jadi nasi di restoran-restoran Jepang itu,” kata Bistok Simanjuntak.

Read More..

Ulat Sutera: Uluran Tangan “Saudara Tua”


oleh: HARYO DAMARDONO

”Lihat, kokon (kepompong) ulat sutera ini berwarna keemasan. Sekarang kami menanam pohon tidak hanya agar ulat hidup, tetapi agar hidup kami membaik,” ungkap Sabar, penjaga hutan Karang Tengah, Imogiri, Kabupaten Bantul. Hutan itu sedang dihijaukan pemerhati ulat sutera, keluarga Keraton, Pemda, dan penumpang Garuda Indonesia rute Jepang.

Hutan Desa Karang Tengah berjarak 15 kilometer tenggara pusat kota Yogyakarta, atau 2 kilometer dari pemakaman raja-raja Jawa Imogiri, yang dibangun Sultan Agung Hanyokrokusumo tahun 1645. Topografinya berbukit-bukit, dengan bukit Imogiri seolah menjadi sentralnya.




Pak Sabar pun mengajak berkeliling, memamerkan reboisasi yang mengubah lahan kritis menjadi hutan perkembangbiakan ulat sutera. Sesekali, dia menunjuk ulat-ulat sutera, yang hidup di pohon jambu mete, alpukat, sirsat, mahoni, dadap, atau keben.

Tiap kali ditanya, dia, yang bersetelan hitam-hitam dilengkapi sepatu laras, mengawali jawaban dengan kata, ”Siap!” Lebih mirip paramiliter daripada abdi dalem, walau tanah yang dipijaknya merupakan Sultan Ground, lahan milik Keraton Yogyakarta Hadiningrat.

Sabar adalah warga Karang Tengah. Layaknya warga desa Karang Tengah lainnya, Sabar tidak terlalu sejahtera. Tinggal di kawasan berbukit-bukit, membuatnya mustahil menanam padi, apalagi air sulit didapat. Di kawasan ini bermukim pula transmigran lokal, diantaranya pedagang Parangtritis, para korban gempa bumi Yogya.

"Kami mendapat banyak tawaran lokasi, diantaranya di Kaliurang. Tetapi lebih baik di Karang Tengah untuk sekaligus memberdayakan masyarakat kurang beruntung,” kata Direktur PT Yarsilk Gora Mahottama Fitriani Kuroda.

Fitriani adalah pendamping warga Karang Tengah. Dia eksportir benang sutera tujuan Jepang yang kerap bekerja sama dengan Gusti Pembayun, puteri sulung Sultan Hamengkubuwono X. Gusti Pembayun-lah yang memperkenankan Sultan Ground Karang Tengah disulap jadi koloni ulat sutera.

Awalnya, adalah Profesor Hiromu Akai, Ketua Perkumpulan Sutera Liar Dunia, yang mencekoki pikiran kerabat keraton Yogyakarta termasuk Fitriani, bahwa ulat sutera Indonesia sangat bernilai. Bukan ulat sutera budidaya, tetapi ulat sutera liar.

Sebelumnya, warga menganggap ulat sutera sekedar hama, sekedar entung, ungkrung. Kedatangan ulat sutera yang menggundulkan seluruh dedaunan bahkan dibahasakan sebagai ”serangan”. Tidak jarang, entah apakah dimaknai sebagai aksi balas dendam, warga mengganyang, menggoreng lantas memakan hama itu.

Sebagai mitra Universitas Gajah Mada, yang kerap menyusuri pedesaan di Yogyakarta, Prof Hiromu melihat realita itu. Dia terkejut! Terlebih, setelah dia mengidentifikasikan ulat sutera spesies Cricula Triphenestrata, sebagai satu-satunya spesies sutera liar di dunia yang menghasilkan benang warna emas.

Prof Hiromu sempat mencoba membudidayakan Cricula di Jepang namun gagal. Tampaknya, spesies ini hanya hidup di habitat dan iklim tertentu seperti di Pulau Jawa ini. Cricula merupakan spesies unggul ulat sutera di Pulau Jawa, selain spesies ulat sutera lain yang hidup di pulau ini seperti Attacus atlas dan jenis Antheraea

“Karena ulat sutera liar spesies ini hanya hidup di Indonesia, seharusnya kainnya menjadi produk eksklusif Indonesia. Boleh jadi, produknya dapat disejajarkan dengan produk brand internasional seperti Armani dan Gucci,” kata Fitriani penuh semangat.

Sekedar pembanding, satu kilogram benang dari ulat murbei yang dikolonikan di ruangan dihargai Rp 60.000- Rp 120.000. Sedangkan satu kilogram benang dari ulat sutera liar dihargai Rp 1,5 juta (warna cokelat) hingga Rp 2 juta (warna emas).

Dikatakan Fitriani, bila Indonesia mengandalkan produk ulat sutera murbei, maka kalah bersaing dalam kualitas dan harga dibanding China. Negara yang mengembangkan budidaya ulat sutera sejak 5.000 tahun lalu yang diperkenalkan permaisuri Lei Zu.



Penumpang Garuda
Berbeda dengan ulat sutera budidaya, yang dikoloni di ruangan, ulat sutera liar hidup di luar ruangan. Lebih rentan terhadap predator seperti semut, burung dan cecak, tetapi benangnya lebih berkualitas. Bagai ayam broiler dibandingkan dengan ayam kampung.

Karena hidup di alam maka dibutuhkan lahan luas untuk menanam pohon dimana ulat sutera hidup. Dari Sultan Ground Karang Tengah seluas 40-an hektar, maskapai Garuda Indonesia menyepakati penghijauan di atas lahan 12 hektar dengan menanam hingga 50.000 batang pohon.

Bertajuk ”One Passenger, One Tree”, nantinya penumpang Garuda rute Jepang, diharapkan menyisihkan dana 1.000 yen membeli satu pohon. ”Penumpang Jepang sangat setuju. Mereka menghargai terbang bersama Garuda sebab merasa turut menghijaukan lingkungan dan mengurangi pemanasan global,” ujar juru bicara Garuda Indonesia Pujobroto.

Mengapa warga Jepang, sang saudara tua yang diajak terlibat? Sebab warga Jepang dengan tingkat kesejahteraan tinggi, lebih sensitif dengan isu lingkungan. Mereka lebih menghargai produk alam, apalagi kemudian diproses dengan tangan, hand-made.

Dibayangi kebudayaan China, orang Jepang mengakrabi kain sutera. Warga Jepang pun menyukai karya yang kaya dengan detail dengan kualitas terbaik. Maka ”saudara tua” ini, dinilai cocok jadi bapak angkat warga Karang Tengah.

”Kami juga membuat program eko-tourism. Jadi turis Jepang tidak hanya datang ke Borobudur atau Bali, tetapi diajak ke desa wisata lingkungan seperti Karang Tengah,” kata Arif Wibowo, Manajer Distrik Garuda Indonesia untuk Jepang, China, Korea Selatan, dan Amerika Serikat.

Kini, Garuda telah melayani penerbangan menuju Tokyo dan Osaka. Bulan Juni 2008, akan dibuka rute Denpasar-Nagoya, yang uniknya sudah 70 persen kursi pada bulan itu laku terjual. Tiap tahun ada 100.000 penumpang untuk rute Tokyo, dan 60.000 penumpang untuk rute Osaka. Sebanyak 80 persen penumpang ternyata berstatus turis!

Dampak pariwisata baru akan terlihat setelah Hutan Karang Tengah semakin rimbun. Namun kini, ibu-ibu dari sekitar 100 kepala keluarga Karang Tengah, telah menikmati hasil industri rumah tangga ulat sutera.

Dalam seminggu, mereka dapat menyelesaikan empat lembar atau sheet kerajinan ulat sutera liar. Tiap lembar dihargai Rp 17.000. Ketika Karang Tengah belum menghasilkan cukup bahan baku, kokon didatangkan dari Kabupaten Gunung Kidul.

Bupati Bantul Idham Samawi menyambut baik uluran tangan berbagai pihak terhadap Karang Tengah. Dikatakannya, lahan yang semula tandus ternyata dapat dijadikan desa wisata. Pemandangannya bagus. Jalan aspalnya, tanpa lobang.

Fitriani menjanjikan pula pendirian laboratorium ulat sutera, selain pabrik pemintalan benang dan wisma penenunan kerajinan ulat sutera. Akan dibangun pula pondok-pondok penginapan, dengan material kayu.


Desa Karang Tengah, nantinya akan melengkapi ”koleksi” desa wisata Kabupaten Bantul. Saat ini, sudah dikenal Desa Manding (kerajinan kulit), Desa Kasongan (kerajinan Gerabah), Desa Pundong (kerajinan Gerabah), Desa Banyusumurup (kerajinan keris), serta Desa Pendowoharjo (kerajinan patung primitif).

Read More..

JALAN RUSAK
Berulangnya Lakon Tutup Lobang Di Pantura....

Oleh HARYO DAMARDONO

Der.. der.. Dua ban mobil yang dikendarai Kompas, Kamis (6/3) robek lantas kempis seketika. Sebuah lobang di jalan pantai utara (pantura) Jawa, sekitar 1,5 kilometer selepas batas Kota Pekalongan (Jawa Tengah) menuju Batang, menjadi penyebabnya. Uang Rp 1,2 juta pun melayang, untuk dua ban Bridgetone.

Bukan hanya kehilangan uang, Kompas juga kehilangan waktu karena harus naik becak kembali ke Kota Pekalongan untuk mencari toko ban. Rekan Kompas yang lebih berumur, juga nyaris pingsan kelelahan karena tidak biasa mendongkrak.

Itu salah satu potret jalan pantura, jalur barang dan penumpang tersibuk di Indonesia, yang menyengsarakan pengguna jalan. Kita patut angkat topi atas kesigapan Departemen Pekerjaan Umum memperbaiki pantura walau baru penanganan darurat.

Ratusan pekerja, alat berat, dan truk-truk pasir, batu, dan aspal, kini terlihat bekerja siang dan malam di banyak titik kerusakan. Meski seringkali bekerja tanpa dilengkapi rambu pengamanan yang jelas—rawan ditabrak truk, bus, dan mobil. Pertanyaannya, seberapa lama jalan itu dapat bertahan?

Menapaki pantura pada minggu kedua bulan Maret, dari Jakarta-Cirebon-Semarang-Tuban-Surabaya hingga Gempol, memang jauh berbeda ketika melintasi ruas yang sama, September 2007 silam. Saat itu, Kompas mengecek jalan se-Jawa menjelang Idul Fitri 2007.

Ketika itu ruas Ciasem (Subang) belum banyak berlobang-lobang, begitu pula Kanci-Losari, Pekalongan-Batang, jalur Alas Roban, Semarang-Demak, lingkar Kudus, serta.Pati-Rembang-Yuwana.

Ditemui di Bandung, Sabtu (15/3), Menteri Pekerjaan Umum Djoko Kirmanto mengatakan banjirlah yang menyebabkan jalan pantura rusak parah. Berulangkali dia menegaskan, air merupakan musuh terbesar aspal.

Dapat dipahami bila ruas Pati-Rembang-Yuwana rusak akibat banjir, sebab sawah di sekitarnya terlihat masih tergenang air. Rusaknya ruas Semarang-Demak yang paralel dengan kali, juga dapat dipahami. Tetapi bagaimana menjelaskan kerusakan jalan di Alas Roban, Ciasem, dan Kanci-Losari, yang tidak kebanjiran?

Bagaimana menjelaskan jalan yang tidak kebanjiran, berlobang-lobang hanya dalam enam bulan? Apakah karena buruknya konstruksi jalan, muatan yang berlebih, atau lemahnya drainase jalan? Departemen PU tidak pernah mengurai tegas bobot ”kesalahan” masing-masing kelemahan itu, lengkap dengan persentasenya.

Ambil contoh ruas Alas Roban. Di sana, tidak pernah ada sungai meluap, singkat kata tidak banjir. Lalu mengapa berlobang? Apakah rem dari truk-truk “raksasa” itu merusak aspal sehingga timbul lobang? Lantas, mengapa jalur utara Alas Roban (di Alas Roban ada tiga jalur) yang khusus kendaraan kecil, juga berlobang-lobang, khan tidak dilewati truk dan tidak kebanjiran?

Drainase Jalan
Bila jalan dan drainase jalan tidak mungkin dipisahkan demi sebuah reabilitas jalan, maka drainase jalan di pantura adalah titik lemahnya.

Cermati tiap restoran yang jadi persinggahan bus antarkota antarprovinsi, di sana tiada drainase. Begitu pula di publik area seperti di depan Terminal Bus Tanjung, hingga di depan jembatan timbang, dapat dilihat buruknya drainase jalan.

Pada jalan yang berbatasan langsung dengan sawah misalnya, juga tidak ada drainase jalan. Yang ada, irigasi sawah yang sebenarnya bukan drainase jalan. Bila demikian, pantas kalau jalan selalu rusak akibat genangan air sehingga memperpendek usia harapan jalan yang sekitar 10 tahun.

Kelemahan drainase ini, misalnya terpantau saat melewati ruas Loh Bener Indramayu) hingga Arjawinangun (Kabupaten Cirebon) pada Rabu (5/3) dalam kondisi hujan. Di bawah jembatan Kereta Api Widasari (arah Cirebon) ada genangan air setinggi 30-an sentimeter. Ada apa dengan drainase di titik ini?

Lalu, saat melewati jalur beton di Kertasemaya, pengemudi memilih berjalan di tengah lajur. Sebab air menggenang dekat pembatasan jalan. Menabrak genangan air dalam kecepatan tinggi sekitar 60-120 kilometer per jam, sama artinya kehilangan kendali kendaraan. Khususnya di pantura, kehilangan kendali sama artinya bunuh diri.

Direktur Jenderal Bina Marga Departemen PU Hermanto Dardak, yang tahun 2008 ini dipercayai mengelola dana Rp 18,4 triliun untuk memelihara dan membangun jalan, sering menjelaskan kegagalan drainase wilayah berpengaruh pada rusaknya jalan.

Sebab drainase jalan hanya didesain menampung air limpasan dari jalan, tidak untuk menampung volume air dari genangan pada suatu wilayah. Namun demikian, lebih parah lagi bila drainase jalan tidak ada sama sekali.

Ketika Departemen PU berniat mempermanenkan perbaikan pantura pada musim kemarau mendatang, sebaiknya perbaikan drainase jadi perhatian bila ingin umur jalan lebih panjang. Mumpung pekerja turun ke lapangan, instruksikan dua hal utama, yakni perkuatan konstruksi jalan dan drainase.

Apalagi bila rencana pemerintah tidak meleset, ketika seluruh lahan tol trans-Jawa selesai dibebaskan tahun 2008 ini, ratusan truk tanah dan bahan konstruksi lainnya akan hilir mudik di pantura. Tentu saja, potensi kerusakan jalan makin besar.

Direktur Utama PT Semesta Marga Raya (SMR) Harya Mitra Hidayat misalnya telah mengatakan dalam sehari sekitar 700 truk tanah akan melintas di pantura. Ketika pembangunan konstruksi tol Kanci-Pejagan (34 kilometer), dimulai bulan depan.

Jembatan Timbang
Momok lain dalam perusakan jalan, adalah toleransi jumlah berat yang diizinkan atau JBI. Departemen Perhubungan telah menyatakan akan meniadakan JBI pada akhir 2008. Akhir Maret atau paling lambat April 2008, toleransi JBI juga akan diturunkan hingga 50 persen.

Kini, toleransi JBI kendaraan sebesar 60 persen. Artinya, jalan yang dengan desain 10 ton, diperbolehkan untuk dilewati truk bermuatan hingga 16 ton. Dalam hitungan teknis PU, toleransi 60 persen merusak jalan 6,5 kali lebih cepat.

Sangat menarik pernyataan Djoko Setijowarno, pakar transportasi Unika Soegijapranata Semarang. Sebagai wacana, dia mengusulkan agar jembatan timbang dikelola Direktorat Jenderal Bina Marga Departemen Pekerjaan Umum, agar pengawasannya lebih ketat.

”Bila pengawasan JBI oleh Bina Marga mungkin akan super ketat. Sebab sebagai pembuat jalan, mereka berupaya sekuat tenaga agar jalan tidak rusak. Bina Marga jelas akan menghindar dari tudingan tidak mampu membuat jalan yang baik,” kata Djoko. Saat ini, peran Jembatan Timbang dibawah Direktorat Perhubungan Darat Dephub.

Sejauh ini, Hermanto Dardak belum dapat menjawab usulan itu. Dia hanya menegaskan, tetapi dalam sistem yang akan diterapkan Departemen PU tahun 2009 dalam pembuatan jalan, yakni performed based contract, mensyaratkan pengawasan jembatan timbang sebagai sebuah sistem.

Artinya, kontrak antara pemerintah dan kontraktor dalam hal kinerja pembuatan jalan baru dianggap sah, ketika pengawasan JBI oleh Jembatan Timbang dianggap optimal. Ini sisi sulit performed based contract itu, padahal dengan sistem itu bila jalan rusak sebelum waktunya, kontraktor harus memperbaikinya dengan biaya dari kontraktor.

Segera bangun drainase lalu kaji pengalihkan pengawasan Jembatan Timbang kepada Departemen PU. Bila tidak, bersiaplah kembali menyaksikan lakon yang selalu berulang di pantura seusai musim hujan dan menjelang Idul Fitri. Tutup lobang di sana-sini....

Read More..

Tol Bandara: Kita Belum Beranjak….

oleh HARYO DAMARDONO

“Tol Prof Sedyatmo yang menghubungkan Pluit dengan Bandara Soekarno-Hatta, yang merupakan pintu gerbang utama Indonesia, terancam banjir setiap musim… karena hampir semua rawa di Kapuk di sisi selatan jalan tol… telah diuruk dan menjadi bangunan pabrik,” kata Menteri Pekerjaan Umum (PU).

Jangan salah! Kutipan pernyataan itu tidak dilontarkan Menteri PU Djoko Kirmanto, melainkan dilontarkan Menteri PU almarhum Radinal Mochtar seusai meninjau lokasi rawan banjir di sepanjang jalan tol ke dan dari Bandara Soekarno-Hatta. (Kompas, Sabtu, 19 Maret 1994 halaman 10).

Apa korelasi dari pernyataan alm Radinal Mochtar (Menteri PU ketika itu), dengan pernyataan Menteri PU Djoko Kirmanto, Senin (18/2) dalam rapat dengan Komisi V DPR-RI dan PT Jasa Marga Tbk?

Korelasinya adalah, setelah 16 tahun berlalu Departemen PU dan segenap pemangku kepentingan di seputaran Tol Bandara Sedyatmo, masih berkutat di masalah yang itu-itu juga. Tidak ada tindakan konkret berupa peninggian atau perbaikan konstruksi jalan tol, selama belasan tahun itu.

Banjir pada awal Februari, dituding Jasa Marga sebagai akibat tidak optimalnya kerja Rumah Pompa Tanjungan berkapasitas 3x 4.000 liter per detik. Rumah Pompa itu seharusnya mengalirkan air dari tampungan (long-storage) pembuangan tol ke Kali Tanjungan.

Tetapi kini, yang jebol adalah tanggul tol di kilometer 26. Kepala Cabang Cililitan-Tomang-Cengkareng (CTC) Jasa Marga David Wijayatno pun menegaskan, gelombang laut pasang menjadi penyebab jebolnya tanggul itu.

Jasa Marga terkesan tidak memberi analisa atas kekuatan tanggul tol, sebaliknya menuding fenomena alam gelombang pasang. Padahal, bila kita mendengarkan pendapat Jan Jaap Brinkman—lelaki Belanda dari Delft Hydraulics, yang selalu berkoar-koar memprediksi terbenamnya pesisir Jakarta, seharusnya tanggul tol diperkuat.

Tidak diperkuatnya tanggul, mengindikasikan ancaman kedatangan gelombang pasang akibat kombinasi daya tarik bulan terhadap bumi dan penurunan permukaan tanah dipandang sebelah mata.

Padahal, selain gelombang pasang yang datang tidak menentu, penurunan permukaan tanah sejak belasan tahun silam, telah menjadi rahasia umum. Abstraksi air tanah, tekanan tanah oleh pabrik maupun pergudangan bertingkat, dan tidak sempurnanya pondasi cakar ayam, menjadi penyebab penurunan permukaan tanah ini.

Menunggu Tol Ditinggikan
Kita paham Jasa Marga berniat meninggikan Tol Sedyatmo. Satu kilometer (Pluit ke Kamal) berupa pelebaran lajur, sedangkan tujuh kilometer (Kapuk-Penjaringan-Kama) berupa pelebaran sekaligus peninggian lajur.

Namun minimal, masih ada waktu satu tahun untuk menunggu proyek senilai Rp 520 miliar selesai. Artinya, minimal masih ada 12 kali bulan purnama yang mampu mendatangkan gelombang pasang. Membuka lagi arsip lama, Brinkman juga memprediksi gelombang pasang kembali membanjiri Jakarta pada 4 Juni 2008.

Usai meninjau Tol Bandara, Kamis lalu, Direktur Jenderal Bina Marga Departemen PU Hermanto Dardak mengatakan, di titik terendah dalam suatu kawasan yang tergenang air tekanannya makin tinggi.

Menimbang pernyataan Hermanto, maka tiap keretakan sebesar apa pun di tanggul Tol Sedyatmo harus ditanggulangi sejak dini. Tiap keretakan bahkan seserabut rambut harus segera ditambal, karena begitu air mampu menembus retakan itu niscaya lobang pun mampu membesar hingga 8-10 meter.

Read More..

TOL BANDARA
Mengapa Baru Sekarang Meninggikan Tol Bandara?

Oleh HARYO DAMARDONO

Jumat, 1 Februari 2008, tepat ketika Jakarta dan sekitarnya diguyur hujan lebat, demikian pula Singapura. Dari Bandara Changi, saya menumpang bis rute 36 menuju pusat kota, melintasi East Coast Parkway menyusuri tepian laut. Tidak seperti Tol Sedyatmo, akses jalan Bandara Changi itu nyaris tiada tergenang air.

Beda Singapura, beda Indonesia. Meski akses transportasi menuju bandara sama-sama di tepi laut, tetapi kondisinya berbeda. Patut diketahui East Coast Parkway tidak dibangun lebih tinggi alias bukan jalan layang walaupun dikepung proyek properti.

Untuk kasus Indonesia, ternyata tergenangnya tol bandara awal Februari 2008 merupakan rekor genangan terlama yakni lebih dari dua hari. Pertanyaannya, bila peninggian tol bandara merupakan solusi terakhir, mengapa baru sekarang?

Ditemui di kantornya di tepi tol Jagorawi, Sekretaris Perusahaan PT Jasa Marga Tbk Okke Merlina mengatakan, tahun 2006 Jasa Marga telah memastikan peninggian tol. Riset telah dilakukan Agustus 2001 oleh Pacific Consultants International (PCI) atas biaya Japan Bank for International Cooperation.

Dari hasil riset, PCI merekomendasikan peninggian sekaligus penambahan lajur (2x2 lajur) berkonstruksi Pile Slab atau tiang pancang, setinggi 1,5 - 2,0 meter dari elevasi tol yang sudah ada.

“Selama ini, Jasa Marga terkendala izin dari Departemen Kehutanan,” ditegaskan Okke. Pelebaran dan peninggian tol harus menggunakan lahan hutan lindung mangove Menurut hitungan kasar, Jasa Marga diwajibkan mengganti lahan 19,1 hektar, karena regulasi menghendaki tukar guling lahan.

Lampu hijau telah diberikan Menteri Kehutanan MS Kaban, Senin (4/2) dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi IV DPR RI. “Tetapi, izin baru dikeluarkan setelah persetujuan DPR. Ini sudah prosedur," kata Menhut.

“Ada birokrasi yang harus dilalui,” dikeluhkan Okke. Selain izin Menhut, harus pula berkoordinasi dengan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Jasa Marga pun mendesak peninggian tol dapat dimulai Maret 2008, tanpa harus menunggu seluruh proses perizinan selesai, karena banjir akan datang lagi. Diharapkan akhir 2008, peninggian tol selesai.


Tidak Diprediksi
Ketika mulai beroperasi tahun 1984, Bandara Soekarno-Hatta diharapkan bertahan 100 tahun. Seharusnya, selama itu pula tol Sedyatmo dapat dioperasikan. Maka, bila sedari awal tidak didesain layang, mengapa kini harus ditinggikan?

Apakah Jasa Marga mampu tidak memprediksi datangnya banjir? Ataukah, pondasi cakar ayam ternyata tidak mumpuni? Ataukah, tata ruang di sekitar tol bandara berubah dengan cepat selama 24 tahun terakhir?

Apapun jawabannya, pelebaran sekaligus peninggian tol yang tendernya kini diperebutkan 15 kontraktor membutuhkan Rp 260 miliar untuk sisi selatan, berarti untuk dua sisi tol dibutuhkan Rp 520 miliar.

Dari panjang delapan kilometer, satu kilometer (Pluit ke Kamal) hanya berupa pelebaran, sedangkan tujuh kilometer (Kapuk-Penjaringan-Kama) berupa pelebaran sekaligus peninggian.
Jasa Marga memastikan, tidak dibangun pintu gerbang (on-off ramp) pada ruas ini, sehingga calon penumpang dapat bablas langsung ke bandara, tanpa terganggu lalu lintas yang keluar di simpang susun atau interchange Penjaringan, dimana nantinya terhubung tol West 1 Jakarta Outer RingRoad/ JORR (dari Penjaringan-Kebon Jeruk/ Mal Puri Indah).

Sebenarnya proyek senilai Rp 520 miliar itu, menghabiskan dana setara pembebasan lahan tol Cikampek-Palimanan sepanjang 116 kilometer (ruas tol terpanjang di Indonesia). Andai tol bandara tidak banjir, harusnya ada pembangunan lain yang dapat dinikmati.

Penataan Ruang
Badan Metereologi dan Geofisika menyatakan, curah hujan Jumat (1/2) lalu kok ya terkonsentrasi di Cengkareng (317 milimeter). Bandingkan, dengan curah hujan pada hari yang sama di Halim (136 mm), Ciledug (160 mm), Depok (55 mm), Tambun-Bekasi (65 mm), Citeko-Bogor (70 mm), Dermaga (76 mm), dan Gunung Mas-Puncak (74 mm).

Tetapi bagi hidrologis Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Sutopo Purwo Nugroho, hujan tidak dapat dikambinghitamkan. “Penataan ruang harus dikedepankan. Banjir harus diatasi dengan penanganan komprehensif,” ujar dia.

“Ketika tol mulai membangun tol memang tidak diprediksi kawasan Kapuk-Penjaringan-Kamal berkembang seperti sekarang,” kata Okke. Dari awal, memang akan ada penambahan lajur seturut penambahan volume kendaraan, walaupun bukan jalan layang.

Selain penataan ruang, Sutopo menyarankan pembenahan drainase, sumur resapan, pengelolaan Daerah Aliran Sungai, biopori, hingga normalisasi sungai atau kanal sesuai masterplan pengendalian banjir.

Tanpa pembenahan, banjir makin menggila. Sebab run-off (air yang tidak meresap dan langsung menggelontor ke laut), ujar Sutopo untuk Jakarta mencapai 81,31 persen, Kota Tangerang (72,11 persen), Kabupaten Tangerang (70,62 persen), dan Bekasi (74,24 persen).

Peninggian tol dengan konstruksi tiang pancang pun dinilai tepat. Karena konektivitas ekologi rawa tetap dipertahankan dan ruang parkir air tidak berkurang. Tetapi perlu ditegaskan kembali, upaya itu tidak berarti bila rawa terus berubah fungsi.

Maka, Pemerintah Provinsi Jakarta dan Pemerintah Daerah Tangerang harus secepatnya meninjau izin yang sudah dikeluarkan. Mungkin sulit mencabut izin, tetapi setidaknya menyetop sama sekali izin baru bagi permukiman maupun pergudangan.

Jumat, 18 Maret 1994, almarhum Radinal Mochtar (Menteri Pekerjaan Umum ketika itu) telah menyatakan tol bandara terancam banjir akibat rawa di daerah Kapuk, diuruk dan berubah fungsi. Dan kini, kita sebenarnya masih berkutat di situ-situ juga.

Mau tahu apa yang terjadi bila hanya tol yang ditinggikan, dan permukiman baru yang bermunculan ternyata akhirnya kebanjiran? Niscaya, akses tol menuju bandara tetap terblokade. Kenapa? Karena di republik ini korban banjir pun—seperti terlihat di tol Cawang-Tanjung Priok-Pluit tahun 2007—mengungsikan mobil bahkan dirinya di jalan tol, yang posisinya lebih tinggi!

Read More..