Monday, November 20, 2006

Kabupaten Kapuas Hulu, Menunggu Limpahan Turis dari Serawak….

Penat. Membayangkan harus menempuh perjalanan pulang sejauh 700 kilometer dari Putussibau, ibukota Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat, menuju Pontianak. Dalam kondisi normal saja, perjalanan darat antarkedua kota itu harus ditempuh 18 jam karena rusaknya jalan.

Harapan dapat pulang dengan pesawat terbang, yang biasanya menempuh Putussibau-Pontianak selama satu jam harus kandas, karena ketidakjelasan penerbangan. Padahal, sebelumnya rute ini dilayani Air Mandiri (mencarter Merpati dan Dirgantara Air Service (DAS).

“Pesawat yang biasanya memang sedang diperbaiki di Singapura, karena itu sementara ini tidak ada penerbangan. Tapi nanti pasti terlayani lagi,” ujar Bupati Kapuas Hulu, Abang Tambul Husin, saat ditemui di Putussibau, pertengahan Maret.

Bila salah satu ukuran kemajuan suatu daerah adalah sarana perhubungan, maka sesungguhnya Kapuas Hulu—sebagai kabupaten tertimur Kalbar, saat ini sedang mengalami kemunduran. Ketika daerah lain berhasrat terlayani penerbangan reguler, penerbangan di Kapuas Hulu seolah antara ada dan tiada.

Seorang Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Kabupaten Kapuas Hulu, membisikkan bahwa alasan jarangnya penerbangan ke Putussibau, karena maskapai bersangkutan terancam bangkrut.

Dengan tarif Pontianak-Putussibau lebih dari Rp 500.000 per orang (lebih mahal dari Pontianak-Jakarta), maka konsumen biasanya hanya menggunakan rute penerbangan Putussibau-Pontianak dan ketika pulang memilih menggunakan bus dengan tarif lebih murah yakni hanya Rp 180.000 per orang.

Lantas, bagaimana dengan turis mancanegara maupun asing? Sangat jelas mereka enggan terantuk-antuk selama 18 jam. Padahal, dengan luas Kapuas Hulu mencapai 2,98 juta hektar, dimana 56 persen diantaranya Taman Nasional dan Hutan Lindung, diharapkan wisata
ekoturisme mampu menambah pendapatan asli daerah.

“Turis akan tetap datang, tapi menurut pertimbangan kami akan datang dari Kuching, Serawak, Malaysia. Mereka dapat melalui ruas Badau-Putussibau sejauh 177 kilometer yang kini pengaspalannya terus dilakukan,” ujar Abang Tambul Husin.

Dalam pengamatan Kompas, pemerintah Negara Bagian Serawak-Malaysia kini sedang membangun jalan menuju perbatasan Badau, di Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat. Jalan ini nantinya akan menghubungkan Lubuk Antu di Serawak dengan Putussibau, ibukota Kabupaten Kapuas Hulu.

Jalan baru empat lajur sepanjang sekitar 10 kilometer yang dibangun Serawak tersebut menembus perkebunan sawit milik Malaysia, hingga tepat di Pos Pemeriksaan Lintas Batas (PPLB) Badau.

“Pos Lintas Batas Badau akan dibuka tahun 2007, tapi kami optimis pengerjaannya selesai 2006 ini. Kami juga sedang menunggu pengerjaan Pos Lintas Batas Serawak, hingga nantinya ini menjadi Pos Lintas Batas kedua,” kata Gubernur Kalimantan Barat, Usman Jaffar, di Badau.

Usman Jaffar mengatakan PPLB Badau akan menjadi PPLB kedua yang dibuka setelah PPLB Entikong di Kabupaten Sanggau tahun 1991. Setelah pembukaan PPLB Badau, akan menyusul pembukaan PPLB Sajingan di Kabupaten Sambas dan PPLB Jagoi Babang di
Bengkayang.

Kini, PPLB Badau memang menjadi harapan masyarakat Kapuas Hulu—yang selama ini dapat masuk Serawak dengan surat keterangan Camat Badau—setidaknya menjadi harapan Bupati Kapuas Hulu.

Bahkan, Bupati Kapuas Hulu Abang Tambul Husin, mengatakan pembukaan PPLB berpeluang meningkatkan perekonomian Kapuas Hulu, yang terlalu jauh dari Pontianak. Jarak dari Kuching-Lubuk Antu-Putussibau sekitar 460 kilometer, bandingkan jarak Pontianak-Putussibau sekitar 750 kilometer.

Pernyataan Kapuas Hulu merupakan Kabupaten Konservasi dengan dua Taman Nasional yang mampu memikat turis, memang terus saja didengung-dengungkan. Meski tersirat bahwa Kapuas Hulu tidak lain, hanya menunggu limpahan turis dari Serawak!

Permasalahannya, apakah pembukaan PPLB Badau akan secara signifikan meningkatkan arus wisatawan menuju Kapuas Hulu. Apalagi, sarana dan prasarana wisata nyaris tidak dimiliki kabupaten ini.

Kemudian terdapat sederetan masalah yang harus diselesaikan dengan merevolusi alam berpikir dan bertindak di Kapuas Hulu. Masalah bersama yang harus diselesaikan secara tanggung-renteng oleh negara maupun masyarakat.

Masalah infrastruktur buruk, misalnya adalah masalah klasik yang tergantung anggaran negara maupun daerah. Tapi, keramahan yang kurang dan penegakan hukum yang lemah, memang menjadi hal yang patut dibenahi.

Padahal, ketika harus membandingkan, alam Serawak-Malaysia kalah indah dengan pesona alam di Kapuas Hulu. Apalagi, alam Serawak kini memang hanya didominasi perkebunan sawit.
***

Pertengahan Maret 2006, Kompas menginap di Hotel Hilton Batang Ai, Lubuk Antu, Serawak-Malaysia. Hotel yang dapat ditempuh hanya 20 menit dari perbatasan Serawak-Indonesia ini, dipadati wisatawan mancanegara dari Eropa.

Berkonsep long-house (rumah panjang)—arsitektur khas Dayak, hotel ini mengisolasikan para tamu di tepian Waduk Batang Air, bahkan bangunan utama hotel hanya dapat ditempuh dengan long boat selama 20 menit dari parkiran hotel.

Dua hal utama yang patut digarisbawahi, yakni tarif hotel yang murah bahkan bila dibandingkan Hotel Santika Pontianak, dan kegiatan out-door bagi turis yang diorganisir sangat profesional.

Mulai dari berjalan melihat senja, kayak di waduk Batang Ai yang dijadikan Pembangkit Listrik Tenaga Air, menyusuri sungai, memancing, hingga eksibishi sumpit, telah diatur dalam jadwal hotel. Tentunya, tiap paket outdoor dinilai dengan ringgit, yang berarti pemasukan tambahan bagi hotel.

Ketika sarapan pada pukul 07.00 waktu setempat, teramati beberapa pemuda Lubuk Antu berperilaku sopan, telah siap mengantar turis—yang seluruhnya memakai pakaian berbahan khaki warna cokelat muda. Sungguh, dalam hal pariwisata Serawak telah siap.

Bagaimana dengan kesiapan pariwisata di Kapuas Hulu? Kiranya, jauh dari sempurna. Hal utama diluar infrastruktur yang diperkirakan dituntaskan pengerjaannya tahun 2007—adalah ketiadaan standarisasi.

Tanpa standarisasi harga dan pelayanan, jangan harap Kapuas Hulu dilirik wisatawan asing. Karena mereka sangat berhitung dan cermat dalam melakukan penghitungan biaya perjalanan.

Sugeng Hendratno dari Masyarakat Pariwisata Indonesia (MPI) Kalbar, juga mengeluhkan ketidakprofesionalan guide lokal dalam pengalamannya menembuh belantara Putussibau.

“Seringkali, para pemandu lokal merubah harga dengan tiba-tiba di tengah hutan. Kalau tidak dipenuhi, mereka dapat saja pergi dengan seenaknya. Ini tentu pengalaman yang mencoreng pariwisata Indonesia dimata turis asing,” tandas Sugeng.

Jangan dibandingkan dengan sarana hotel di Kapuas Hulu, jauh dari memuaskan. Satu-
satunya hotel representatif di Putussibau, bahkan air di kamar mandi sering mati, dan pelayan restoran tidak dapat menjelaskan jenis ikan yang disajikan terkecuali hanya menyebutkan: ikan sungai!


Dan, yang paling menakutkan bagi wisatawan asing di Kapuas Hulu adalah perilaku mengemudi para sopir bus yang melaju hingga 100 km/ jam di ruas berkerikil (gravel). Seorang Kanada, bernama Tim Johnson, yang bersama Kompas melancong ke Putussibau pernah mengeluhkan hal ini.

Tahun depan, ketika infrastruktur sudah tuntas. Harusnya, Sumber Daya Manusia Kapuas Hulu sudah siap untuk menerima limpahan wisatawan dari Serawak. Bila tidak, kemajuan pariwisata di Kapuas Hulu, lagi-lagi hanya dapat dimimpikan.

Mendapat “limpahan” turis saja, lagi-lagi masih dimimpikan….

(HARYO DAMARDONO)

1 comment:

Anonymous said...

http://www.facebook.com/groups.php?ref=sb#/group.php?gid=83635829696