Birthday Tart dari Hotel Santika Cirebon
Kriiiiing, bunyi telepon, suara percakapan, lalu sebuah pertanyaan. “Kau ulang tahun?” ucap Ahmad Arif, wartawan Kompas yang menjadi teman sekamar di Hotel Santika Cirebon. “Iya,” kataku. “Selamat ya,” balas Arif, seraya menginformasikan Santika menanyakan keberadaanku.
Jumat sore itu, 1 Agustus 2008, aku berulangtahun ke-29 tepat ditengah-tengah perjalanan ekspedisi Daendels. Tak lama kemudian, bel berbunyi, pintu kubuka. Dan ternyata, seorang karyawan Santika Cirebon mengantar kue tart. My birthday tart.
Thanks Santika. Terima kasih untuk teman, sahabat, dan keluarga yang mengucapkan selamat ulang tahun. Mohon maaf, baru sekarang aku sempat membalas. Terima kasih pula untuk teman yang mengirim sms pukul 22.00, berisi, ”mas, Indonesia Timur mengucapkan selamat ulang tahun”. SMS serupa dia kirim lagi, pukul 23.00 dan pukul 24.00. Thanks...
Tuesday, September 23, 2008
Diposting oleh haryo98 di 11:59 PM 5 komentar
Monday, September 08, 2008
GARUDA MANADO Meski jarak pandang memburuk, kupikir seharusnya pesawat itu tetap mampu menyentuh runway. Karena pesawat dalam posisi lurus dengan runway. Lagipula percepatan pesawat saat hendak mendarat cukup konstan, serta proses pendaratan telah dipahami dengan baik. PS. Joseph-pilot berkontribusi atas perbaikan artikel ini.. thanks
Nyawa Bisa Saja Melayang....
Geat decision, Capt. Saya lihat anda abort landing hanya 1-2 menit sebelum roda pesawat touch-down runway—tulisku dalam kartu namaku yang kutitipkan pada senior cabin crew untuk captain GA 602.
Hujan lebat, angin kencang. Jarak pandang di Bandara Sam Ratulangi, Manado, Sulawesi Utara, Kamis, 4 September 2008, menjadi terbatas. Cuaca berubah dengan drastis. Padahal, ketika Boeing 737-400 ini melayang di atas Teluk Manado, cuaca masih cerah.
Oleh HARYO DAMARDONO
Pramugari mengumumkan pesawat segera mendarat. Kumatikan Ipod, kumasukkan earphone Sennheiser-ku ke dalam tas. Kubersyukur, Sennheiser masih berfungsi. Agen resmi Sennheiser di Ratu Plaza menvonis mati earphone itu, tetapi Haji Apa, perantauan Bireuen, Aceh yang tinggal dekat rumah memperbaiki dengan ongkos Rp 15.000. Irit lebih dari Rp 400.000, dibanding membeli Sennheiser baru.
Penerbangan Jakarta-Manado, tidak sebentar. Jakarta-Makassar ditempuh 2 jam 15 menit, transit di Makassar selama 30 menit, lalu terbang lagi ke Manado selama 1 jam 30 menit. Total dibutuhkan 4 jam 15 menit, belum termasuk merayap di taxiway menuju ujung runway, atau dari runway ke apron yang bila dihitung mencapai sekitar 30 menit.
Selain berbekal ipod, aku membawa dua buku milik perpustakaan kantor, untuk membunuh waktu. Novel Deadly Triangle, karangan Lewis Perdue; mengisahkan perburuan Rusia, Nazi, dan Takhta Suci Vatican terhadap dokumen Leonardo da Vinci. Dan, buku teks The Geography of Urban Transportation; berisi tinjauan transportasi di Amerika Serikat.
Pesawat turun dari ketinggian jelajah 33.000 kaki (sekitar 11 kilometer di atas permukaan laut). Dari bangku ku di nomor 9A, kulihat di sisi utara Manado Tua. Pulau vulkanik setinggi 800 meter ini, dapat diamati dari seluruh penjuru Manado. Di sebelahnya, ada Pulau Bunaken. Perairan Pulau Bunaken, merupakan firdaus bagi penyelam.
Kursi pesawat ini pun sebagian penuh dengan orang kulit putih. Tetapi, mereka tidak tampak seperti pelancong. Entah mengapa kuberpikir demikian? Mungkin karena bule-bule itu berpakaian lebih rapi, tidak berpakaian casual sebagai layaknya pelancong. Mereka juga bukan pebisnis, yang memakai setelan mahal.
”Permisi,” ujar salah satu perempuan bule itu kepada pramugari Garuda, yang sudah tua-tua. Serentetan kosa-kata Indonesia, lalu keluar dari mulut bule itu. Kupikir, mereka adalah para pewarta Injil, yang berkelana dari satu negara ke negara lain. Di Bitung (50 km dari Manado), tahun 2007, pernah kusaksikan satu kapal besi bernama lambung Hannah I, berbobot sekitar 600 Gross Ton. Isinya, ratusan pewarta Injil!
Ketinggian terus terpangkas. Kini pesawat telah meninggalkan Laut Sulawesi, lalu terbang di atas bagian paling timur laut daratan Sulawesi Utara. Di bawah tampak permukiman yang berserakan di kaki gunung. Terlihat pula beberapa gereja, yang terlihat lebih megah dibanding rumah penduduk di sekelilingnya.
Ini kali ketiga aku mendarat di Bandara Sam Ratulangi. Pesawat selalu mendarat dari utara dengan hidung pesawat menghadap ke selatan. Sebelumnya, pesawat melintasi Teluk Menado dari barat ke timur, lalu berbelok melingkar sedikit ke kanan. Kutandai, tiap bandara memang selalu mempunyai jalur pendaratan, karena posisi geografinya, karena posisi runwaynya, atau arah angin.
”Landing position,” ujar pilot. Suara gemuruh menandai keluarnya roda pendaratan. Landing main gear, dan nose landing gear diturunkan. Lalu, suara elektris terdengar ketika trailing edge flap, di sisi belakang sayap, dijulurkan untuk menambah drag atau hambatan angin.
Posisi pesawat sedikit menengadah, hidung terangkat. Posisi ini supaya landing main gear yang menyentuh runway terlebih dahulu. Ketinggian makin berkurang. Badan pesawat terasa menyendal-nyendal terhambat angin. Badan pesawat bergoyang-goyang, tertiup angin yang cukup kencang.
Ujung-ujung pohon kelapa mulai terlihat. Pak Djoko dari Departemen Perhubungan di kanan saya, terlihat mulai tegang. Satu hingga dua menit lagi, roda pendaratan menyentuh runway.
Sebaliknya, aku rileks saja. Senin, 25 September 2005, pesawat jenis Fokker 27 rute Pontianak-Putussibau, yang kutumpangi hampir jatuh. Setelah pengalaman itu, terbang tidak pernah menakutkan. Kalau hanya cuaca buruk, apalagi angin kencang—enteng, menurutku.
Tiba-tiba, satu titik air, dua titik air, lalu hujan lebat menerpa jendela pesawat. Lalu kulihat kabut. Kabut di siang hari? Ternyata, hujan yang sangat lebat meminimalkan jarak pandang. Nyaris sepekat jarak pandang di Bandara Supadio, Pontianak, saat dikepung kabut asap.
Grooommmm. Mesin ..... tiba-tiba meraung. ”Abort landing, pak Djoko,” ujar ku. Seketika kecepatan ditambah, hidup pesawat pun makin dinaikkan. Runway terlihat makin menjauh, pesawat take-off kembali. Dalam hitungan detik, Capt GA 602 memutuskan pembatalan pendaratan. Kubayangkan, pilot berkata ke co-pilot, "Overshoot." Dan, dijawab, "Overshoot landing, capt.." Tak lama kemudian, sang pilot menginformasikannya ke Air Traffic Control.
Di sisi kiri, tampak Gunung Klabat (1.995 meter). Pesawat menambah ketinggian dengan cepat, tetapi sepertinya kami masih lebih rendah dari gunung itu. Edan, siapa yang berinisiatif membangun bandara ini tidak jauh dari gunung itu, pikirku. Terbang ke selatan, sang captain harus ekstra waspada. Terlebih, di barat daya Bandara Sam Ratulangi, terdapat Gunung Lokon (1.579 meter).
Kurang dari lima menit, kami telah terbang di atas perairan Sulawesi. Kuduga, kami berada di selatan Pulau Lembeh. Ketinggian pesawat distabilkan. ”Para penumpang yang terhormat, karena jarak pandang di Bandara Sam Ratulangi tidak memungkinkan untuk pendaratan. Maka, kami akan menunggu cuaca membaik untuk beberapa saat,” kata Captain GA 602.
Nyaris tidak ada reaksi dari penumpang. Meski bagi ku, itu adalah keputusan terbaik yang diambil sang captain. Itu keputusan yang diambil hanya dalam hitungan detik. Capt GA 602 bertindak profesional, karena abort landing menghabiskan bergallon-gallon avtur berbiaya jutaan rupiah.
Tetapi sekali lagi, mungkin, sang captain tidak mau ambil resiko. Mendarat dengan jarak pandang rendah, memungkinkan pesawat tidak mendarat di ujung runway tetapi di pertengahan runway. Akibatnya, pesawat tidak memungkinkan untuk direm tepat pada akhir runway.
Peristiwa Lion JT 538 di Solo, Selasa, 30 November 2004, menunjukkan akibat tergelincirnya pesawat, puluhan jiwa melayang. Dan, peristiwa Sriwijaya Air, yang overrun dari runway Bandara Sultan Thaha, Jambi, Agustus 2008, mempertontonkan tragedi akibat pesawat tidak landing dengan sempurna… Great decision, Captain...
Foto: Haryo Damardono
Caption:
1. Pengisian bahan baker avtur di Bandara Sam Ratulangi
2. Kota Manado difoto dari dalam pesawat. Dapat dilihat reklamasi pantai di jalan boulevard
3. Pulau Manado Tua (kiri) difoto dari kolam renang Hotel Ritzy ****, tempatku menginap di Manado
4. Ikan, kekayaan alam Sulawesi Utara, yang seringkali dijarah orang Filipina
5. Manado Town Square, contoh menjamurnya pusat perbelanjaan di Manado
6. Terminal Bandara Internasional Sam Ratulangi, Manado
Diposting oleh haryo98 di 5:42 PM 7 komentar