Wednesday, July 23, 2008

IRIGASI
Harus Cerdas Mengelola Air….

"Every man is the architect of his own fortune,” – kutipan dari Appius Claudius Caecus (300 tahun Sebelum Masehi), arsitek Aqua Appia, kanal air minum buatan bagi penduduk kota Roma.

“Indonesia merupakan negara nomor lima terbesar di dunia dalam ketersediaan air per kapita,” kata Menteri Pekerjaan Umum Djoko Kirmanto, Senin (21/6) di Madrid, Spanyol. Menteri PU memaparkan karunia alam, yang tidak dimaksimalkan pemanfaatannya oleh bangsa Indonesia.

Oleh Haryo Damardono,
dari Zaragoza, Spanyol

Segenap pengusaha terkemuka Spanyol, yang mendengarkan pemaparan Menteri PU di Gedung Confederacion Espanola De Organizaciones Empresariales (semacam Kamar Dagang Indonesia) terkesima lalu mengerutkan dahi.

Di Spanyol, urusan air sudah tuntas, maka mereka mengincar investasi di negara lain. Adapun Indonesia memang tercatat mempunyai sumber daya air 3,22 triliun meter kubik per tahun, setara ketersediaan air per kapita sebesar 16.800 meter kubik per tahun.




Padahal, pengelolaan air yang baik dapat menyelesaikan tiga masalah terkrusial dunia, yakni pangan, energi, dan air. Manusia dapat campur tangan dalam daur hidrologi, dengan membangun waduk, untuk meningkatkan produktivitas tanaman pangan, dan menggerakkan pembangkit tenaga listrik.




Dr Andrew Benedek, ilmuwan Hongaria yang diganjar Lee Kuan Yew Prize 2008 pun menegaskan, keterkaitan pemenuhan kebutuhan energi, air, dan pangan. Bila satu jenis kebutuhan itu terpenuhi, demikian pula dengan kebutuhan lain.


Fakta mempertontonkan, pemanfaatan air di Indonesia sangat buruk. Meski kaya cadangan air, Indonesia didera kekeringan pada lahan pertanian, dan minimnya layanan air minum. Di perkotaan, jaringan air minum hanya menjangkau 40 persen penduduk.


Sebaliknya di Spanyol, meski hujan jarang turun dan pepohonan relatif jarang, namun sempurnanya sistem irigasi dan pengolahan air minum membuat kebutuhan air tercukupi. Sistem irigasi bahkan sudah terkomputerarisasi sehingga pembagian air lebih adil. Tidak ada cerita, petani menggergaji gembok pintu air.

Konsep Serupa
Di Zaragoza, ibukota provinsi Aragon, Spanyol, digelar Ekspo Dunia 2008 bertema Air dan Pembangunan Berkelanjutan, sejak 14 Juni hingga 14 September 2008. Dalam Ekspo tersebut, semua pembicaraan melulu terarah pada pengelolaan air.




“Lihat, konsep pengelolaan air di Indonesia, ternyata sudah sama seperti di Spanyol,” kata Direktur Jenderal Sumber Daya Air Departemen PU Iwan Nursyirwan Diar, saat meninjau paviliun Spanyol.


Bila Indonesia membagi pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) dengan Balai-balai Besar Wilayah Sungai, Spanyol membagi DAS dalam distrik hidrologi. Jadi, pengembangan suatu DAS tidak dibatasi wilayah administrasi seperti provinsi atau negara bagian, melainkan sebagai suatu kesatuan aliran sungai beserta anak-anak sungai.


Meski demikian, bila salah satu DAS utama di Indonesia yakni DAS Bengawan Solo melayani 27.000 hektar sawah irigasi teknis (Jawa Tengah) dan 70.000 hektar sawah irigasi teknis (Jawa Timur), maka layanan distrik hidrologi Spanyol terbilang luar biasa.


Untuk menjamin ketersediaan air, misalnya dibangun 154 bendungan di distrik hidrologi Guadiana saja. Tidak heran, distrik hidrologi Guadiana (satu dari lima sungai utama di Spanyol), melayani 1,05 juta hektar sawah irigasi, dengan 68 jenis tanaman pangan.

Jaringan irigasi waduk di Spanyol, tidak hanya mengalir air melalui kanal-kanal di permukaan tanah, tetapi juga dibawah tanah melalui pipa-pipa. Air dari bawah tanah, langsung menyirami tanaman seperti zaitun dan anggur, lewat keran atau sprinkle.


Keberadaan waduk, memang dibutuhkan bagi ketersediaan air sawah, serta air baku untuk air minum. Di Indonesia, sebagai contoh, hanya 800.000 hektar dari 7,2 juta hektar sawah berjaringan irigasi, yang ketersediaan airnya dijamin waduk.


Bicara soal pembangunan waduk, untuk negara dengan ketersediaan air sangat tinggi, Indonesia sangat tertinggal. Hingga 2008, baru dibangun sekitar 200 waduk, dimana 122 bendungan diantaranya merupakan bendungan besar, dengan tinggi 15 meter dan volume tampung lebih dari 500.000 meter kubik.




Bandingkan, dengan Amerika dengan 6.000 bendungan, 3.000 bendungan di Jepang, 1.500 bendungan di India, dan 20.000 bendungan di China. Andai Menteri PU Republik Rakyat China sehari meresmikan satu bendungan, dibutuhkan 54,5 tahun! Yang jelas, Menteri PU China tidak menghabiskan waktunya sekedar meresmikan bendungan.


“Untuk pembangunan waduk, tanggungjawab di pemerintah. Jadi, bila dana pemerintah tidak mencukupi, dicarikan pinjaman luar negeri. Untuk pengolahan air minum, baru kita membuka investasi,” ujar Djoko Kirmanto, dengan wajah berseri-seri seusai pertemuan di Madrid itu.


Javier Sierra selaku Direktur perusahaan Grupo Cobra, Carlos Martinez dari perusahaan Isofon, dan wakil-wakil perusahaan terkemuka Spanyol, memang menjanjikan investasi sektor air. Dari bidang pendidikan dan rumah sakit, tampaknya arah investasi dan bantuan Spanyol ke Indonesia juga difokuskan di sumber daya air.

Kemampuan Indonesia
Apakah Indonesia tidak cukup ahli mengelola air, sehingga harus berpaling ke Spanyol? “Saya yakin ada orang Indonesia yang cukup ahli. Tetapi, kita butuh teknologi yang segera mungkin dapat diterapkan, tidak lagi dicoba-coba,” ujar Djoko Kirmanto.


Bila investasi sumber daya air dari Spanyol, atau negara lain terwujud, sudah sepatutnya diapresiasi positif. Meski demikian, pemerintah tidak dapat hanya memfokuskan diri pada proyek besar semata. Pemerintah harus lebih cerdas dalam mencari terobosan-terobosan pengelolaan air.


Di Sungai Sulo, Kabupaten Kendal, ada Kepala Desa bernama Darsiyan yang memimpin warga membangun bendung untuk mengairi 35 hektar sawah baru dengan dana patungan Rp 20 juta. Bandingkan dengan Bendungan Kedung Brubus, di Kabupaten Madiun, yang diresmikan bulan lalu. Bendungan berbiaya Rp 69,3 miliar, menyuplai kebutuhan air bagi 500 hektar sawah irigasi baru.

Dengan hitungan kasar saja, bila Rp 20 juta setara 35 hektar sawah baru, seharusnya Rp 69,3 miliar dapat mencetak 121.500 hektar sawah baru. Tentu saja, pembangunan bendung itu tidak dapat satu lokasi, tetapi di banyak lokasi yang telah disurvei. Yang jelas, dibutuhkan sokongan lebih jauh bagi figur seperti Darsiyan.


Memberdayakan air untuk pembangkit energi, juga tidak perlu membangun bendungan besar, yang menggusur ribuan penduduk. Tetapi, cukup membangun pembangkit listrik mini bertenaga air atau mikrohidro.


Sebuah studi menunjukkan potensi pembangkit listrik tenaga air secara nasional diperkirakan sekitar 75.670 MW. Ini 19 kali lebih besar dari kapasitas energi yang dihasilkan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir Muria yang kontroversial itu.

Tentu saja, keberlanjutan pembangunan sumber daya air sangat tergantung keberadaan hutan di hulu sungai. Departemen PU telah memperkenalkan pengelolaan partisipatif pada DAS Keduang di Kabupaten Wonogiri, dengan mengarahkan tanggungjawab sosial perusahaan untuk ikut mengonversi hutan. Pengelolaan itu, patut diperluas ke DAS lain.


Dan, ketika tiga masalah terkrusial di dunia makin mengemuka, Indonesia seharusnya dapat mengatasinya karena kaya air. Namun, untuk memperkuat keunggulan di sumber daya air tidak cukup dengan proyek besar semata.


Tetapi, harus rajin melihat praktek penggelolaan sumber daya air yang murah tetapi berdaya guna, agar pembangunan sumber daya air berlangsung simultan di berbagai pelosok negeri….

No comments: