Sunday, November 18, 2007

GUNUNG PALUNG
Memburu Penebang Kayu Ilegal di Gunung Palung

Text and foto by haryo damardono

Delapan belas jam berlalu. Tetapi, perjalanan sepanjang 200 kilometer, dari ibukota Kabupaten Ketapang di Kalimantan Barat, menuju Kubing—sebuah kawasan masuk Taman Nasional Gunung Palung (TNGP)—belum tertuntaskan.

Lubang selebar badan jalan dan sedalam sebuah sedan, merupakan tantangan rutin. Dorong-mendorong, tarik-menarik kendaraan, hal lumrah. Bahkan kendaraan berpenggerak empat roda seharga lebih Rp 500 juta, yang saya naiki terbenam berulangkali.

Hancurnya infrastruktur, merupakan tantangan Polisi Hutan TNGP, belum lagi saat memasuki hutan. Dalam perjalanan, dari tiga kendaraan roda empat dan tiga kendaraan roda dua, tercatat dua bemper copot, satu tangki bensin copot, satu spion pecah, dan dua mobil sempat mogok karena over-heat.

Operasi darat di wilayah TNGP seluas 90.000 hektar, bukan perkara mudah. Memburu penebang kayu ilegal di wilayah seluas itu, seumpama mencari jarum dalam jerami. Apalagi polisi hutan di TNGP, hanya 41 orang. Sungguh jumlah yang jauh dari ideal, dengan kata lain: tidak masuk akal.

“Tapi kini, kami punya dua pesawat ultra light, yang menjangkau TNGP dalam 20 menit penerbangan dari Ketapang. Pemotretan udara terhadap aktivitas penebangan liar dilakukan, lalu dilengkapi data Global Positioning System (GPS), baru diluncurkan operasi darat maupun air,” tandas Kepala Balai TNGP, B Prabani Setiohindrianto.

Setelah terbanting-banting selama 18 jam, perjalanan dilanjutkan berjalan kaki menembus hutan hujan tropis berkanopi lebat, sehingga ketika hujan lebat pun kami serasa hanya dijatuhi hujan gerimis.

Bersama 20 polisi hutan, kami menembus TNGP—satu-satunya Taman Nasional berekosistem terlengkap di Indonesia. Tercatat tujuh ekosistem mulai ekosistem pantai hingga puncak Gunung Palung (1.116 meter). Belum lagi sekitar 2.200 orangutan dan ribuan bekantan.

Peneliti Tim Laman, dalam Majalah National Geographic Oktober 2000, mengindentifikasi 30 spesies binatang terbang (glider). Yang dikatakannya, tidak terdapat di hutan tropis Amazon, dan hanya sedikit ditemukan di hutan tropis Afrika.

Demikianlah, kami pun memburu penebang liar, yang bergantian mengobrak-abrik sekitar 80 persen kawasan TNGP. Keberadaan mereka sulit ditemukan, karena lebatnya hutan, terlebih tebangan pada spot-spot yang terpisah jauh satu sama lain, dan hanya dihubungkan sungai-sungai kecil.

Tembakan peringatan diberikan dari lima senjata api jenis PM 1A1 buatan Pindad. Hanya lima? Ya, hanya lima yang dimiliki TNGP. Padahal, senjata api sangat penting karena penebang liar pun seringkali menyandang senapan lantak, dengan dalih untuk berburu di hutan.

Patut disayangkan, hanya dijumpai empat bagan penebang liar yang telah ditinggalkan, berikut sekitar 50 barang bukti kayu jenis meranti dan mengkirai. Ditemukan pula karung beras, bensin, oli, chainshaw, hingga logistik penebang kayu, yang diperkirakan berjumlah 20 orang.

Kami pun pulang, menyusuri hutan hujan tropis ditemani kicau burung. Sesekali beristirahat karena kaki ini pun seolah tidak lagi bertulang, terkadang meminum air sungai dicampur extra joss karena logistik air habis, dan lagi-lagi mengonsumsi mie instan.

Sungguh, kami bersimpati dengan para polisi hutan, yang kiprahnya tidak banyak terdengar. Polisi hutan yang rela berhari-hari meninggalkan keluarga untuk menjelajahi hutan. Yang dengan setia menjaga hutan Gunung Palung sebagai paru-paru dan warisan dunia.

4 comments:

lamanday said...

Di Gunung Palung, sempat singgah di Resort Cabang Panti tempat peneliti asing buat camp untuk meneliti orang utan ga?

Saya kemarin baru saja pulang Ketapang.

Puji L said...

Kalo expedisi kayak gitu yang dikirim mesti cowok ya? Ga pernah wartawan cewek ya? Mbok foto’in bunga-bunga juga pakde...pasti bagus-bagus anggreknya ya....GBU

Ridho YP said...

Whoa.. keren! the forest cop.. Semangat buat kalian semua.. semoga selalu di berkahi, dan dapat memberantas segala penebangan liar.. kalo bisa.. jangan sampe ada yang kabur dari TKP.. tembak aja udah.. ga berguna banget tuh penebang liar..

Mamas Yudhi said...

masih ingat benar saat itu ikut dalam bagian kegiatan ini... bersama teman teman pilot pesawat ultra light kami mendapat tugas memberi informasi melalui udara.
walau sekarang sdh berpisah tapi Taman Nasional Gunung Palung tetap selalu dihati