Monday, November 19, 2007

DANAU SENTARUM

Danau Sentarum, Aset Dunia Untuk Masa Depan

Text/Foto by Haryo Damardono

Empat bekantan (Nasalis larvatus)—binatang berhidung besar, juga salah satu tokoh di Balada Kera Dunia Fantasi—terkapar mati dengan luka tembak di beberapa bagian tubuh. Tiga anjing menghambur keluar hutan, diikuti lima pemburu yang menyandang senjata api rakitan, lalu segera mengikat buruan mereka.

Aksi pemburu liar itu, tertangkap basah tiga petugas KSDA pada penghujung September 2005, di kawasan Bukit Tekenang, Taman Nasional Danau Sentarum(TNDS), Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat, sekitar 700 kilometer dari Pontianak.

”Para pemburu liar berburu bekantan, untuk mengonsumsi dagingnya. Mereka mengatakan babi hutan sudah sulit dicari di wilayah mereka, sebab hutan mulai rusak. Lagipula, kata mereka daging bekantan lebih enak daripada daging babi...,” kata Valentinus Heri, Direktur Riak Bumi.

Para pemburu itu dari suku Dayak Iban. Mereka terbiasa mengonsumsi binatang dari alam. Persoalannya, mereka berburu di Taman Nasional, dan bekantan adalah binatang yang dilindungi.

Ini baru sekelumit masalah di TNDS. Memang terkesan lebih mudah menetapkan suatu kawasan jadi Taman Nasional, persoalannya bagaimana mempertahankannya. Terlebih, TNDS adalah aset Kalbar, Indonesia, maupun dunia, untuk masa depan.

Taman Nasional
Ditetapkan sebagai Taman Nasional tahun 1999—sebelumnya Suaka Margasatwa sejak 1982—TNDS mempunyai area seluas 132.000 hektar, dengan 65.000 hektar kawasan di luar TNDS sebagai zona penyangga.

”Peran TNDS sangat penting. Keutuhan dan kelestariannya, bukan saja untuk tumbuhan dan hewan, tapi demi masyarakat Kalbar,” ungkap Elizabeth Linda Yuliani, dari Center For International Forestry Research (CIFOR).

Dalam berbagai kesempatan dipaparkan, TNDS habitat sekitar 500 spesies tumbuhan, 260 spesies ikan, 300 spesies burung, 11 spesies kura-kura, 3 spesies buaya, orang utan, bekantan, dan spesies lain yang mungkin belum diidentifikasikan.

Lebih lanjut, fakta suplai 60 persen ikan air tawar di Kalbar, berasal dari Danau Sentarum, tak terbantahkan. Sebab danau ini, telah lama digunakan ikan-ikan dari perairan Kapuas untuk bertelor, melalui koneksi Sungai Tawang.

Fungsi lain TNDS adalah fungsi hidrologis. Di musim hujan, Danau Sentarum menyerap 25 persen air Sungai Kapuas. Sebaliknya, di musim kemarau, 50 persen air Sungai Kapuas berasal dari danau.

Fungsi hidrologis ini sangat vital. Bayangkan bencana banjir di sepanjang DAS Kapuas, ketika musim hujan tiba dan TNDS terlanjur rusak. Sebaliknya, bagaimana ketersediaan air tawar di hampir 800 km DAS Kapuas bila fungsi resapan air Danau Sentarum hancur.

TNDS juga merupakan lokasi perkembangbiakan lebah liar (Apis dorsata), dengan hasil sebanyak 20-25 ton madu murni per tahun. Sebuah komoditas, yang membantu perekonomian nelayan setempat ketika tangkapan ikan jauh berkurang. Para petani lebah menarik perhatian lebah dengan membuat tikung, yakni tempat bersarangnya lebah. Tikung serupa kotak kayu berukuran sekitar 25 sentimeter x 200 sentimeter. Kotak kayu kemudian diikat dengan posisi melintang pada dahan pohon, dan setiap tikung bisa menghasilkan 10-20 kg madu.

Masyarakat Danau
Sekitar 8.000 orang tinggal dalam area TNDS, berprofesi sebagai nelayan, perajin rotan dan kayu, serta pencari lebah. Umumnya, beretnis Melayu dan Dayak, serta telah mendiami kawasan Danau Sentarum sejak ratusan tahun lalu.

Tentu saja keberadaan mereka, menghalangi upaya memaksimalkan fungsi TNDS. Meski atas nama kemanusiaan, TNDS tidak boleh sewenang-wenang mengusir masyarakat dari permukiman mereka. Dengan catatan, penduduk setempat harus dapat ”didamaikan” dengan alam.

Pengalaman masa lalu, mengajarkan ”diusirnya” masyarakat asli dari Taman Nasional dimana pun juga, selalu menimbulkan masalah. Misalnya, ”pertempuran” antara penjaga hutan melawan masyarakat di sekitar Pulau Komodo.

Patut diingat selalu ada kearifan lokal masyarakat asli, yang tentu punya aturan maupun norma dalam menyelaraskan hidup dengan lingkungan sekitar. Walaupun wajar, bila sub-sub etnis punya aturan adat berbeda-beda, dan wajib dikodifikasikan untuk dipelajari.

Selama bertahun-tahun, di TNDS berkarya Yayasan Riak Bumi. Mereka mengorganisasi masyarakat setempat untuk lebih akrab dengan alam. Atau sekedar hilir-mudik di danau menggunakan perahu bandung, untuk mengamati dan meneliti.

Buah dari karya Riak Bumi, masyarakat setempat pun sepakat memberlakukan aturan ramah lingkungan. Diantaranya, tidak menangkap ikan dengan bahan kimia maupun alat tangkap listrik, maupun mencegah illegal logging dan kebakaran hutan, karena merusak habitat lebah madu.

Kelompok lain juga membantu, misalnya, kawan-kawan World Wild Fund (WWF) memasukkan TNDS ke kawasan Heart of Borneo yang wajib dilindungi. Lalu, para peneliti CIFOR memperkenalkan pakan alternatif untuk ikan toman (budidaya ikan dalam keramba)..

Yakni, mencampur ikan segar cincang 10-15 kg per hari dengan bahan seperti dedak, ubi jalar, daun singkong. Tentu saja, ini bermaksud mengurangi ”pembantaian” ikan-ikan kecil—yang mungkin masih dapat besar—sebagai makanan ikan toman.

Peran Pemerintah
Bagaimana peran pemerintah pusat, pemerintah provinsi, maupun pemerintah kabupaten yang sejak lama memproklamirkan kabupaten Kapuas Hulu, sebagai kabupaten konservasi?

Segenap elemen masyarakat maupun Lembaga Swadaya Masyarakat, yang menggelar pertemuan pada penghujung September lalu di Aula Kabupaten Putussibau, sepakat mengharapkan kerjasama pemerintah.

Meski demikian, mereka juga sepakat tidak menggantungkan harapan pada pemerintah. Desakan warga setempat untuk membentuk Forum Masyarakat Danau Sentarum, pun menguat, seiring pengembangan dan penguatan kapasitas masyarakat di TNDS, disamping lambannya perhatian pemerintah terhadap pengelolaan TNDS.

Simak saja, hingga detik ini TNDS tidak kunjung memiliki unit pelaksana teknis. Selama ini, TNDS juga hanya dijaga satu jagawana dan seorang tenaga honorer KSDA, Jefri Irwanto, yang sempat tidak digaji selama 10 bulan.

Mana sanggup membentengi TNDS dari penebang liar kayu, pemburu liar, maupun pihak-pihak tidak bertanggungjawab. Maka, jangan heran kalau berbagai lembaga swadaya masyarakat getol memberdayakan masyarakat setempat, siapa tahu masyarakat lebih becus mengatur TNDS, daripada aparat pemerintah.

1 comment:

Safitri Rayuni said...

Bro, kok kaga nambah tulisannya...boring ane tiap buka blog nye tak ade story baru