Saturday, November 17, 2007

LINGGARJATI
Bangkitkan Roh Perjanjian Linggarjati...

Siapa tidak kenal dengan nama besar Linggarjati? Kalimat tersebut mungkin terlalu angkuh dan provokatif, tetapi menimbang kata Linggarjati terpatri pada setiap buku pelajaran sejarah, yang tentunya dibaca (dan dihapalkan) tiap anak didik di Indonesia, maka tidaklah berlebihan bila Linggarjati dikenal tiap orang.

Kalau pun hanya segelintir orang, terutama masyarakat Jawa Barat, yang mengetahui letak geografis Linggarjati di Kecamatan Cilimus, Kabupaten Kuningan, tentunya itu sebuah persoalan lain. Ketidakjelasan informasi? Bisa jadi. Ketidakpedulian pada sejarah bangsa? Mungkin juga.

Sungguh, tidak sulit menjangkau Kompleks Perundingan Linggarjati. Bila melintas di ruas Pantai Utara Jawa (Pantura), cobalah sesekali berbelok arah ke selatan keluar di gerbang Ciperna pada ruas tol Palimanan-Kanci (tol Cirebon).
Ambil arah Kota Kuningan dan hanya dalam hitungan 20 menit, anda dapat mencapai Kota Kecamatan Cilimus, yang berjarak 25 kilometer dari Kota Cirebon. Lalu mendakilah sejauh beberapa kilometer di jalan desa Linggarjati, yang terletak di kaki gunung Ciremai (3.078 meter—gunung tertinggi di Jawa Barat), maka akan kau jumpai kawasan Wisata Linggarjati tempat Kompleks Perundingan Linggarjati berdiri.

Bila pun berkehendak menggunakan kendaraan umum, tidak usah risau karena ratusan bus jurusan Jakarta-Kuningan tersedia setiap saat. Sebab, berdasarkan catatan Kabupaten Kuningan hampir 20 persen penduduk Kuningan yang berjumlah total sekitar 1,3 juta jiwa merupakan kaum perantau.


“Mangga, silahkan masuk,” sapa Saom, pegawai Dinas Pariwisata dan Kebudayaan, yang telah bertugas di Linggarjati sejak 1978. Maka, setelah melewati ruang sekretaris, tibalah di ruang tengah bangunan tua seluas 800 meter persegi, yang berada di atas lahan dengan luas 2,4 hektar.

Bangunan tua ini secara keseluruhan terpelihara amat baik, bahkan akhir minggu Januari 2005 ini mengalami pengecatan. Bangunan tua berarsitektur bangunan tropis-Hindia Belanda ini pun, berventilasikan memadai dengan jendela yang bertebaran dimana-mana, untuk mengakomodasi udara segar Gunung Ciremai dan matahari.

Saom pun menjelaskan satu-demi satu empunya kursi di ruang tengah, tatkala perundingan berlangsung 10 – 15 November 1946. Dari sisi paling utara, sebuah kursi tunggal ditempati Lord Killearn—penengah berkebangsaan Inggris, lalu di kiri-kanan meja yang terletak di depannya, duduk delegasi Indonesia dan Belanda.

Delegasi Indonesia dipimpin Perdana Menteri Sutan Sjarir dengan anggota delegasi Mr Susanto Tirtoprodjo, Dr AK Gani dan Mr Mohammad Roem. Sementara delegasi Belanda terdiri dari Dr Van Mook, Mr Van Pool, Dr F De Boer dengan Prof Dr Shermerhorn sebagai ketua delegasi.

Pada kutub lain, di bagian selatan ruang perundingan tersebut, terdapat meja yang konon ditempati Dr J Leimina, Dr Soedarsono, Mr Amir Sjarifoedin dan Mr Ali Boediardjo, sebagai notulen perundingan. Dalam ruangan itu, diletakkan pula replika lemari kayu, serta sebuah diorama perundingan yang dibuat Dinas Pariwisata Provinsi Jawa Barat tahun 1986.

Terdapat pula dua benda antik yang menyita perhatian, yakni piano bermerek (atau nama pemilik?) bertuliskan H Rawie Osnabrick—namun sayang tidak ditemukan tahun pembuatan meski seluruh piano telah digeledah, dan sebuah jam tower bermerek Junghans, bertuliskan Made ini Germany, yang dengan malu-malu diakui Saom merupakan replika.

Boleh jadi, dua benda itu merupakan pelengkap interior gedung perundingan Linggarjati yang dalam perjalanannya, sempat menjadi hotel bernama Rustoord (1935), Hotel Hokay Ryokan pada penjajahan Jepang (1942), Hotel Merdeka (1945) pascakemerdekaan, sebelum menjadi SD Negeri Linggarjati (1975) dalam kondisi fisik yang mengenaskan, dengan akhir perjalanan menjadi Museum Linggarjati.

Terdapat enam kamar tidur bagi delegasi Belanda dan Indonesia, di bagian depan gedung yang menghadap timur. Enam kamar tersebut, saling berhadapan-dipisahkan lorong selebar dua meter. Di masing-masing kamar, diletakkan replika tempat tidur, lemari pakaian, dan kursi. Ada pula replika yang tidak mendekati aslinya, yakni wastafel. Saom menjelaskan sulit menemukan model asli wastafel, tapi dia bersikukuh seluruh pipa wastafel peninggalan asli.

Satu kamar lain yang terletak terpisah di sayap utama bangunan, ditempati Lord Killearn. Selain berukuran lebih luas, kamar ini dihubungkan dengan dua pintu koneksi ke kamar tamu pribadi serta menuju taman. Kamar Lord Killearn pun dilengkapi kamar mandi pribadi, walau dengan interior sederhana.

Hampir 90 persen ubin di gedung perundingan Linggarjati, yang didonimasi warna hijau dan coklat muda merupakan ubin asli, dengan tambahan ubin berwarna kuning yang menghubungkan kamar Lord Killearn dan ruang tengah-ruang perundingan, karena ubin asli telah amblas. Sementara kusen maupun daun pintu-daun jendela, ternyata masih asli.

Tetapi menurut Saom, penggantian dilakukan terhadap seluruh genteng pada tahun 1994. Sekitar dua bulan lalu, juga dilakukan penggantian terhadap kulit jok kursi, yang didominasi warna aslinya yakni abu-abu.

“Selain piano, hanya kursi dan meja makan yang benar-benar masih asli, selebihnya merupakan replika, karena furnitur asli sempat tidak dipelihara dalam waktu puluhan tahun,” kata dia. Bahkan, benda-benda asli dikembalikan atas itikad baik penduduk setempat, yakni Abdul Rasyid (orang Jerman yang menikah dengan penduduk setempat) dan H Abdul Rahman Saleh, yang selama ini menyimpan dan merawat furnitur tersebut.

Bila melihat pada bagan gedung, konsep bed and breakfast mungkin lebih tepat dikemukakan daripada konsep hotel. Sebab, dengan jumlah ruangan sedikit, kehangatan-keakraban tampak lebih ditonjolkan.

Ini selaras dengan pemikirin, bahwa setelah meminang dan memboyong janda kembang Jasitem, Tuan Mergen atau dikenal sebagai Tuan Tersana (pemilik pabrik gula Tersana Baru di dataran rendah Kabupaten Cirebon), merombak gubuk Nyai Jasitem sebagai rumah semi-permanen untuk villa-peristirahatan pada tahun 1921. Walau akhirnya dijual pada Van Ost Dome, yang menjadikannya rumah tinggal permanen.

“Berdasarkan catatan kami, rata-rata tiap hari obyek wisata perundingan Linggarjati didatangi tidak kurang 100 pengunjung,” kata pegawai Dinas Pariwisata dan Kebudayaan, Kabupaten Kuningan, Tujih Sunarsih, yang sehari-hari mengepalai sekitar 10 pegawai Dinas Pariwisata dan Kebudayaan. Dia adalah puteri alm Sukarta, yang wafat 2001, seorang pelayan pada perundingan Linggarjati.

Kunjungan wisatawan tertinggi terjadi pada bulan Juli (masa liburan sekolah) yang dapat mencapai 6.000 orang. Jumlah pengunjung tertinggi adalah para pelajar, yang datang berkelompok. Sementara pengunjung umum cukup sedikit, walau ada pula wisatawan asing. Sementara menurut Saom, para mahasiswa malah jarang berkunjung.

Minimnya fasilitas menyebabkan museum Linggarjati kurang diminati pelancong. Padahal, Desa Linggarjati memiliki beberapa kawasan wisata, mulai dari wisata alam, wisata perhotelan, pusat hiburan musik, kawasan peristirahatan (villa), yang dipadati pengunjung biasa maupun birokrat, dari Kabupaten Kuningan, Cirebon, Kota Cirebon, dan kabupaten lain.

Tijih mengatakan kompleks perundingan Linggarjati sesungguhnya telah dilengkapi kawasan bisnis terpisah di sisi selatan, berupa halaman parkir, kios, maupun auditorium, tetapi pemanfaatannya kurang maksimal. Auditorium malah hanya digunakan jajaran Dinas Pariwisata dan Kebudayaan untuk rapat. Dia mengatakan masyarakat lebih tertarik menyambangi kawasan wisata alam, maupun hiburan lain.

Sesungguhnya, kompleks perundingan Linggarjati berpotensi, misalnya untuk membangun perpustakaan, teater (dapat diputarkan cuplikan film atau microfilm), bahkan kafe sebagai lokasi diskusi bukan hanya kaum muda tetapi juga kaum intelektual, tentu dengan menangkap “daya magis” kompleks perundingan Linggarjati sebagai situs sejarah. Bercermin pada Gedung Arsip di Jl Gajah Mada, Jakarta Pusat, bukan mustahil pesta pernikahan dengan konsep pesta kebun dapat pula dilakukan di sini.

Modal perpustakaan, kata Saom, telah dimulai tahun 1991, dengan dihibahkannya puluhan buku berbahasa Belanda oleh Kedutaan Besar Belanda, diantaranya KGP Kleine Serie Nederlands Indonesische Betrekkingen 1945-1950, Jan Bank Katholiekenen de Indonesische Revolutie, Het Corps Binnenlands Bestuur op Java 1945-1949, dan puluhan buku politik dan budaya Indonesia, yang ditempatkan dalam dua lemari kaca yang selama ini selalu terkunci. Bangunan paviliun dengan tiga ruang utama, pun siap seandaikan perpustakaan dibuka untuk publik.

Modal telah ada, pertanyaannya maukah memaksimalkan Gedung Perundingan Linggarjati. Ini bukan sekedar membangun kawasan wisata, tapi juga momentum untuk membangkitkan roh Perjanjian Linggarjati..., roh nasionalisme, roh perjuangan diplomasi bukan sekedar perjuangan bambu runcing-perjuangan kekerasan.

Tentunya, daya juang-daya pikir para pendiri negeri dalam perjanjian ini, nantinya dapat terefleksi entah dalam perdebatan di meja kafe atau di sudut perpustakaan. Sekali lagi, maukah membangkitkan roh Perjanjian Linggarjati. Ini persoalan mau atau tidak, bukan lagi persoalan dana, sebab kini zamannya kemitraan dapat mengalahkan persoalan klasik dana. Mampu atau tidak, mau atau tidak? (HARYO DAMARDONO)

2 comments:

Anonymous said...

Hello there :)

Unknown said...

Saya ingin sekali mengangkat sejarah tentang asal muasal berdirinya gedung perjanjian Linggarjati dalam bentuk sebuah Film.