Monday, November 20, 2006

Meriam Karbit Pontianak Kehilangan Makna….

Alkisah, menjelang subuh 14 Rajab 1184 Hijriah (23 Oktober 1771), pendiri Kota Pontianak, Syarif Abdurrahman sampai di persimpangan Sungai Kapuas dan Landak Setelah delapan hari menebas pohon di kawasan itu, beliau membangun rumah dan balai.

Tilas bangunan pertama di Pontianak, kini berdiri Masjid Jami dan Keraton Pontianak. Di pertemuan kedua sungai, berdiri kampung tertua yakni Kampung Beting. Dan sejak 1771, Kota Pontianak berkembang hingga detik ini.

Mengapa permukiman yang dibangun di pertemuan dua sungai itu, dinamakan Pontianak? Konon, selama delapan hari menebas pohon, para pengikut Syarif Abdurrahman mendapat gangguan para kuntilanak.

Boleh jadi kata “kuntilanak” bertransformasi menjadi “Pontianak”. Namun dalam cerita rakyat Melayu, kata Pontianak pun berarti perempuan yang meninggal ketika melahirkan, kemudian bergentayangan di desa-desa untuk meneror warga.

Disarankan oleh tetua Melayu, agar kita memelihara kuku panjang dan tajam. Sehingga bila bersua sang Pontianak, dapat menancapkan kuku tajam pada lehernya agar berubah jadi perempuan cantik.

Tapi Syarif Abdurrahman, memilih metode lain. Dia menembakkan meriam karbit ke arah hutan, yang diyakini sumber bunyi-bunyian seram pengganggu pengikutnya. Inilah sejarah Pontianak, sekaligus awal tradisi meriam karbit.

Kini 245 tahun berselang, meriam karbit masih mentradisi di masyarakat Kota Pontianak, terutama bagi warga tepian Sungai Kapuas. Tradisi dimainkan pada bulan Ramadhan, sejak malam takbiran hingga tiga hari setelah Lebaran, selepas senja hingga hampir tengah malam.

Langkah sederhana melihat meriam karbit adalah melintas di Jembatan Sungai Kapuas, yang menghubungkan Pontianak Kota dengan Pontianak Timur. Kemudian dari ketinggian jembatan, dapat disaksikan deretan meriam di sisi timur dan barat jembatan.

Mau sedikit berpeluh, tapi mendapatkan pengalaman lebih? Dari Jl Tanjung Pura atau Imam Bonjol, masuki gang-gang hingga tepian Sungai Kapuas. Kemudian susuri gertak (jembatan kayu di tepian Kapuas terbuat dari kayu ulin), hingga ditemukan deretan meriam.

Meriam diletakkan berkelompok, antara dua sampai enam meriam, tepat di tepian Sungai Kapuas. Meriam ditaruh diatas panggung dari kayu nibung. Panggung dimaksud mencipta ruang, agar pelaksanaan tradisi tidak mengganggu lalu lintas warga yang mempergunakan gertak untuk berjalan kaki.

Ukuran meriam cukup fantastik, yakni berdiameter hingga 80 sentimeter, dengan panjang 3-4 meter. Ini sebanding ukuran dua lelaki dewasa. Meriam dari kayu gelondongan besar, jenis pohon belian, ramin, atau meranti, yang dilubangi.

Bagian ujung meriam dibiarkan berlubang, sedangkan pangkal meriam ditutup dengan campuran semen dan pasir. Agar batang kayu tidak pecah (hancur karena ledakan), maka rotan seukuran kelingking manusia dibelitkan ke batang kayu.

Dipergunakannya rotan, karena elastisitasnya tinggi sehingga mampu memelarkan diri sesaat ketika ledakan terjadi. Sedangkan, bila pakai kawat atau tali kapal, sering putus hingga batang kayu hancur. Ini membahayakan pemain meriam karbit maupun masyarakat yang menyaksikannya.

Seturut nama tradisi ini, untuk bahan bakar digunakan karbit—senyawa kimia yang digunakan untuk mengelas dan balon gas. Harga karbit per kilogram mencapai Rp 10.000, dijual dalam bentuk padat.

Setelah dibentuk dengan cara diketok-ketok dari karbit padat besar jadi ukuran sekitar 1,5 kali 1,5 sentimeter, karbit dimasukkan ke dalam meriam yang sebelumnya diisi air. Guna air adalah untuk mengurai karbit padat menjadi karbit gas, selama 3-5 menit.

Lantas, api pun disulutkan dengan kayu ukuran 50-60 sentimeter, ke lobang penyulut meriam karbit. Hanya sepersekian detik, gas karbit pun meledak. Semburan api pun keluar dari lobang penyulut dan moncong meriam karbit.

Bicara tentang “ramuan” amunisi meriam karbit, Remaja Tepian Kapuas (Retika) punya resep khusus, yakni 3-5 ons karbit, diimbuhi satu sendok teh cuka, maka bunyi lebih dashyat. Tiap kelompok yang didasarkan pada lokasi gang, punya rahasia tersendiri soal “ramuan jawara” ini.

Dentuman meriam karbit ini sangat keras, dapat terdengar dari radius 3-5 kilometer. Apabila didengar dari tepian Sungai Kapuas, lantaran ada ruang kosong di atas sungai, maka akan terdengar gema berulangkali.

Sensasi luar biasa, lebih terasa bila berdiri radius 1-2 meter dari meriam. Sebab gertak dan panggung kayu nibung yang dibangun di atas permukaan Sungai Kapuas, pasti bergetar. Dan, tubuh pun bergoyang terpengaruh pergolakan udara yang menghantarkan suara membahana dari meriam.

Menurut penuturan warga setempat, tradisi meriam karbit ini surut dari tahun ke tahun. “Harga kayu sekarang mahal, per batang ukuran panjang 3-4 meter dan diameter 80 sentimeter, mencapai Rp 800.000. Kayu pun susah dicari,” kata pengurus Remaja Tepian Kapuas (Retika), Mardian.

Retika pada Ramdhan 2006 ini, memasang lima meriam karbit di Jl Tanjung Harapan Gg Sulaiman, Pontianak Timur. Dibutuhkan biaya Rp 8 juta, untuk menyiapkan meriam dan panggung. Dulu sponsor berlimpah, kini agak surut, yakni hanya beberapa agen motor dan perusahaan telekomunikasi.

“Sebenarnya, ketika industri kayu di Kalimantan Barat rontok maka tradisi meriam karbit pun terganggu. Sebab, kayu gelondongan dari hulu sulit didapat. Tahun 1980-an sampai 1990-an, istilahnya tinggal mencegat tongkang kayu yang lewat,” ujar Sugeng Hendratno dari Masyarakat Pariwisata Indonesia (MPI) Kalbar.

Sugeng menuturkan dulu meriam karbit dibuat dari kelapa maupun pinang, sebagaimana digunakan Syarif Abdurrahman. Eksploitasi kayu besar-besaran dari hulu Kapuas, mengubah wajah meriam karbit, apalagi bunyi meriam karbit dari kayu gelondongan sangat memekakkan telinga.

“Karena kayu mahal padahal bagus untuk meriam, kami pakai kayu yang sudah digunakan lima tahun. Selama tidak dipakai, kayu dibenamkan di lumpur di dasar Sungai Kapuas, sehingga tidak dimakan binatang penggerek kayu,” tandas Yurniadi, warga Gang Bayu.

Untuk menaikkan kayu gelondongan, ke panggung nibung, bukan perkara mudah. Harus menunggu air Kapuas pasang, akibat desakan air laut pada pukul 02.00-03.00. Butuh belasan pemuda untuk mengangkat kayu gelondongan tersebut.

“Tahun ini, ada Festival Meriam Karbit yang diadakan Pemerintah Kota Pontianak. Tetapi tidak semua kelompok ikut, delapan meriam karbit dari Jl Tanjung Pura, Gang Kamboja, saja tidak ikut padahal bagus. Mungkin karena hadiah Rp 1 juta, memang sangat kecil, padahal modal sudah besar,” kata Sugeng.

Bila meriam karbit Syarif Abdurrahman, dimaknai mendalam karena mengawali salah satu perjuangan membangun Kota Pontianak, yang kini berumur 245 tahun. Maka kini, tradisi meriam karbit Pontianak, nyaris “miskin” dan kehilangan makna.

“Kesulitan kayu untuk meriam karbit, harus dimaknai runtuhnya industri kayu di Kalbar, berikut penggangguran ribuan buruh kayu. Sepinya turis yang menyaksikan meriam karbit, harus dimaknai ketidakseriusan pemerintah menggarap promosi meriam karbit,” ujar Sugeng.

Berdasar pengamatan, penikmat meriam karbit pun kini sekedar remaja—biasa dikenal Anak Baru Gede (ABG). Yang lebih dewasa, datang berpasangan untuk berpacaran di kafe bernuansa remang-remang di tepian Kapuas. Tidak terlihat keluarga-keluarga yang menyaksikan tradisi ini, apalagi turis lokal dan mancanegara.

Padahal, anak-anak remaja itu hanya menikmati bunyi menggelegar dan pekik ketakutan dari remaja putri. Tidak terlihat benang merah dari pembunyian meriam karbit, dengan ramadhan, misalnya. Yang tampak di permukaan, hanya sekedar permainan rakyat.

Padahal, banyak hal dapat dimaknai—lebih lanjut disikapi—dari tepian Kapuas, selama menyaksikan tradisi meriam karbit. Gertak hasil pendanaan Bank Dunia yang mulai tua, berderit-derit, dan nyaris roboh. Berulangkalinya pemadaman listrik di tepian Kapuas yang menggelapgulitakan lokasi meriam karbit.

Kacau balaunya tata kota Pontianak, dilihat dari tepian Kapuas yang kumuh. Belum lagi, implementasi Pontianak Water Front City, yang entah kapan terealisasi. Mengapa kita tidak singgah sejenak, merenungkan Pontianak, setelah mendengarkan dentuman meriam karbit? Syarif Abdurrahman telah mengawali, sementara kita…... (HARYO DAMARDONO)

2 comments:

bocah said...

barangkali mas haryo bisa ikut mengomentari http://b0cah.org/index.php?option=com_content&task=view&id=467&Itemid=40
mengingat dalam tulisan mas terdapat hal terkait gas karbit untuk balon gas.. trims

dede fortinmart said...

sejarah pontianak kurang mas, saya rencananya tadi mau temukan lebih detil lagi tentang sejarahnya, tapi gak ada, tapi sukses buat tulisannya...