Kertas Dari Rumput Laut, Mengapa Tidak?
Oleh Haryo Damardono
“No more cutting trees for paper, tidak ada lagi penebangan pohon untuk membuat kertas. Kami akan produksi kertas dari rumput laut merah,” ujar You Churl H, asal Korea Selatan, dengan mimik muka serius.
Perjumpaan sekaligus perkenalan dengan You, terjadi tidak sengaja. Ketika speedboat kami, Kamis (3/5) berpapasan di perairan Nusa (pulau) Lembongan, Bali (sekitar 45 menit ber-speedboat dari pantai Sanur).
Kala itu, You bersiap menyelam untuk ambil sampel rumput laut, di perairan berkedalaman lima meter. Sementara kami berhenti sejenak, melihat rumput laut dari permukaan perairan Nusa Lembongan yang jernih.
Malam harinya, di sebuah hotel di Kuta, You, lelaki tambun berpotongan rambut crew-cut itu menyodorkan secarik kertas. Kertas itu putih bersih. Ketika diraba permukaannya halus, seperti kertas mahal, yang dipakai majalah Time.
You berpendidikan sastra. Sebelum menggeluti rumput laut merah, dia punya perusahaan perangkat lunak. Namun tiga tahun lalu, ketika agar-agar yang akan disantapnya sebagai bagian diet jatuh di lantai dapur, orientasi hidupnya berubah.
”Saya lihat ceceran agar-agar itu, mirip bubuk kertas. Mengapa tidak dibuat kertas?” tandasnya. Dia hubungi berbagai instansi dan peneliti. Beruntung, You hidup di negara dengan pemerintah yang dukung inovasi, sehingga dibantu penuh dengan arahan para ahli.
Kini Hak Paten atas namanya, tentang proses produksi kertas dari rumput laut merah (Gelidium amansii dan Pterocladia lucida) terdaftar di Korea dan Amerika sejak 2003. Dia masih menunggu paten serupa di 45 negara, termasuk paten dari Indonesia.
Proses pembuatan kertas dari rumput laut, tidak berbeda dari pembuatan kertas dari kayu. Ada lima proses pokok, yakni (1) Penyiapan bahan baku; (2) Pemasakan rumput laut; (3) Ekstraksi rumput laut; (4) Pemutihan; dan (5) Pencetakan.
Secara runtut, proses produksi dimulai dari panen rumput laut merah, kemudian dijemur, dibersihkan, dan dipotong-potong. Lalu dimasukan dalam tungku dan dimasak pada suhu tinggi (boiling), sehingga keluar ekstrak ”inti” berupa agar untuk pangan.
Ampas rumput laut—yang telah diambil agarnya—kemudian diputihkan (bleaching) lalu dihancurkan jadi bubur rumput laut merah (pulp). Bubur inilah yang kemudian diolah jadi kertas.
Bila dibandingkan, proses produksi kertas dari kayu, sarat bahan kimia seperti NaOH dan Na2S (untuk memisahkan serat selulosa dari bahan organik). Dan, berefek gas berbau mengandung hidrogen sulfida (H2S), methyl mercaptan (CH3SH), dimethyl sulphide (CH3SH3), dimethyl disulphide (CH3S2CH3), dan sulphur compound gas.
Akibatnya, operasional pabrik kertas berbahan baku kayu hampir selalu berbenturan dengan kepentingan lingkungan hidup. Tahun 2003 misalnya, pergolakan sosial bahkan terjadi di Sumatera Utara, melibatkan pabrik pulp dan komunitas masyarakat setempat.
Sementara pengolahan produksi kertas dari rumput laut, diproses nyaris tanpa bahan kimia selain pemutihan dengan klorin. Dan yang terpenting, menurut You, hampir tidak ada limbah yang keluar, sehingga tidak berdampak bagi kesehatan.
Apakah You sekedar berteori? Tidak! Tahun 2004, di laboratorium produk kehutanan Universitas National Chungnam Korea, You telah membuat bubur rumput laut. Kemudian dia buktikan mampu produksi kertas dari bubur ampas rumput laut, dengan menyewa pabrik kertas.
Kunci sukses transformasi rumput laut jadi kertas, adalah ditemukannya serat atau fiber. Bila kayu mengandung serat selulosa, rumput laut mengandung serat agalosa selebar 3-7 mikrometer dan panjang 0,5-1 milimeter, dengan fleksibilitas tinggi, tiada jejak lignin, dan mengandung substansi perekat cair.
Yang menarik, dari penelitian mikroskop terlihat ukuran dan bentuk serat agalosa lebih homogen, tidak seperti serat selulosa yang bulat, lonjong, atau pipih. Homogenitas ini, membuat kualitas kertas lebih baik, lebih fleksibel, lebih halus, lebih mudah ditulisi, bahkan dapat digunakan sebagai kertas foto.
Pertumbuhan massa rumput laut merah luar biasa, yakni 5-10 persen sehari. Dan dengan masa panen 70 hari, pertumbuhan tersebut sangat pesat dibanding pohon sebagai bahan baku konvensional kayu, yang baru dapat dipotong setelah 15 tahun.
”Selain untuk kertas konvensional sebagai sarana tulis, kertas ini juga baik untuk kertas rokok sebab kandungan racunnya sedikit. Ini warta gembira bagi perokok,” ujar peneliti kelautan Universitas Sam Ratulangi Dr Grevo S Gerung, yang mendampingi You selama di Indonesia.
Di Korea, tiap lembar kertas rokok yang mereka impor dari Eropa, mengandung . 40 komponen racun, sementara kertas rumput laut merah setelah diuji hanya mengandung 17 komponen racun.
”Kertas ini bukan saja dapat dipakai untuk kertas rokok, tapi berpeluang dipakai untuk kemasan makanan cepat saji seperti Kentucky Fried Chicken,” tandas Dr Grevo. Kemasan kertas, makin berpeluang dipakai di Amerika, yang melarang penggunakan plastik jadi kemasan karena sulit didaur-ulang alam.
“Bila kertas dari rumput laut merah dapat diproduksi massal, maka hutan-hutan di dunia dapat diselamatkan. Dampak positif pencegahan penebangan pohon adalah meminimalisir pemanasan global,” ujar You persuasif.
Menyelamatkan hutan, tinggi nilainya. Sebab terkait mempertahankan kualitas air, kualitas udara, dan mencegah pencairan dataran es di dua kutub dunia yang dapat menenggelamkan pesisir di berbagai penjuru dunia.
Selain kabar positif bagi kelestarian dunia, posibilitas penggunaan rumput laut merah bagi bahan baku kertas, juga akan disambut baik industri kertas yang dapat memperoleh bahan baku alternatif diluar bahan baku kayu, yang harganya naik terus.
Negeri Kepulauan Yang Lupa Jati Diri....
Kini di dunia, hanya dua negara yang menyisakan hamparan hutan terbesar, yakni Brazil dan Indonesia. Brazil punya hamparan hutan terluas yang berada di Cekungan Amazon, sementara Indonesia di Kalimantan dan Papua.
”Beberapa tahun mendatang, ketika Brazil selesai membangun highway menembus Amazone, luasan hutan menyusut. Kayu sebagai bahan baku kertas pun menipis,” tandas You.
National Geographic, Januari 2007, yang menurunkan laporan ”Serpihan Terakhir Amazon”, menunjukkan Trans-Amazon Highway dan jalan BR-163 sepanjang 1.770 kilometer dari Mato Gross ke Santarem di Para, perlahan hancurkan hutan Amazon seluas 477,698 juta hektar (2005) dengan laju 3,1 juta ha per tahun.
Bagaimana di Indonesia? Dengan luas hutan 120 juta hektar, Departemen Kehutanan memetakan periode 2000-2005, angka deforestasi hutan Indonesia sebesar 1,18 juta hektar. Memang angka deforestasi lebih rendah dari Brazil, tapi luasan hutan kita lebih kecil
Hutan terus terdegradasi. Tapi kita sering lupa, Indonesia tidak hanya hutan. Mantan presiden Abdurrahman Wahid, menegaskan lautan Indonesia lebih luas, dan hanya orang yang tidak dapat baca peta yang lupa.
Melalui Deklarasi Djoeanda, laut Indonesia sangat luas, yaitu 5,8 juta km persegi, yang merupakan tiga per empat luas Indonesia. Terdapat lebih 17.500 pulau dan dikelilingi 81.000 km garis pantai, sebagai garis pantai terpanjang kedua di dunia.
“Laut Indonesia luas, beriklim tropis sehingga rumput laut tumbuh dan dipanen sepanjang tahun. Karena itu, saya datang,” ujar You masih dengan mimik serius. Dia memperlihatkan peta Google Arts di laptop. Memperbesar citra bola dunia jadi Indonesia, jadi Bali, lalu jadi Nusa Lembongan.
Tampak bangunan di Nusa Lembongan, yakni rumah, kantor, hingga bungalows. Hebatnya, dari citra yang diolah jadi tiga dimensi, terlihat budidaya rumput laut di pesisir hingga kedalaman 10 meter yang dibidiknya untuk dijadikan ladang rumput laut merah.
You orang Korea, tapi berkat teknologi, malam itu dia menggurui Kompas tentang potensi lahan pesisir Indonesia. Kompas pun menduga—lagi-lagi berkat teknologi—You telah “memata-matai” potensi Indonesia sebelum menginjakkan kaki di negeri ini.
Vietnam, Thailand, China, Jepang, Filipina, Meksiko, Amerika, dan Australia, ternyata telah disambangi You, tetapi Indonesia lokasi budidaya terluas, dengan kondisi iklim terbaik bagi perkembangan rumpur laut merah.
“Negara ini berpotensi besar, tapi belum digarap. Tidak kurang 120.000 hektar, dapat dibuat ladang rumput laut,” ujar You. Untuk pertama kali dia tertawa, setelah mengatakan potensi lahan rumput laut Indonesia, setara luas seluruh Korea yang sekitar 120.000 km persegi.
Direktur Jenderal Perikanan Budidaya Departemen Kelautan dan Perikanan, Made Nurjana ditemui terpisah di Kuta, Bali, mengoreksi You. Made katakan lahan rumput laut 120.000 hektar, merupakan data usang.
“Saya yakin potensinya lebih besar, sebab rumput laut dapat hidup di Karawang dan Pelabuhan Ratu,” ujar Made dengan gaya bicaranya yang selalu berapi-api. Apa artinya bila rumput laut hidup di Karawang dan Pelabuhan Ratu?
Dia jelaskan dua syarat lokasi budidaya, yakni air laut bersih dan tenang, digugurkan keberhasilan di Karawang yang berair kotor dan di Pelabuhan Ratu yang berombak ganas. Sehingga Made yakin, potensi lahan jauh lebih besar.
Secara umum, budidaya rumput laut dikerjakan pada perairan berkedalaman 5-15 meter, dengan tingkat keasaman 6 sampai 9 pH, dengan suhu air sekitar 20-28 derajat Celcius.
You dan koleganya, Dr Grevo dari Universitas Sam Ratulangi bukan saja cari lokasi budidaya, mereka pun cari spesies rumput laut terunggul di Indonesia, sehingga produksinya maksimal.
”Kami masih cari spesies rumput laut merah lainnya. Kami yakin ada yang pertumbuhan massanya lebih besar, pernah ketemu tapi mati,” tandas Dr Grevo. Kini, Dr Grevo dan You pun mondar-mandir di perairan Bali dan Lombok, cari spesies unggul itu.
Di Korea sebenarnya ada rumput laut merah Gelidium amansii. Namun karena Korea sub-tropis, maka panen rumput laut hanya dua bulan yakni Mei-Juni. Sementara di Indonesia, rumput laut merah Pterocladia lucida dapat panen sepanjang tahun.
Sejak Oktober 2006 masyarakat Nusa Lembongan dilibatkan membudidayakan Pterocladia lucida, sedangkan di Lombok mulai Februari 2007. Lokasi itu dipilih, karena masyarakat setempat terbiasa tanam rumput laut, meski jenis cotonii yang tidak berserat.
Ketika tahun depan You bangun pabrik kertas percontohan di Bali, diharapkan bahan baku datang dari dua lokasi itu. Berapa investasi untuk pabrik itu? You tersenyum simpul, menunjukkan foto putera seorang taipan ternama Indonesia. Dikatakannya, putera sang taipan akan danai usaha You, meski You berpesan untuk merahasiakan namanya.
Negara Kepulauan ini, memang lupa jati dirinya. Kita yang mengaku bernenek-moyang pelaut lalai sehingga You—pria Korea itu—yang pegang paten atas produksi kertas dari rumput laut yang tumbuh subur di perairan negeri ini—perairan yang selama ini, kita ”belakangi” akibat lenyapnya visi kelautan.
foto: Haryo Damardono (Canon 350D)
Wednesday, July 25, 2007
Diposting oleh haryo98 di 5:35 AM 5 komentar
Saturday, July 21, 2007
Wayang Gantung Singkawang, Di Ambang Senja
Oleh Haryo Damardono
Gonggongan anjing riuh rendah menghalangi langkah mendekati kuil tua itu. Tanpa adanya penghuni kuil yang kebetulan bepergian, bukan mustahil kami dikoyak anjing penjaga boneka-boneka wayang gantung Singkawang.
Oleh Haryo Damardono
Gonggongan anjing riuh rendah menghalangi langkah mendekati kuil tua itu. Tanpa adanya penghuni kuil yang kebetulan bepergian, bukan mustahil kami dikoyak anjing penjaga boneka-boneka wayang gantung Singkawang.
Demikianlah, pupus harapan melihat lagi boneka wayang gantung Singkawang. Di kuil tua itu dalam kotak kayunya, boneka-boneka wayang gantung selama 30 tahun lebih, pernah disembunyikan karena rezim Orde Baru mengebiri kebudayaan Tionghoa.
Untung, di Gedung Olahraga Pangsuma, Pontianak (terpisah 180 km dari Singkawang), kami telah lihat pertunjukkan wayang gantung itu. Kami terkesima meski tidak mengerti jalan ceritanya, sebab dalang bicara bahasa China dialek Kek.
“Wayang gantung dibawa ke Singkawang dari China daratan tahun 1929. Pertama kali dibawa kakek saya, A Jong. Dia cari uang dari pagelaran keliling wayang gantung,” kata generasi ketiga dalang wayang gantung, Chin Nen Sin, yang usianya di penghujung 60 tahun.
Di Desa Lirang, Singkawang Selatan, di kediamannya yang sederhana kami berbincang dengan Chin Nen Sin. Percakapan dibantu A Hui, kerabat dekat Chin Nen, yang menerjemahkan ucapan Chin Nen dari bahasa Kek. Dialek China Kek-lah, yang digunakan di Kalimantan Barat, bukan Mandarin.
Kediaman Chin Nen Sin, hanya 200 meter dari kuil tua itu. “Mirip di Jawa,” ujar teman perjalanan, penulis lepas Muhlis Suhaeri. Kediaman Chin Nen dikelilingi sawah dan kebon palawija, dinaungi bebukitan Singkawang. Ketika itu, udara sejuk karena hujan baru reda.
Kami makan ubi, hasil kebon Chin Nen, suguhan yang jarang ditemui bila bertamu di kediaman warga Tionghoa di Jakarta. Tapi di Singkawang, bertani adalah hal biasa bagi warga keturunan Tionghoa. Mereka bahkan bukan petani kaya, tetapi petani gurem.
Bila tidak memainkan wayang gantung atau musik kecapi, Chin Nen memang beralih jadi petani. Kebutuhan air sawah terjamin, sebab di bukit dibelakang kediaman Chin Nen, ada mata air. Terkadang, Chin Nen membuat lampion lalu dijualnya.
“Alur cerita wayang gantung, dibawa dari China. Ada cerita kesatria, ada pula cerita percintaan. Kebanyakan cerita klasik, berdasar penuturan para tetua atau didongengkan dari ibu ke anak,” ujar Chin Nen.
Bila main di Toapekong, pada perayaan ulang tahun dewa atau panglima perang, biasanya tuan rumah minta cerita klasik. Sebaliknya, di ulang tahun perkumpulan tertentu barulah disajikan cerita yang “ringan” sesuai keseharian.
Kini sesuai permintaan, cerita dimodifikasi. Kisah kehidupan rumah tangga maupun percintaan berlatar lokasi di Singkawang dinilai mengena. Ini mirip kesenian wayang kulit yang agar menarik penonton mengadopsi campur sari. Wayang gantung pun terkadang menampilkan biduanita yang menyanyikan lagu-lagu mandarin.
Modifikasi cerita wayang gantung, sesungguhnya mereduksi makna positif berbagai kisah. Sebab kisah China klasik mengandung nilai-nilai Taoisme, falsafah Konfusisme—yang dikenal sebagai nilai kebijaksanaan. Modifikasi apalagi kematian wayang gantung, dapat menyebabkan “terlepasnya” generasi muda Tionghoa dari ajaran yang arif.
Menurut Chin Nen, harus diakui penggemar wayang gantung kini sangat berkurang. Paling tersisa generasi tua. Saat Imlek atau Cap Go Meh, ketika orang China Singkawang dari seluruh dunia pulang kampung, barulah permintaan pertunjukkan melonjak.
“Kebanyakan yang minta pertunjukkan orang-orang tua, yang sudah bungkuk-bungkuk dan pakai tongkat. Mereka itu tinggal di Jakarta dan kota-kota lain. Ketika pulang, lalu rindu masa kecil mereka,” kata Chin Nen.
Mengapa generasi muda tidak lagi suka wayang gantung? Alasan utama, budaya pop China daratan maupun Hong Kong dinilai lebih keren. Lalu, tekanan rezim Orde Baru selama 30-an tahun, mengalienasi budaya China dari kaumnya. Tak heran, kaum muda Singkawang, yang lahir tahun 80-an, kini tidak akrab dengan wayang gantung.
Meski saat ini terjadi reformasi budaya China, bukan saja di Singkawang tetapi di seluruh Kalbar, tetapi motor penggeraknya orang-orang tua yang mapan. Ada berbagai motivasi. Ada yang tulus, ada pula sekedar menunjukkan eksistensi di kalangan Tionghoa.
“Kami punya 30 boneka wayang, seluruhnya dari China. Entah dari kayu apa, tetapi tidak lapuk maupun dimakan rayap. Paling dicat ulang, lalu ketika bajunya koyak, kami jahit atau dibuatkan baju baru,” kata Chin Nen.
Sekali tampil—beda dengan wayang kulit yang membawa seluruh wayangnya—biasanya hanya dibawa 10 boneka, sesuai jalan cerita. Ada boneka bentuk dewa, panglima perang, bangsawan, kaum China terpelajar, maupun rakyat biasa. Ada boneka laki, ada perempuan.
Berbeda dengan wayang kulit yang dimainkan dengan memegang kayu, atau wayang Po Te Hi yang dimainkan dengan sarung tangan, ataupun wayang golek yang dimainkan dengan memegang boneka wayang, memainkan wayang gantung dilakukan dengan bantuan benang.
Bila pernah lihat cover film The Godfather—film Mafia berlokasi di New York dengan bintang Marlon Brando dan Al Pacino—maka seperti itulah wayang gantung. Boneka digantungkan-dijuntai benang yang dikaitkan di kayu, lalu digerakkan dua tangan.
Muhlis sangat tertarik dengan korelasi wayang gantung dan cover boneka gantung di cover The Godfather itu. Tapi di Singkawang, kami tak mendapat jawaban. Saya hanya dapat menerka didukung fakta buku Gavin Menzies, 1421: Saat China Menemukan Dunia, bahwa kebesaran armada laut Cheng Ho, mengenalkan budaya itu ke Eropa.
Tiada beda dengan dalang wayang kulit, yang menggelar sesajen sebelum tampil, dalang wayang gantung pun merapal mantera China kuno dibarengi mengorbankan ayam jago. Bila lalai, dikhawatirkan—dan pernah terjadi—benang kusut dan boneka sulit dikendalikan. Tak jarang, dalang kerasukan roh leluhur.
Butuh waktu 5-6 bulan, untuk mahir main wayang gantung. Butuh keahlian untuk adegan berkelahi dan barongsay. Sebab perpindahan benang bukan saja dari tangan kanan ke tangan kiri, tetapi juga persilangan tangan antardua atau lebih dalang.
Umumnya wayang gantung dimainkan 2-4 dalang. Meski demikian, satu pertunjukkan butuh 12-14 orang, sebab diperlukan pemusik maupun semacam pengatur permainan. Kebanyakan pemain adalah kerabat Chin Nen.
Sekali tampil, wayang gantung dibayar Rp 2,6 juta – Rp 3 juta. Tetapi dibagi jumlah personel, uang jadi tak banyak berarti. Padahal setahun, paling 4-6 kali wayang gantung ditanggap. Sehingga bertani, jadi mata pencarian sampingan, selain bermusik kecapi.
Sebelum pembungkaman oleh Orde Baru, pernah ada tiga perkumpulan wayang gantung di Singkawang, tetapi kini hanya satu. Selain surutnya penggemar, terhambatnya regenerasi jadi momok..
Dari sembilan anak Chin Nen (5 laki dan 4 perempuan), hanya satu puteri yang sering tampil. Amoy itu pun bermusik, bukan memainkan wayang. Rendahnya dukungan keturunan Chin Nen untuk meregenerasi seni ini, mengisyarakatkan wayang gantung Singkawang di ambang senja.
Lebih memprihatinkan, belum ada penelitian Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Pontianak tentang wayang gantung Singkawang. Buku Peta wayang di Indonesia (1993) dan Direktori Seni Pertunjukan Tradisional (1998/1999) keluaran Departemen Pariwisata, juga tidak mencantumkan kesenian wayang gantung.
Coba telusuri wayang gantung Singkawang di internet, sedikit sekali informasi tentangnya. Selain di Singkawang, wayang gantung hanya pernah pentas di Pontianak, Sambas, dan Bengkayang. Pernah di Semarang, tapi terkait peringatan laksamana China, Cheng Ho.
Sejauh ini, Dinas Pariwisata Singkawang pernah bantu Rp 3 juta, meski dirasa kurang. Pihak lain pernah tawarkan dokumentasi, tetapi hasil rekaman malah dibajak—ditransfer ke VCD lalu dijual tanpa izin ke berbagai kantung Pecinan di Kalbar.
Diposting oleh haryo98 di 12:08 AM 3 komentar
Subscribe to:
Posts (Atom)