Monday, November 19, 2007

NELAYAN


Ketika Nelayan, Berinvestasi Tanah dan Rumah…

Text and foto by haryo damardono

“Bapak telah menanam uang berbentuk rumah dan tanah di Singkawang. Ini demi masa depan anak-anak dan masa depan bapak sendiri. Mereka pun kini sekolah di Singkawang, menempati rumah bapak di sana,” ujar seorang nelayan, H Al Haris.

Ucapan mengejutkan ini datang bukan dari seorang spekulan tanah ataupun konsumen, yang terpikat jurus-jurus pemasaran Ray White, Era, maupun Century 21. Ucapan ini mengalir bebas dari bibir seorang nelayan Pulau Kabung.

Seorang nelayan pulau kecil, di Desa Karimunting, Kecamatan Sungai Raya, Kabupaten Bengkayang, Kalimantan Barat, sekitar 130 kilometer arah utara Pontianak. Disanalah sekitar 400 jiwa keluarga nelayan, mengakrabi dan mengais rezeki dari laut.

Darah Pak Haris, adalah darah laut. Sulit menyangkalnya, terlebih dia berdarah Bugis berkampung halaman di Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan. Namun, kuat keinginannya meninggalkan kehidupan nelayan.

“Mencari ikan, adalah keahlian utama kami. Tapi, mustahil mengandalkan hidup hanya dari mencari ikan. Kami bisa-bisa tidak makan. Dari waktu ke waktu juga hanya berutang kepada tauke,” tandas Haris.

Meski cinta laut, dia mengatakan kehidupan nelayan seolah berjudi. Terkadang mendapat banyak ikan tangkapan, sebaliknya bisa saja pulang tanpa hasil.

Haris mengatakan telah terbiasa, namun ada waktunya dia gelisah. Laut itu dalam, dia tidak tahu seluruh isi laut. Dan, separah itu ketidaktahuannya akan hasil tangkapan nanti malam. Tiap hari, dia mempertanyakan apakah keluarganya esok dapat makan enak.

Pemberontakan Pemerintahan Revolusioner RI (PRRI) tahun 1959-1961, dikatakan Haris, menyebabkan keluarga menjadi manusia perahu, hijrah dari Bone layaknya pengungsi Vietnam atau Cina.

Awalnya, mereka bermukim di Pulau Kijang Riau. Tapi Haris memisahkan diri, mengarungi kembali Selat Malaka, memasuki Laut Natuna, dan menemukan Pulau Kabung. Tempat dia melego jangkar, dan mendirikan pondok.

Dari hanya enam pondok, kini 160 rumah telah didirikan. Sebagian besar rumah panggung. Dikolong rumah, diletakkan keranjang-keranjang ikan, perahu, timbangan, hingga kandang hewan peliharaan, seperti ayam dan anjing.

Rumah-rumah di Pulau Kabung itu gelap gulita—listrik belum masuk—meski Indonesia telah merdeka 60 tahun. Sinetron maupun siaran bola, dinikmati ketika genset hidup. Itu pun kalau ada bensin, atau kalau ada uang untuk membelinya.

Kehidupan yang memprihatinkan. Terlebih, hanya ada Sekolah Dasar (SD) di Pulau Kabung. Maka, tidak heran pemuda nelayan, Deki (17), harus putus sekolah. “Tapi, anda dapat pergi naik haji,” sanggah saya, membayangkan mahalnya biaya ke Mekkah.

Naik Haji
“Saya dapat naik haji berkat cengkeh. Kami menanam cengkeh ketika pemerintah, menganjurkannya di tahun 1974. Cengkeh pula yang menolong, ketika ikan sulit ditangkap,” kata Haris.

Hasil cengkeh menolong penduduk Pulau Kabung. Mereka jauh lebih beruntung dibanding komunitas nelayan lain. Kini, harga cengkeh mencapai Rp 23.000 per kilogram, dipanen bulan November sampai Mei. Tahun 2001/2002, harga pernah mencapai Rp 68.000 per kg, tapi itu cerita lama.

Meski demikian, harga cengkeh lebih baik dari ikan teri, yakni Rp 12.000 – Rp 13.000 per kilogram, sementara sotong (sejenis cumi-cumi) senilai Rp 60.000 tiap kilogram. Tangkapan lain, ikan alu-alu, ikan kerapu, ikan terubuk, ikan senangin, ikan bawal, ikan hiu, mayong, dan pari.

Sementara komoditi pertanian Pulau Kabung lainnya, hanyalah kelapa senilai Rp 500 per butir, yang tidak menjanjikan. Terkait fluktuasi harga cengkeh, Haris menyatakan keheranannya, “Rokok khan pakai cengkeh. Lalu, kenapa harga rokok terus naik, sedangkan harga cengkeh naik turun. Sekarang saja merosot,” gugatnya.

Ketika panen cengkeh, hanya sedikit nelayan yang melaut ataupun pergi ke bagan. Lainnya, lebih memilih memanen cengkeh dan menjemurnya, karena bernilai ekonomi tinggi.

Bagan dianaktirikan. “Tahun ini saja, sekitar 40 bagan runtuh karena angin kuat dan arus deras. Padahal, harga pembuatan bagan sekitar Rp 6 juta per buah. Itu pun harus dipinjam dari tauke,” kata Deki.

Akibat kerugian itu, sebagian nelayan, menyisihkan pendapatan dari laut selama belasan tahun, lalu dibelikan lahan di Kecamatan Sungai Raya, untuk ditanami limau. Harga limau tipe AB per kilogram, kini mencapai Rp 2.100, meski pernah seharga Rp 7.000 tiap kilogram.

Berat Jadi Nelayan
“Berat menjadi nelayan. Untuk membangun bagan, dibutuhkan pilar kayu nibun (sejenis palmae), dipadu gelagar dari kayu sangae dan propok, dengan pondok nelayan beratap nipah. Tapi bisa saja baru sehari dibangun, runtuh karena ombak,” ujar nelayan Jumila.

Jamilu mengatakan tidak ada perhatian pemerintah, baik dari Dinas Kelautan atau Kecamatan setempat, untuk mengembangkan bagan yang tahan cuaca ganas. Padahal, ketika cuaca tidak bersahabat, nelayan urung melaut, sehingga tidak berpenghasilan.

Maka jangan berharap, nelayan menginvestasikan kembali uang ke sektor perikanan. Haris pernah punya tiga kapal, tapi kini hanya satu. Dia lebih baik membeli tanah. Tanah dan rumah di Singkawang, yang dibelinya tahun 1984, kini harganya berlipat ganda. Baru-baru ini, dia membeli tanah di Kecamatan Sungai Raya.

“Biaya buat kapal sangat mahal, sementara menangkap ikan sulit. Paku saja kini senilai Rp 7.000 per kilogram. Belum lagi kayu, mesin kapal, cat, kemudi, dan sebagainya. Percuma jadi nelayan, selamanya miskin,” ujarnya geleng-geleng.

Letak Pulau Kabung diantara Laut Natuna dan Laut Cina Selatan. Merosotnya sektor perikanan, pantas jadi perhatian. Haruskah laut sana tidak bertuan, lalu leluasa dijarah nelayan negara lain, seperti yang tempo hari ditengarai dilakukan nelayan Malaysia di Pulau Jemur, Riau?

Rekan-rekan Deki—sesama anak laut—kini lebih memilih kerja di darat, menjadi buruh pabrik, penjaga toko, maupun sopir di Singkawang. Siapa sudi berpeluh dibawah terik mentari, dengan penghasilan yang tidak menentu.

Harus kerja keras agar nelayan kembali menjelajahi lautan, seluas 75 persen dari total luas Indonesia. Mereka terlalu lama dilupakan, oleh pembangunan yang “memunggungi” laut, dan “menganak-emaskan” daratan.

Hasil sebuah survei menjabarkan, sekitar 75 persen petani adalah angkatan tua. Survei pula nelayan, mungkin tak jauh beda. Katanya, nenek moyang kita pelaut, tapi belum tentu anaknya, cucunya, keturunannya mau jadi pelaut. Tidak percaya? Simak kembali kata Haris, “Percuma jadi nelayan, selamanya miskin….”

1 comment:

yono said...

Bener apa ngak yo`
menjadi tua itu pasti
menjadi miskin atau kaya masih bisa dipilih tuh...
Tapi aku fikir kenapa memikirkan menjadi miskin atau kaya, jadi nelayan juga bisa endah..tul gak..

salam

yono