Friday, December 12, 2008

Anak Mall

Di Pontianak, Leavy, wartawan Pontianak Pos sering mengejek saya sebagai anak mall. “Budak-budak (anak-anak, maksudnya) lain masih liputan, Haryo sudah di mall. Cemane tu,” ujar dia.

Awalnya, Mal Gajah Mada merupakan target utama. Namun seiring hijrahnya Toko Buku Gramedia ke Mega Mall, maka saya lebih sering menyambangi mal itu. Lebih sering? Maksudnya sering sekali, seminggu bisa empat kali.

Di mal, saya paling sering beli buku, beli CDs, nonton film, hingga belanja di hypermart untuk membeli makanan—yang biasanya dijarah Leavy juga. Buat saya, mal adalah oase dalam menjalani tugas di Pontianak. Mohon maaf, tapi segalanya tersedia. Di Pontianak, mal juga jadi melting pot utama, penuh sesak, ketika… kabut asap menyelimuti kota.

By the way, sembari membereskan kertas-kertas di meja kerja, saya menemukan fotokopian Catatan Pinggir Majalah Tempo, 13 Mei 2007, yang ditulis Goenawan Mohammad, judulnya singkat, “Mall”. Buat saya, tulisan ini luar biasa! Anda akan sependapat dengan saya….

MALL (oleh Goenawan Mohammad)

Jika tuan berdiri di salah satu sudut Senayan City, tuan akan tahu bagaimana malam berubah sebagaimana juga dunia berubah. Di ruangan yang luas dan disejukkan pengatur udara, cahaya listrik tak pernah putus. Iklan dalam gambar senantiasa bergerak, bunyi musik menyusup lewat ratusan iPod ke bagian diri yang paling privat, dan lorong-lorong longgar itu memajang bermeter-meter etalase dengan busana dan boga.

Sepuluh, bukan, lima tahun yang lalu, malam tidak seperti ini. Juga dunia, juga kenikmatan dan kegawatannya.

Hari itu saya duduk minum kopi di salah satu kafe di salah satu mall di Jakarta, dan tiba-tiba saya merasa bodoh: saya tak tahu berapa mega-kilowatt listrik dikerahk an untuk membangun kenikmatan yang tersaji buat saya hari itu. Saya merasa bodoh, ketika saya ingat, pada suatu hari di Tokyo, di tepi jalan yang meriah di Ginza, teman saya, seorang arsitek Jepang, menunjukkan kepada saya mesin jajanan yang menawarkan Coca-Cola dan kripik kentang. "Tahukah Tuan," tanyanya, "jumlah tenaga listrik yang dipakai oleh mesin jenis ini di seluruh Jepang?

Saya menggeleng, dan ia menjawab, Jumlahnya lebih besar ketimbang jumlah tenaga listrik yang tersedia buat seluruh Bangladesh.

Ia berbicara tentang ketimpangan, tentu. Ia ingin saya membayangkan rumah-rumah sakit yang harus menyelamatkan nyawa manusia di sebuah negeri miskin yang ternyata tak punya daya sebanyak 10 buah mesin jajanan di negeri kaya mesin yang menawarkan sesuatu yang sebetulnya tak perlu bagi hidup manusia.

Saya merasa bodoh, mungkin juga merasa salah. Seandainya bisa saya hitung berapa kilowatt energi yang ditelan oleh sebuah mall di Jakarta, di mana saya duduk minum kopi dengan tenang, mungkin saya akan tahu seberapa timpang jumlah itu dibandingkan dengan seluruh tenaga listrik buat sebuah kabupaten nun di pedalaman Flores .

Tapi tak hanya itu sebenarnya. Kini banyak orang tahu, ketimpangan seperti itu hanya satu fakta yang gawat dan menyakitkan. Ada fakta lain: kelak ada sesuatu yang justru tak timpang, sesuatu yang sama: sakit dan kematian.

Konsumsi energi berbeda jauh antara di kalangan yang kaya dan kalangan miskin, tapi bumi yang dikuras adalah bumi yang satu, dan ozon yang rusak karena polusi ada di atas bumi yang satu, dengan akibat yang juga mengenai tubuh siapa saja termasuk mereka yang tak pernah minum kopi dalam mall, di sudut miskin di Flores atau Bangladesh, orang-orang yang justru tak ikut mengotori cuaca dan mengubah iklim dunia.

Dengan kata lain, tak ada pemerataan kenikmatan dan keserakahan, tapi ada pemerataan dalam hal penyakit kanker kulit yang akan menyerang dan air laut yang menelan pulau ketika bumi memanas dan kutub mencair. Orang India, yang rata-rata hanya mengkonsumsi energi 0,5 kW, akan mengalami bencana yang sama dengan orang Amerika, yang rata-rata menghabisi 11,4 kW.

"Saya tak lagi berpikir tentang keadilan dunia," kata teman Jepang itu pula, "terlalu sulit, terlalu sulit." Beberapa tahun kemudian ia meninggalkan negerinya.

Saya dengar ia hidup di sebuah dusun di negeri di Amerika Latin, membuat sebuah usaha kecil dengan mengajak penduduk menghasilkan sabun yang bukan jenis detergen, mencoba menanam sayuran organik sehingga tak banyak bahan kimia yang ditelan dan dimuntahkan. Tapi kata-katanya masih terngiang-ngiang, "terlalu sulit, terlalu sulit."

Mungkin memang terlalu sulit untuk menyelamatkan dunia. Saya baca hitungan itu: dalam catatan tahun 2002, emisi karbon dioksida dari seluruh Amerika Serikat mencapai 24% lebih dari seluruh emisi di dunia, sedangkan dari Vanuatu hanya 0,1%, tapi naiknya permukaan laut di masa depan akibat cairnya es di kutub utara mungkin akan menenggelamkan negeri di Lautan Teduh itu dan tak menenggelamkan Amerika.

Ingin benar saya tak memikirkan ketidakadilan dunia, tapi manusia juga menghadapi ketidakadilan antargenerasi. Mereka yang kini berumur di atas 50 tahun pasti telah lama menikmati segala hal yang dibuat lancar oleh bensin, batu bara, dan tenaga nuklir. Tapi mungkin sekali mereka tak akan mengalami kesengsaraan masa depan yang akan dialami mereka yang kini berumur 5 tahun. Dalam 25 tahun mendatang, kata seorang pakar, emisi C02 yang akan datang dari Cina bakal dua kali lipat emisi dari seluruh wilayah Amerika, Kanada, Eropa, Jepang, Australia, Selandia Baru. Apa yang akan terjadi dengan bumi bagi anak cucu kita?

"Terlalu sulit, terlalu sulit," kata teman Jepang itu.

Ekonomi tumbuh karena dunia didorong keinginan hidup yang lebih layak. "Lebih layak" adalah sesuatu yang kini dikenyam dan sekaligus diperlihatkan mereka yang kaya . Kini satu miliar orang Cina dan satu miliar orang India memandang mobil, televisi, lemari es, mungkin juga baju Polo Ralph Lauren dan parfum Givenchy sebagai indikator kelayakan, tapi kelak, benda-benda seperti itu mungkin berubah artinya. Jika 30% dari orang Cina dan India berangsur-angsur mencapai tingkat itu seperempat abad lagi, ada ratusan juta manusia yang selama perjalanan seperempat abad nanti akan memuntahkan segala hal yang membuat langit kotor dan bumi retak. Seperempat abad lagi, suhu bumi akan begitu panas, jalan akan begitu sesak, dan mungkin mobil, lemari es, baju bermerek, dan perjalanan tamasya hanya akan jadi benda yang sia-sia.

Mungkin orang harus hidup seperti di surga. Konon, di surga segala sesuatu yang kita hasratkan akan langsung terpenuhi. Itu berarti, tak akan ada lagi hasrat. Atau hasrat jadi sesuatu yang tak relevan; ia tak membuat hidup mengejar sesuatu yang akhirnya sia-sia. Tapi akankah saya mau, seperti teman Jepang itu, pergi ke sebuah dusun di mana tak ada mall, tak ada bujukan untuk membeli, dan hidup hampir seperti seorang rahib? Di mall itu, saya melihat ke sekitar. Terlalu sulit, terlalu sulit, pikir saya.

dari: Majalah Tempo Edisi. 10/XXXIIIIIII/ 07 - 13 Mei 2007

Read More..

Tuesday, October 07, 2008

Orang-Orang Spanyol

“Pernah pacaran dengan orang Spanyol?” tanyaku. Didit tersenyum, mengangguk- mengiyakan. Dia lahir di Jakarta, besar di Spanyol. Ayahnya, staf KBRI yang resign lalu menetap di Spanyol. Aku tertarik kisahnya tentang hubungan dua manusia beda benua. Tapi dia serius menyetir. Di sana, menyetir urusan serius. Jangan pakai HP saat nyetir, urusannya panjang.

Di Madrid, di sudut gedung Biblioteca Nacional, kulihat perempuan kulit putih tinggi sekitar 165 meter. Dia mancung, langsing, berambut coklat tua. Perempuan berkemeja dan berok hitam itu, jelas layak jadi gadis sampul majalah wanita. Dia menunggu seseorang. Tak lama, sang pria mendekat. Dia hitam, tampak dari satu negara di Afrika. Sang pria mencondongkan tubuh, memeluk, mencium bibir, satu telapak tangan menyentuh punggung, telapak lainnya menangkup lalu meremas pantat. Aiiiiiihhh….

Saat menulis feature bertajuk “Perjalanan Waktu The Aljaferia”, Senin (22/9), pikiranku melayang kembali ke jazirah Iberia, negara Spanyol yang kukunjungi pertengahan tahun ini. Tau gak? Tiada perasaan inferior menghinggapiku saat itu. Mengapa? Mungkin, salah satu penyebabnya, postur tubuh orang Spanyol yang tidak terlalu tinggi. Tidak terlalu tinggi, untuk orang Mongoloid sepertiku.

Umumnya, orang Eropa lebih tinggi dari orang Asia. Dalam perjalanan dari Heathrow Airport (London) menuju Baragas Airport (Madrid), pramugara dan pramugari British Airways juga lebih tinggi dari ku. Seperti raksasa-raksasi, dalam kisah pewayangan. Tapi orang Spanyol, kata orang Betawi, sepantaran dengan kita, sama pendeknya.

“According to one survey, Spaniards are among the shortest and slimmest people too,” demikian ditulis dalam The lonely planet Spain edisi 2007. Pembalap F1, Fernando Alonso juga tak terlalu tinggi. The Gladiator, adalah Spaniards too. Dia pun tak terlalu tinggi.

Mungkinkah, postur orang Spanyol yang tak terlalu tinggi, selain mengenyahkan inferioritas diri ku juga mempermulus hubungan cinta antarbenua? Aku sedang tak ingin berargumentasi, berkata-kata....

Aku memilih menunjukkan foto jepretanku. Orang-orang Spanyol. Nikmati!!

foto: Haryo Damardono (dilindungi hak cipta)

caption: 1. pengamen di Madrid (pengamen aja ganteng ya), 2. cewek Toledo (75 km dari Madrid), 3. pastor di Madrid (80 % orang Spanyol ngaku-nya Katolik), 4. cewek2 Madrid, 5. tukang jual Lotre (SDSB kalo di sini:), 6. a lady nunggu bus di halte, 7. pacaran ih, 8. modissss deh

Read More..

Friday, October 03, 2008

Menang Lomba Penulisan PT Kereta Api

Kabar itu datang via telepon genggam-ku. ”Mas, anda menang lomba karya tulis PT Kereta Api ke-63 sebagai Juara II (kedua),” kata Humas Eksternal PT Kereta Api Bambang SP. Tak sampai sebulan setelah tulisan itu dimuat, ternyata penghargaan menghampiri. Aku tak mengirim tulisan itu untuk diikutsertakan dalam lomba, tetapi staf humas PT KA memelototi tulisan-tulisan di media menyangkut perkeretaapian.

Rabu (17/9) pukul 08.30, aku menerima penghargaan itu di halaman kantor pusat PT KA di Bandung. Berbatik Danar Hadi dengan warna dasar hitam dan celana wool hitam, sebenarnya aku ingin menunjukkan keprihatinan atas dunia perkeretaapian sebagaimana kutulis dalam feature yang memenangi lomba ini. Entah apakah pegawai PT KA menangkap sinyal dari kostum-ku?

Terima kasih untuk tim ekspedisi Jalan Raya Pos-Daendels, yang mengajak bergabung. Dan, untuk Ahmad Arif yang merapikan-memoles tulisan itu. Tak lupa, terimakasih untuk narasumber utama Taufik Hidayat (Direktur Indonesia Railway Watch). Selamat pula bagi Djoko Setijowarno (dosen Unika Soegijapranata) yang tulisannya kali ini merebut Juara I.

Ini tulisan-ku, selamat membaca....

Kereta Api
Loko Tua, Siapa Mau Turut?

“…Sebab baru keesokan harinjalah saja berangkat ke Surabaja dengan kereta api eendaagsche untuk hadir di dalam Kongres Indonesia-Raya…,” demikian penggalan surat Ir Soekarno kepada Mr Sartono, tertanggal 14 Desember 1931, menjelang dia dibebaskan dari penjara Sukamiskin, Bandung. Dengan kereta api, Soekarno datang ke kongres penting yang menjadi dasar Indonesia.

Oleh: Haryo Damardono

Jaringan kereta api di Jawa, yang mulai dibangun 56 tahun setelah pembangunan Jalan Raya Pos dari Anyer-Panarukan, sebenarnya disiapkan Belanda menjadi moda transportasi utama. Sehingga, Belanda terus meningkatkan kualitas pelayanannya.


Pada tahun 1894, perjalanan kereta Batavia-Surabaya ditempuh dua hari, tahun 1929 hanya 13,5 jam, dan sepuluh tahun kemudian dapat ditempuh 11,5 jam. Ironisnya, tahun 2008 ini perjalanan Jakarta-Surabaya dengan kereta eksekutif Argo Bromo Anggrek ditempuh dalam 10 jam. Tidak ada kemajuan berarti!

Eendaagsche Expres atau ekspres satu hari, merupakan penanda kemajuan transportasi di Jawa. Dengan lokomotif C 53, kereta dapat melaju hingga 100 km per jam saat melewati beberapa ruas di rute Cikampek-Cirebon-Kroya-Yogya-Solo-Madiun. Lokomotif C 53, yang dibuat di Werkspoor, Amsterdam itu merupakan salah satu lokomotif tercepat di dunia pada masa itu.

Namun, 63 tahun di tangan Indonesia, perkeretaapian di Jawa terus menurun.

Terbengkalai
Panjang rel kereta api warisan Belanda itu makin berkurang, dari 6.811 km (1939), kini tersisa 4.500 km, dimana 3.425 km ada di Jawa. Di ujung barat Pulau Jawa, tak jauh dari reruntuhan benteng dan pelabuhan lama Banten, stasiun tua yang pernah menjadi jantung kota, dalam kondisi ditelantarkan.


Di ujung timur, Stasiun Panarukan, yang menjadi pemberhentian terakhir tembakau-tembakau terbaik Besuki, sebelum kemudian dikapalkan ke Bremen (Jerman) melalui Pelabuhan Panarukan, menjadi bangunan tua tak bertuan.

Di selatan Terminal Terboyo, Semarang, sebuah stasiun tua telah diubah menjadi toko, demikian juga nasib Stasiun Rembang. Di Pelabuhan Cirebon, rel-rel yang sejajar Jalan Raya Pos telah ditutup aspal. Tak jauh dari pintu masuk Pelabuhan Tegal ke arah Pemalang, rel yang melintasi jalan nasional pun dimatikan, menyisakan sepenggal rel yang menggelantung diatas selokan.

Puncak kemerosotan itu dapat dilihat di Jalan Pemuda, Jalan Raya Pos di ruas Semarang. Gedung Lawang Sewu, yang dulu kantor pusat Nederlands Indische Spoorweg-Maatschappij (NIS) atau Jawatan Kereta Api Pemerintah Hindia Belanda, menjadi bangunan tua yang tak terurus. Stasiun Semarang Tawang, rancangan JP de Bordes, yang dibangun 29 April 1911, dibiarkan sekarat menghadapi rob dari laut Jawa.

“Perkeretaapian kita terus mundur. Hampir seluruh perjalanan kereta api waktu tempuhnya menurun rata-rata satu jam. Kereta tua masih jadi andalan,” ujar Direktur Eksekutif Indonesia Railway Watch, Taufik Hidayat. Data Direktorat Jenderal Perkeretaapian Departemen Perhubungan menunjukkan, 109 dari 342 lokomotif telah berusia di atas 40 tahun, 412 dari 1.275 kereta berusia diatas 40 tahun, dan 1.887 gerbong dari 5.439 gerbong berusia diatas 40 tahun.

Pekan lalu, Taufik naik Argowilis (Bandung-Yogyakarta). “Dulu, ketika masih single-track lamanya 6,5 jam tetapi jutru menjadi 7,5 jam. Lalu, untuk apa dibangun double-track dari Kutoarjo-Yogja? Apa pula hasilnya modernisasi sinyal?” ujar Taufik.
Kereta api memang terus meredup. Kereta anjlok terus terjadi. Bulan lalu, bahkan ditemukan 10 bom molotov di rangkaian Kereta Cirebon Ekspres. “Bagaimana sterilisasi stasiun dan keamanan kereta api?” gugat Taufik.

Prioritas
Direktur Utama PT Kereta Api, Ronny Wahyudi beralasan, rendahnya pelayanan kereta api karena perhatian pemerintah terhadap kereta api masih kurang dibandingkan terhadap pembangunan jalan. “Kami kekurangan dana, dan sumber daya manusia juga masih rendah. Pemerintah baru memihak kereta api sejak tahun 2005,” kata Ronny..

Menurut Ronny, pemerintah harus memihak angkutan massal, utamanya kereta. ”Bila pemerintah lebih memilih tol, keuntungan mengalir ke industri otomotif Jepang. Membebaskan lahan tol juga butuh lima tahun, padahal lahan rel sudah siap,” ujar dia.

Pengalaman negara-negara lain, kereta cepat (high-speed train) telah menjadi penopang utama transportasi seperti Jepang dan negara-negara Eropa. Shinkansen telah dioperasikan di Tokyo-Osaka (515 kilometer) sejak 1964. Vietnam, yang masih perang pada dekade 70-an, pada Februari 2007 berani mengumumkan pembangunan kereta cepat Hanoi-Ho Chi Minh City (1.630 kilometer) berbiaya 33 miliar dollar Amerika.

Alokasi dana dari pemerintah Vietnam ini jauh lebih besar dibandingkan estimasi kebutuhan dana untuk membangun jaringan kereta api cepat Jakarta-Surabaya oleh perusahaan kereta api Perancis Societe Nationale des Chemins de Fer (SCNF), sebesar 6,14 miliar dollar Amerika. Bila terwujud, Jakarta-Surabaya bisa ditempuh tiga jam.

Pemerintah, melalui Meneg BUMN, Sofyan Djalil mengatakan, UU Kereta Api Nomor 23 Tahun 2007 telah membuka peluang investasi swasta di bidang perkeratapian. Namun, hingga kini belum ada investor yang berminat membangun kereta penumpang. Investor baru tertarik membiayai angkutan kereta batu-bara, seperti dirintis PT Bukit Asam Tbk. Peluang kerja sama lebih terbuka dengan perusahaan semen, pupuk, dan bahan bakar minyak.

Investor justru lebih tertarik membangun apartemen dan pusat perbelanjaan di lahan-lahan PT KA di jantung kota yang telantar, seperti di Manggarai. PT KA mempunyai 16.494 rumah dinas di Jawa dan Sumatera, namun tidak seluruhnya difungsikan. Sekitar 30 persen lahan PT KA saat ini juga masih dikuasai pihak lain. Padahal, saat ini PT KA kekurangan dana hingga Rp 11 triliun.

Taufik Hidayat menyarankan, revitalisasi perkeretaapian dimulai dengan merehabilitasi jaringan-jaringan yang sudah ada. Baru kemudian, memodernisasi dan menstabilisasikan operasional kereta api.

Menurut hitungan Taufik, kereta api dapat meningkatkan efisiensi ekonomi karena sifatnya yang massal. Di India, sebesar 40 persen barang diangkut dengan kereta, sedangkan di Indonesia baru 0,6 persen.

Dengan segenap kelebihannya, kereta api tetap menjadi andalan transportasi massal di dunia. Misalnya Belanda, pada tahun 2006 negeri ini meremajakan kereta dengan mengoperasikan Randstad Rail untuk menghubungkan intra maupun interkota. Sedangkan menuju negara lain di Eropa menggunakan jaringan kereta The Thalys PBKA, akronim dari Paris, Brussels, Koln, dan Amsterdam.

Dibandingkan Belanda, negara kita ternyata tidak banyak bergerak ke depan. Negara Belanda mengapung karena mengeruk kekayaan kita, tetapi, tetap saja kita terpuruk hingga 200 tahun kemudian, dan menyia-nyiakan kekayaan yang tersisa...(Ahmad Arif)


Read More..

Tuesday, September 23, 2008


Birthday Tart dari Hotel Santika Cirebon

Kriiiiing, bunyi telepon, suara percakapan, lalu sebuah pertanyaan. “Kau ulang tahun?” ucap Ahmad Arif, wartawan Kompas yang menjadi teman sekamar di Hotel Santika Cirebon. “Iya,” kataku. “Selamat ya,” balas Arif, seraya menginformasikan Santika menanyakan keberadaanku.

Jumat sore itu, 1 Agustus 2008, aku berulangtahun ke-29 tepat ditengah-tengah perjalanan ekspedisi Daendels. Tak lama kemudian, bel berbunyi, pintu kubuka. Dan ternyata, seorang karyawan Santika Cirebon mengantar kue tart. My birthday tart.

Thanks Santika. Terima kasih untuk teman, sahabat, dan keluarga yang mengucapkan selamat ulang tahun. Mohon maaf, baru sekarang aku sempat membalas. Terima kasih pula untuk teman yang mengirim sms pukul 22.00, berisi, ”mas, Indonesia Timur mengucapkan selamat ulang tahun”. SMS serupa dia kirim lagi, pukul 23.00 dan pukul 24.00. Thanks...

Read More..

Monday, September 08, 2008

GARUDA MANADO
Nyawa Bisa Saja Melayang....

Geat decision, Capt. Saya lihat anda abort landing hanya 1-2 menit sebelum roda pesawat touch-down runway—tulisku dalam kartu namaku yang kutitipkan pada senior cabin crew untuk captain GA 602.

Hujan lebat, angin kencang. Jarak pandang di Bandara Sam Ratulangi, Manado, Sulawesi Utara, Kamis, 4 September 2008, menjadi terbatas. Cuaca berubah dengan drastis. Padahal, ketika Boeing 737-400 ini melayang di atas Teluk Manado, cuaca masih cerah.

Oleh HARYO DAMARDONO

Pramugari mengumumkan pesawat segera mendarat. Kumatikan Ipod, kumasukkan earphone Sennheiser-ku ke dalam tas. Kubersyukur, Sennheiser masih berfungsi. Agen resmi Sennheiser di Ratu Plaza menvonis mati earphone itu, tetapi Haji Apa, perantauan Bireuen, Aceh yang tinggal dekat rumah memperbaiki dengan ongkos Rp 15.000. Irit lebih dari Rp 400.000, dibanding membeli Sennheiser baru.



Penerbangan Jakarta-Manado, tidak sebentar. Jakarta-Makassar ditempuh 2 jam 15 menit, transit di Makassar selama 30 menit, lalu terbang lagi ke Manado selama 1 jam 30 menit. Total dibutuhkan 4 jam 15 menit, belum termasuk merayap di taxiway menuju ujung runway, atau dari runway ke apron yang bila dihitung mencapai sekitar 30 menit.

Selain berbekal ipod, aku membawa dua buku milik perpustakaan kantor, untuk membunuh waktu. Novel Deadly Triangle, karangan Lewis Perdue; mengisahkan perburuan Rusia, Nazi, dan Takhta Suci Vatican terhadap dokumen Leonardo da Vinci. Dan, buku teks The Geography of Urban Transportation; berisi tinjauan transportasi di Amerika Serikat.

Pesawat turun dari ketinggian jelajah 33.000 kaki (sekitar 11 kilometer di atas permukaan laut). Dari bangku ku di nomor 9A, kulihat di sisi utara Manado Tua. Pulau vulkanik setinggi 800 meter ini, dapat diamati dari seluruh penjuru Manado. Di sebelahnya, ada Pulau Bunaken. Perairan Pulau Bunaken, merupakan firdaus bagi penyelam.

Kursi pesawat ini pun sebagian penuh dengan orang kulit putih. Tetapi, mereka tidak tampak seperti pelancong. Entah mengapa kuberpikir demikian? Mungkin karena bule-bule itu berpakaian lebih rapi, tidak berpakaian casual sebagai layaknya pelancong. Mereka juga bukan pebisnis, yang memakai setelan mahal.

”Permisi,” ujar salah satu perempuan bule itu kepada pramugari Garuda, yang sudah tua-tua. Serentetan kosa-kata Indonesia, lalu keluar dari mulut bule itu. Kupikir, mereka adalah para pewarta Injil, yang berkelana dari satu negara ke negara lain. Di Bitung (50 km dari Manado), tahun 2007, pernah kusaksikan satu kapal besi bernama lambung Hannah I, berbobot sekitar 600 Gross Ton. Isinya, ratusan pewarta Injil!

Ketinggian terus terpangkas. Kini pesawat telah meninggalkan Laut Sulawesi, lalu terbang di atas bagian paling timur laut daratan Sulawesi Utara. Di bawah tampak permukiman yang berserakan di kaki gunung. Terlihat pula beberapa gereja, yang terlihat lebih megah dibanding rumah penduduk di sekelilingnya.

Ini kali ketiga aku mendarat di Bandara Sam Ratulangi. Pesawat selalu mendarat dari utara dengan hidung pesawat menghadap ke selatan. Sebelumnya, pesawat melintasi Teluk Menado dari barat ke timur, lalu berbelok melingkar sedikit ke kanan. Kutandai, tiap bandara memang selalu mempunyai jalur pendaratan, karena posisi geografinya, karena posisi runwaynya, atau arah angin.

”Landing position,” ujar pilot. Suara gemuruh menandai keluarnya roda pendaratan. Landing main gear, dan nose landing gear diturunkan. Lalu, suara elektris terdengar ketika trailing edge flap, di sisi belakang sayap, dijulurkan untuk menambah drag atau hambatan angin.

Posisi pesawat sedikit menengadah, hidung terangkat. Posisi ini supaya landing main gear yang menyentuh runway terlebih dahulu. Ketinggian makin berkurang. Badan pesawat terasa menyendal-nyendal terhambat angin. Badan pesawat bergoyang-goyang, tertiup angin yang cukup kencang.

Ujung-ujung pohon kelapa mulai terlihat. Pak Djoko dari Departemen Perhubungan di kanan saya, terlihat mulai tegang. Satu hingga dua menit lagi, roda pendaratan menyentuh runway.

Sebaliknya, aku rileks saja. Senin, 25 September 2005, pesawat jenis Fokker 27 rute Pontianak-Putussibau, yang kutumpangi hampir jatuh. Setelah pengalaman itu, terbang tidak pernah menakutkan. Kalau hanya cuaca buruk, apalagi angin kencang—enteng, menurutku.

Tiba-tiba, satu titik air, dua titik air, lalu hujan lebat menerpa jendela pesawat. Lalu kulihat kabut. Kabut di siang hari? Ternyata, hujan yang sangat lebat meminimalkan jarak pandang. Nyaris sepekat jarak pandang di Bandara Supadio, Pontianak, saat dikepung kabut asap.

Grooommmm. Mesin ..... tiba-tiba meraung. ”Abort landing, pak Djoko,” ujar ku. Seketika kecepatan ditambah, hidup pesawat pun makin dinaikkan. Runway terlihat makin menjauh, pesawat take-off kembali. Dalam hitungan detik, Capt GA 602 memutuskan pembatalan pendaratan. Kubayangkan, pilot berkata ke co-pilot, "Overshoot." Dan, dijawab, "Overshoot landing, capt.." Tak lama kemudian, sang pilot menginformasikannya ke Air Traffic Control.

Di sisi kiri, tampak Gunung Klabat (1.995 meter). Pesawat menambah ketinggian dengan cepat, tetapi sepertinya kami masih lebih rendah dari gunung itu. Edan, siapa yang berinisiatif membangun bandara ini tidak jauh dari gunung itu, pikirku. Terbang ke selatan, sang captain harus ekstra waspada. Terlebih, di barat daya Bandara Sam Ratulangi, terdapat Gunung Lokon (1.579 meter).

Kurang dari lima menit, kami telah terbang di atas perairan Sulawesi. Kuduga, kami berada di selatan Pulau Lembeh. Ketinggian pesawat distabilkan. ”Para penumpang yang terhormat, karena jarak pandang di Bandara Sam Ratulangi tidak memungkinkan untuk pendaratan. Maka, kami akan menunggu cuaca membaik untuk beberapa saat,” kata Captain GA 602.

Nyaris tidak ada reaksi dari penumpang. Meski bagi ku, itu adalah keputusan terbaik yang diambil sang captain. Itu keputusan yang diambil hanya dalam hitungan detik. Capt GA 602 bertindak profesional, karena abort landing menghabiskan bergallon-gallon avtur berbiaya jutaan rupiah.

Meski jarak pandang memburuk, kupikir seharusnya pesawat itu tetap mampu menyentuh runway. Karena pesawat dalam posisi lurus dengan runway. Lagipula percepatan pesawat saat hendak mendarat cukup konstan, serta proses pendaratan telah dipahami dengan baik.

Tetapi sekali lagi, mungkin, sang captain tidak mau ambil resiko. Mendarat dengan jarak pandang rendah, memungkinkan pesawat tidak mendarat di ujung runway tetapi di pertengahan runway. Akibatnya, pesawat tidak memungkinkan untuk direm tepat pada akhir runway.

Peristiwa Lion JT 538 di Solo, Selasa, 30 November 2004, menunjukkan akibat tergelincirnya pesawat, puluhan jiwa melayang. Dan, peristiwa Sriwijaya Air, yang overrun dari runway Bandara Sultan Thaha, Jambi, Agustus 2008, mempertontonkan tragedi akibat pesawat tidak landing dengan sempurna… Great decision, Captain...


Foto: Haryo Damardono
Caption:
1. Pengisian bahan baker avtur di Bandara Sam Ratulangi
2. Kota Manado difoto dari dalam pesawat. Dapat dilihat reklamasi pantai di jalan boulevard
3. Pulau Manado Tua (kiri) difoto dari kolam renang Hotel Ritzy ****, tempatku menginap di Manado
4. Ikan, kekayaan alam Sulawesi Utara, yang seringkali dijarah orang Filipina
5. Manado Town Square, contoh menjamurnya pusat perbelanjaan di Manado
6. Terminal Bandara Internasional Sam Ratulangi, Manado

PS. Joseph-pilot berkontribusi atas perbaikan artikel ini.. thanks

Read More..

Saturday, July 26, 2008

Bangun Ryana… Lu Masih Utang Sushi…

Oleh: HARYO DAMARDONO


Bon itu masih terselip dalam dompetku. Ayam Goreng Rp 12.000, Soft drink Rp 9.000, J (maksudnya juice) Melon Rp 12.000, Cash Rp 38.000. Tercetak tanggalnya, 09-07-08 13:12. Tertera dibawahnya, Ayam Goreng Fatmawati Bandara Terminal 1A.

Siang itu, aku dijadwalkan terbang ke Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Menteri Perhubungan akan meresmikan pengoperasian kapal perintis rute Batu Licin-Makassar-Bau-bau. Dan, Dephub mengajakku ikut serta. Dari Banjarmasin menuju Batu Licin, kami masih harus terbang 30 menit lagi, dengan pesawat berbaling-baling.

Dalam perjalanan menuju bandara, lapar menyergap. Setiba di Terminal IA Bandara Soekarno-Hatta, dari beberapa restoran kupilih Ayam Goreng Fatmawati. Duduk di meja 12, setelah memesan kutelepon Ryana. Dia berkantor di Terminal 1A, titel kerennya, Senior Executive Corporate Public Relations Indonesia AirAsia.

“Yes, mas Haryo,” jawab Ryana.

“Ry, temenin gue makan. Di Ayam Goreng Fatmawati,” kataku.

Aku lupa dia memakai baju apa. Yang jelas, saat dia menghampiri meja ku, meja nomor 12, rambutnya tergerai seperti biasa. Tidak terlihat polesan lip-stick, di wajahnya yang chubby.

“Gue dah pesan makanan, kamu mau makan apa, ry?”

“Aku udah makan mas Haryo. Juice aja deh…”

“Bohong ya? Lagi diet?”

“Gak diet, tauk. Dodol deh. Gue dah makan. Gue bawa makan, abis beli makan di restoran bandara, muahaaal mas Haryo…” ujarnya berapi-api, dengan lafal seperti anak kecil. Cadel-cadel, manja. Mau tau ciri khas Ryana? Kata: dodol.

Sambil makan, kami mengobrol seru. Mulai dengan berbagi gosip di dunia penerbangan, hingga bertengkar mengenai sogokan dari airlines kepada oknum Dephub. Aku bersikeras seluruh airlines, harus menyogok agar bisa terbang. Ryana berang airlines-nya dituduh menyogok.

“he.. he.. sebenarnya, gue gak tau juga sih mas Haryo, soal sogok-menyogok itu”.

Obrolan terhenti, sebab aku harus segera check-in. Aku pun membayar bill, lalu berpisah dengan Ryana.

“Lain kali, gantian aku traktir shushi ya mas Haryo”.

Itu pertemuan terakhir dengan Ryana Yahya Nasution. Itu setengah bulan lalu. Dan kini, Ryana terbaring di RSI Cempaka Putih. Kehilangan kesadaran. Koma, belum titik.

Kompas, Sabtu, 26 Juli 2008 halaman 25 memberitakan Ryana dan keluarga dengan judul, “Truk Hajar Taksi, Dua Tewas”. Tabrakan antara truk dan taksi di jalan tol layang Wiyoto Wiyono, ruas Cawang-Tanjung Priok, Kilometer 9+800, Jumat (25/7) pukul 05.30. Tabrakan itu merenggut nyawa sopir taksi dan Nur Khairina Maltu (50), ibunda Ryana.

Sebelum kutahu Ryana jadi korban, pertanyaan yang muncul adalah mengapa tembok pembatas tol dapat “ditembus” truk yang melaju dari arah seberang? Apakah kecepatan truk sangat tinggi, sehingga tembok pun hancur? Tiada jawaban dari berita itu.

Tahun 2008 ini, sudah dua kali aku pergi dengan Ryana. Bulan Januari ke Kuala Lumpur, dan bulan Februari ke Singapura. Dia sebenarnya mengajak ke Laos, Maret lalu, tetapi batal karena Perdana Menteri Laos pergi entah kemana. Padahal, kami menghadiri acara yang sedianya dibuka beliau.

Sepulang dari Kuala Lumpur, setelah mendarat di Soekarno-Hatta, kutawarkan Ryana tumpangan. Tetapi, dia menolaknya karena ada kerjaan.

“Khan lu Senior Executive, ry.. Suruh aja Junior lu kerja”.

”he.. he.. cuman aku mas, Public Relations Indonesia di AirAsia,” ujarnya malu-malu.
“Kalau begitu, tidak usah ada embel-embel Senior, donk..,” ujarku, lalu menertawakannya.

Pekan lalu, untuk terakhir kalinya, kami chatting. Dia pun memamerkan foto yang menampilkan beberapa perempuan. Namun, di monitor komputer ku, foto itu hanya seukuran perangko.

“Tebak, gue yang mana mas Haryo”.

“Yang tengah, ry… Aku sebenarnya gak melihat jelas karena fotonya kekecilan. Tetapi, aku bisa menebak dari pose mu yang setengah menunduk”.

“Yap.. itu pose terbaik gue.. he.. he..”

Ryana, cepat sadar ya, cepat sembuh ya…

Jangan pergi dulu, teman… lu masih utang shushi sama gue….
---------------------
Foto: Gatot Angkasa
Februari 2008
caption:
Ryana (paling bawah, pakai baju lengan putih) dan aku, kami delay lima jam di Bandara Changi, Singapura, gara-gara banjir memblokade Soekarno-Hatta. Jadi, siapa bilang di Changi gak ada delay.. he.. he..

Read More..

Wednesday, July 23, 2008

IRIGASI
Harus Cerdas Mengelola Air….

"Every man is the architect of his own fortune,” – kutipan dari Appius Claudius Caecus (300 tahun Sebelum Masehi), arsitek Aqua Appia, kanal air minum buatan bagi penduduk kota Roma.

“Indonesia merupakan negara nomor lima terbesar di dunia dalam ketersediaan air per kapita,” kata Menteri Pekerjaan Umum Djoko Kirmanto, Senin (21/6) di Madrid, Spanyol. Menteri PU memaparkan karunia alam, yang tidak dimaksimalkan pemanfaatannya oleh bangsa Indonesia.

Oleh Haryo Damardono,
dari Zaragoza, Spanyol

Segenap pengusaha terkemuka Spanyol, yang mendengarkan pemaparan Menteri PU di Gedung Confederacion Espanola De Organizaciones Empresariales (semacam Kamar Dagang Indonesia) terkesima lalu mengerutkan dahi.

Di Spanyol, urusan air sudah tuntas, maka mereka mengincar investasi di negara lain. Adapun Indonesia memang tercatat mempunyai sumber daya air 3,22 triliun meter kubik per tahun, setara ketersediaan air per kapita sebesar 16.800 meter kubik per tahun.




Padahal, pengelolaan air yang baik dapat menyelesaikan tiga masalah terkrusial dunia, yakni pangan, energi, dan air. Manusia dapat campur tangan dalam daur hidrologi, dengan membangun waduk, untuk meningkatkan produktivitas tanaman pangan, dan menggerakkan pembangkit tenaga listrik.




Dr Andrew Benedek, ilmuwan Hongaria yang diganjar Lee Kuan Yew Prize 2008 pun menegaskan, keterkaitan pemenuhan kebutuhan energi, air, dan pangan. Bila satu jenis kebutuhan itu terpenuhi, demikian pula dengan kebutuhan lain.


Fakta mempertontonkan, pemanfaatan air di Indonesia sangat buruk. Meski kaya cadangan air, Indonesia didera kekeringan pada lahan pertanian, dan minimnya layanan air minum. Di perkotaan, jaringan air minum hanya menjangkau 40 persen penduduk.


Sebaliknya di Spanyol, meski hujan jarang turun dan pepohonan relatif jarang, namun sempurnanya sistem irigasi dan pengolahan air minum membuat kebutuhan air tercukupi. Sistem irigasi bahkan sudah terkomputerarisasi sehingga pembagian air lebih adil. Tidak ada cerita, petani menggergaji gembok pintu air.

Konsep Serupa
Di Zaragoza, ibukota provinsi Aragon, Spanyol, digelar Ekspo Dunia 2008 bertema Air dan Pembangunan Berkelanjutan, sejak 14 Juni hingga 14 September 2008. Dalam Ekspo tersebut, semua pembicaraan melulu terarah pada pengelolaan air.




“Lihat, konsep pengelolaan air di Indonesia, ternyata sudah sama seperti di Spanyol,” kata Direktur Jenderal Sumber Daya Air Departemen PU Iwan Nursyirwan Diar, saat meninjau paviliun Spanyol.


Bila Indonesia membagi pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) dengan Balai-balai Besar Wilayah Sungai, Spanyol membagi DAS dalam distrik hidrologi. Jadi, pengembangan suatu DAS tidak dibatasi wilayah administrasi seperti provinsi atau negara bagian, melainkan sebagai suatu kesatuan aliran sungai beserta anak-anak sungai.


Meski demikian, bila salah satu DAS utama di Indonesia yakni DAS Bengawan Solo melayani 27.000 hektar sawah irigasi teknis (Jawa Tengah) dan 70.000 hektar sawah irigasi teknis (Jawa Timur), maka layanan distrik hidrologi Spanyol terbilang luar biasa.


Untuk menjamin ketersediaan air, misalnya dibangun 154 bendungan di distrik hidrologi Guadiana saja. Tidak heran, distrik hidrologi Guadiana (satu dari lima sungai utama di Spanyol), melayani 1,05 juta hektar sawah irigasi, dengan 68 jenis tanaman pangan.

Jaringan irigasi waduk di Spanyol, tidak hanya mengalir air melalui kanal-kanal di permukaan tanah, tetapi juga dibawah tanah melalui pipa-pipa. Air dari bawah tanah, langsung menyirami tanaman seperti zaitun dan anggur, lewat keran atau sprinkle.


Keberadaan waduk, memang dibutuhkan bagi ketersediaan air sawah, serta air baku untuk air minum. Di Indonesia, sebagai contoh, hanya 800.000 hektar dari 7,2 juta hektar sawah berjaringan irigasi, yang ketersediaan airnya dijamin waduk.


Bicara soal pembangunan waduk, untuk negara dengan ketersediaan air sangat tinggi, Indonesia sangat tertinggal. Hingga 2008, baru dibangun sekitar 200 waduk, dimana 122 bendungan diantaranya merupakan bendungan besar, dengan tinggi 15 meter dan volume tampung lebih dari 500.000 meter kubik.




Bandingkan, dengan Amerika dengan 6.000 bendungan, 3.000 bendungan di Jepang, 1.500 bendungan di India, dan 20.000 bendungan di China. Andai Menteri PU Republik Rakyat China sehari meresmikan satu bendungan, dibutuhkan 54,5 tahun! Yang jelas, Menteri PU China tidak menghabiskan waktunya sekedar meresmikan bendungan.


“Untuk pembangunan waduk, tanggungjawab di pemerintah. Jadi, bila dana pemerintah tidak mencukupi, dicarikan pinjaman luar negeri. Untuk pengolahan air minum, baru kita membuka investasi,” ujar Djoko Kirmanto, dengan wajah berseri-seri seusai pertemuan di Madrid itu.


Javier Sierra selaku Direktur perusahaan Grupo Cobra, Carlos Martinez dari perusahaan Isofon, dan wakil-wakil perusahaan terkemuka Spanyol, memang menjanjikan investasi sektor air. Dari bidang pendidikan dan rumah sakit, tampaknya arah investasi dan bantuan Spanyol ke Indonesia juga difokuskan di sumber daya air.

Kemampuan Indonesia
Apakah Indonesia tidak cukup ahli mengelola air, sehingga harus berpaling ke Spanyol? “Saya yakin ada orang Indonesia yang cukup ahli. Tetapi, kita butuh teknologi yang segera mungkin dapat diterapkan, tidak lagi dicoba-coba,” ujar Djoko Kirmanto.


Bila investasi sumber daya air dari Spanyol, atau negara lain terwujud, sudah sepatutnya diapresiasi positif. Meski demikian, pemerintah tidak dapat hanya memfokuskan diri pada proyek besar semata. Pemerintah harus lebih cerdas dalam mencari terobosan-terobosan pengelolaan air.


Di Sungai Sulo, Kabupaten Kendal, ada Kepala Desa bernama Darsiyan yang memimpin warga membangun bendung untuk mengairi 35 hektar sawah baru dengan dana patungan Rp 20 juta. Bandingkan dengan Bendungan Kedung Brubus, di Kabupaten Madiun, yang diresmikan bulan lalu. Bendungan berbiaya Rp 69,3 miliar, menyuplai kebutuhan air bagi 500 hektar sawah irigasi baru.

Dengan hitungan kasar saja, bila Rp 20 juta setara 35 hektar sawah baru, seharusnya Rp 69,3 miliar dapat mencetak 121.500 hektar sawah baru. Tentu saja, pembangunan bendung itu tidak dapat satu lokasi, tetapi di banyak lokasi yang telah disurvei. Yang jelas, dibutuhkan sokongan lebih jauh bagi figur seperti Darsiyan.


Memberdayakan air untuk pembangkit energi, juga tidak perlu membangun bendungan besar, yang menggusur ribuan penduduk. Tetapi, cukup membangun pembangkit listrik mini bertenaga air atau mikrohidro.


Sebuah studi menunjukkan potensi pembangkit listrik tenaga air secara nasional diperkirakan sekitar 75.670 MW. Ini 19 kali lebih besar dari kapasitas energi yang dihasilkan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir Muria yang kontroversial itu.

Tentu saja, keberlanjutan pembangunan sumber daya air sangat tergantung keberadaan hutan di hulu sungai. Departemen PU telah memperkenalkan pengelolaan partisipatif pada DAS Keduang di Kabupaten Wonogiri, dengan mengarahkan tanggungjawab sosial perusahaan untuk ikut mengonversi hutan. Pengelolaan itu, patut diperluas ke DAS lain.


Dan, ketika tiga masalah terkrusial di dunia makin mengemuka, Indonesia seharusnya dapat mengatasinya karena kaya air. Namun, untuk memperkuat keunggulan di sumber daya air tidak cukup dengan proyek besar semata.


Tetapi, harus rajin melihat praktek penggelolaan sumber daya air yang murah tetapi berdaya guna, agar pembangunan sumber daya air berlangsung simultan di berbagai pelosok negeri….

Read More..