Saturday, July 21, 2007


Wayang Gantung Singkawang, Di Ambang Senja

Oleh Haryo Damardono

Gonggongan anjing riuh rendah menghalangi langkah mendekati kuil tua itu. Tanpa adanya penghuni kuil yang kebetulan bepergian, bukan mustahil kami dikoyak anjing penjaga boneka-boneka wayang gantung Singkawang.


Demikianlah, pupus harapan melihat lagi boneka wayang gantung Singkawang. Di kuil tua itu dalam kotak kayunya, boneka-boneka wayang gantung selama 30 tahun lebih, pernah disembunyikan karena rezim Orde Baru mengebiri kebudayaan Tionghoa.


Untung, di Gedung Olahraga Pangsuma, Pontianak (terpisah 180 km dari Singkawang), kami telah lihat pertunjukkan wayang gantung itu. Kami terkesima meski tidak mengerti jalan ceritanya, sebab dalang bicara bahasa China dialek Kek.


“Wayang gantung dibawa ke Singkawang dari China daratan tahun 1929. Pertama kali dibawa kakek saya, A Jong. Dia cari uang dari pagelaran keliling wayang gantung,” kata generasi ketiga dalang wayang gantung, Chin Nen Sin, yang usianya di penghujung 60 tahun.


Di Desa Lirang, Singkawang Selatan, di kediamannya yang sederhana kami berbincang dengan Chin Nen Sin. Percakapan dibantu A Hui, kerabat dekat Chin Nen, yang menerjemahkan ucapan Chin Nen dari bahasa Kek. Dialek China Kek-lah, yang digunakan di Kalimantan Barat, bukan Mandarin.


Kediaman Chin Nen Sin, hanya 200 meter dari kuil tua itu. “Mirip di Jawa,” ujar teman perjalanan, penulis lepas Muhlis Suhaeri. Kediaman Chin Nen dikelilingi sawah dan kebon palawija, dinaungi bebukitan Singkawang. Ketika itu, udara sejuk karena hujan baru reda.


Kami makan ubi, hasil kebon Chin Nen, suguhan yang jarang ditemui bila bertamu di kediaman warga Tionghoa di Jakarta. Tapi di Singkawang, bertani adalah hal biasa bagi warga keturunan Tionghoa. Mereka bahkan bukan petani kaya, tetapi petani gurem.


Bila tidak memainkan wayang gantung atau musik kecapi, Chin Nen memang beralih jadi petani. Kebutuhan air sawah terjamin, sebab di bukit dibelakang kediaman Chin Nen, ada mata air. Terkadang, Chin Nen membuat lampion lalu dijualnya.


“Alur cerita wayang gantung, dibawa dari China. Ada cerita kesatria, ada pula cerita percintaan. Kebanyakan cerita klasik, berdasar penuturan para tetua atau didongengkan dari ibu ke anak,” ujar Chin Nen.


Bila main di Toapekong, pada perayaan ulang tahun dewa atau panglima perang, biasanya tuan rumah minta cerita klasik. Sebaliknya, di ulang tahun perkumpulan tertentu barulah disajikan cerita yang “ringan” sesuai keseharian.


Kini sesuai permintaan, cerita dimodifikasi. Kisah kehidupan rumah tangga maupun percintaan berlatar lokasi di Singkawang dinilai mengena. Ini mirip kesenian wayang kulit yang agar menarik penonton mengadopsi campur sari. Wayang gantung pun terkadang menampilkan biduanita yang menyanyikan lagu-lagu mandarin.


Modifikasi cerita wayang gantung, sesungguhnya mereduksi makna positif berbagai kisah. Sebab kisah China klasik mengandung nilai-nilai Taoisme, falsafah Konfusisme—yang dikenal sebagai nilai kebijaksanaan. Modifikasi apalagi kematian wayang gantung, dapat menyebabkan “terlepasnya” generasi muda Tionghoa dari ajaran yang arif.


Menurut Chin Nen, harus diakui penggemar wayang gantung kini sangat berkurang. Paling tersisa generasi tua. Saat Imlek atau Cap Go Meh, ketika orang China Singkawang dari seluruh dunia pulang kampung, barulah permintaan pertunjukkan melonjak.


“Kebanyakan yang minta pertunjukkan orang-orang tua, yang sudah bungkuk-bungkuk dan pakai tongkat. Mereka itu tinggal di Jakarta dan kota-kota lain. Ketika pulang, lalu rindu masa kecil mereka,” kata Chin Nen.


Mengapa generasi muda tidak lagi suka wayang gantung? Alasan utama, budaya pop China daratan maupun Hong Kong dinilai lebih keren. Lalu, tekanan rezim Orde Baru selama 30-an tahun, mengalienasi budaya China dari kaumnya. Tak heran, kaum muda Singkawang, yang lahir tahun 80-an, kini tidak akrab dengan wayang gantung.


Meski saat ini terjadi reformasi budaya China, bukan saja di Singkawang tetapi di seluruh Kalbar, tetapi motor penggeraknya orang-orang tua yang mapan. Ada berbagai motivasi. Ada yang tulus, ada pula sekedar menunjukkan eksistensi di kalangan Tionghoa.


“Kami punya 30 boneka wayang, seluruhnya dari China. Entah dari kayu apa, tetapi tidak lapuk maupun dimakan rayap. Paling dicat ulang, lalu ketika bajunya koyak, kami jahit atau dibuatkan baju baru,” kata Chin Nen.


Sekali tampil—beda dengan wayang kulit yang membawa seluruh wayangnya—biasanya hanya dibawa 10 boneka, sesuai jalan cerita. Ada boneka bentuk dewa, panglima perang, bangsawan, kaum China terpelajar, maupun rakyat biasa. Ada boneka laki, ada perempuan.


Berbeda dengan wayang kulit yang dimainkan dengan memegang kayu, atau wayang Po Te Hi yang dimainkan dengan sarung tangan, ataupun wayang golek yang dimainkan dengan memegang boneka wayang, memainkan wayang gantung dilakukan dengan bantuan benang.


Bila pernah lihat cover film The Godfather—film Mafia berlokasi di New York dengan bintang Marlon Brando dan Al Pacino—maka seperti itulah wayang gantung. Boneka digantungkan-dijuntai benang yang dikaitkan di kayu, lalu digerakkan dua tangan.


Muhlis sangat tertarik dengan korelasi wayang gantung dan cover boneka gantung di cover The Godfather itu. Tapi di Singkawang, kami tak mendapat jawaban. Saya hanya dapat menerka didukung fakta buku Gavin Menzies, 1421: Saat China Menemukan Dunia, bahwa kebesaran armada laut Cheng Ho, mengenalkan budaya itu ke Eropa.


Tiada beda dengan dalang wayang kulit, yang menggelar sesajen sebelum tampil, dalang wayang gantung pun merapal mantera China kuno dibarengi mengorbankan ayam jago. Bila lalai, dikhawatirkan—dan pernah terjadi—benang kusut dan boneka sulit dikendalikan. Tak jarang, dalang kerasukan roh leluhur.


Butuh waktu 5-6 bulan, untuk mahir main wayang gantung. Butuh keahlian untuk adegan berkelahi dan barongsay. Sebab perpindahan benang bukan saja dari tangan kanan ke tangan kiri, tetapi juga persilangan tangan antardua atau lebih dalang.


Umumnya wayang gantung dimainkan 2-4 dalang. Meski demikian, satu pertunjukkan butuh 12-14 orang, sebab diperlukan pemusik maupun semacam pengatur permainan. Kebanyakan pemain adalah kerabat Chin Nen.


Sekali tampil, wayang gantung dibayar Rp 2,6 juta – Rp 3 juta. Tetapi dibagi jumlah personel, uang jadi tak banyak berarti. Padahal setahun, paling 4-6 kali wayang gantung ditanggap. Sehingga bertani, jadi mata pencarian sampingan, selain bermusik kecapi.


Sebelum pembungkaman oleh Orde Baru, pernah ada tiga perkumpulan wayang gantung di Singkawang, tetapi kini hanya satu. Selain surutnya penggemar, terhambatnya regenerasi jadi momok..


Dari sembilan anak Chin Nen (5 laki dan 4 perempuan), hanya satu puteri yang sering tampil. Amoy itu pun bermusik, bukan memainkan wayang. Rendahnya dukungan keturunan Chin Nen untuk meregenerasi seni ini, mengisyarakatkan wayang gantung Singkawang di ambang senja.


Lebih memprihatinkan, belum ada penelitian Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Pontianak tentang wayang gantung Singkawang. Buku Peta wayang di Indonesia (1993) dan Direktori Seni Pertunjukan Tradisional (1998/1999) keluaran Departemen Pariwisata, juga tidak mencantumkan kesenian wayang gantung.


Coba telusuri wayang gantung Singkawang di internet, sedikit sekali informasi tentangnya. Selain di Singkawang, wayang gantung hanya pernah pentas di Pontianak, Sambas, dan Bengkayang. Pernah di Semarang, tapi terkait peringatan laksamana China, Cheng Ho.


Sejauh ini, Dinas Pariwisata Singkawang pernah bantu Rp 3 juta, meski dirasa kurang. Pihak lain pernah tawarkan dokumentasi, tetapi hasil rekaman malah dibajak—ditransfer ke VCD lalu dijual tanpa izin ke berbagai kantung Pecinan di Kalbar.

3 comments:

zhz45 said...

salam rindu...ceile
asyik yo tulisannya...aku sampe terharu hik hik..but it's true man..kapan k pontianak lagi
(zoel HZ-Borneo Tribune)

Anonymous said...

Mas, aku bisa minta alamatnya dalang yang main wayang gantung ga? aku tertarik neh sama wayang gantung. thanks


Liu, POntianak

Unknown said...

Sy uda di singkawang tp susa cari nya? Apa ada org yg bisa di hubungi ya?