Monday, November 19, 2007

Usai Hutan Karet Terbakar, Hanya Amarah Tersisa….

Text and foto by haryo damardono

“Dulu dalam sehari, saya dapat Rp 60.000 dari karet. Sekarang hutan karet saya musnah karena terbakar. Padahal, sejak saya belum lahir hutan karet ini sudah menghidupi keluarga besar kami. Saya sungguh marah,” ujar Acung, menahan geram.

Acung menunjuk ke arah hutan karet seluas 3,5 hektar, yang dimilikinya turun-temurun. Tiap hari, dia menyusuri hutan menoreh getah karet sebanyak delapan kilogram. Tiap kilogram karet, dijual seharga Rp 7.500 pada pengumpul karet.

Hutan karet milik Acung, di tepi perkebunan sawit milik PT Mega Sawindo Perkasa (MSP), di Desa Lalang, Kecamatan Tayan, Kabupaten Sanggau, sekitar dua jam dari Pontianak, melalui ruas baru Trans-Kalimantan, yang belum diaspal.

“Keterlaluan. Perusahaan hanya mau bayar hutan karet, sebesar Rp 500.000 per hektar. Mau makan berapa lama, dengan uang Rp 1,75 juta. Saya menuntut lebih dari perusahaan,” kata Acung. Dia menduga perusahaan sengaja membakar hutan karetnya, karena dia menolak konversi hutan karet jadi kebon sawit.

Awalnya, kebakaran terjadi di areal PT MSP. Tetapi lambat laun, kebakaran melanda ladang penduduk. Acung curiga kebakaran itu disengaja. Dia makin marah, karena pekerja perkebunan, tidak membantunya memadamkan api.

Site Manager PT MSP, Mr Kong, membantah perusahaannya membakari lahan warga. “Kami juga korban. Uang sebesar Rp 500.000 itu, bukan ganti rugi, tapi bantuan bagi warga,” tutur Mr Kong, warga Malaysia, berperut tambun, yang rajin mengelilingi perkebunan dengan RX-King-nya.

Acung berpendapat lain. Dengan telah membayar hukum adat senilai Rp 50.000 kepada perangkat adat Dayak setempat, seusai peradilan adat dilangsungkan berarti perusahaan mengaku salah. Acung hanya menuntut hak miliknya.

Di Desa Lalang tersebut, Mr Kong akan membuka perkebunan sawit seluas 2.000 hektar. Telah ratusan hektar dibukanya. Namun hingga November ini, belum ada satu pun pohon sawit ditanam, karena ribuan bibit sawit baru disemaikan.

Ketika lahan terbakar awal Agustus lalu, Mr Kong menuturkan api berasal dari beberapa lokasi. “Kemarau ini sangat parah. Udara kering, rumput pun kering. Sebatang rokok saja, dapat menyebabkan kebakaran lahan. Kami ini juga victim, korban,” ucap Mr Kong, memberi penekanan pada kata korban..
Saat Kompas bicara dengan Mr Kong, Acung berjalan hilir-mudik di sekitar kami. Dia sangat marah, tapi hanya dapat menyerampah. Apalagi, pembicaraan Kompas dengan Mr Kong dalam bahasa Inggris. “Bohong. Mr Kong bicara bohong,” ungkapnya berulangkali.




Selain Acung, ada pula warga desa lain yang hutan karetnya terbakar. Alung misalnya, mengaku per hari menoreh 6 kilogram getah karet. Sementara Yusak, menoreh 20 kilogram getah karet per hari.

“Saya geram ketika seorang pekerja perkebunan, bilang karet dapat tumbuh lagi. Saya bilang, tau gak kalau butuh 16 tahun, agar karet dapat ditoreh lagi. 16 tahun bukan sebentar,” kata Yusak. Seperti Acung, Yusak pun terlihat sangat marah, tapi tiada daya berontak ke perusahaan.

Yusak menjelaskan tanaman karet miliknya merupakan karet alam. Keterbatasan modal, menyebabkannya tidak dapat membeli karet bibit unggul yang dijual Rp 2.000 per pohon. Sebab, satu hektar hutan karet biasanya terdiri dari 500 batang karet.

“Karet unggul sih nyaman. Sebelum usia 10 tahun sudah dapat ditoreh. Tetapi karet unggul, juga sangat manja. Tidak boleh ada rumput tumbuh di sela-sela tanaman. Repot juga mengurusnya,” jelas Yusak. Dia memperinci mengapa penduduk tidak terlalu suka karet unggul.

Untuk menghadapi PT MSP, kini Acung, Yusak, Alung, dan beberapa penduduk desa, telah mengonsultasikan masalah mereka pada pengacara Pontianak, Andel SH. Mereka berhadap Andel dapat memperjuangkan nasib mereka.

Jalur hukum merupakan salah satu upaya penduduk desa. Apalagi sekelompok petugas keamanan, dibayar perusahaan untuk menghalangi siapa pun yang ingin mempertanyakan nasib hutan karet mereka.

“Kita pakai pengacara. Semoga hukum masih ada, dan kita menang,” ujar Acung bersemangat, ditemui di kawasan perkebunan PT MSP. Tidak lama, delapan petugas keamanan menunggangi RX-King “mengepung” kami. Kata-kata mereka, sedikit mengancam.

Ada sedikit rasa gentar. Terlebih, beberapa petugas mengatakan dapat membuat kami tidak keluar dengan selamat dari perkebunan itu. Diam-diam, memory card pun diambil dari kamera, lalu dikantongi agar foto hutan karet yang terbakar tidak dihapus.

Dalam bahasa Dayak, Acung membantah ucapan petugas keamanan. Petugas itu pun pergi, setelah kami berjanji melapor ke kantor mereka. “Mereka saudara sekampung, walau sekarang memusuhi kami karena telah bekerja dan digaji perusahaan,” tutur Acung. Kini, konflik horizontal antarwarga Desa Lalang, memang terlihat nyata.

Kepala Desa Lalang, Alex Pramana, saat ditemui di warung kopi membenarkan kini ada warga yang pro maupun kontra dengan perkebunan sawit. Tapi, dia tidak ingin memihak karena dua pihak adalah warganya. Meski diakuinya, potensi bentrokan sangat besar.

Haryono Sadikin dari World Wild Fund (WWF) untuk Pontianak, menyatakan keprihatinannya atas pembukaan lahan sawit oleh PT MSP. “Saya tidak mengerti mengapa mereka harus membabat hutan karet masyarakat yang masih produktif. Masih banyak lahan kritis yang dapat diupayakan,” ujar dia.

Menurut Haryono, Pemerintah Daerah dan kepolisian harus menyidik kebakaran lahan PT MSP, yang merembet pada lahan rakyat. Sebab modus pembukaan lahan dengan cara dibakar, telah menjadi hal lumrah yang selalu ditutup-tutupi.

“Membakar lahan tetap lebih murah, daripada membuka lahan dengan alat berat dan banyak pekerja. Musim kemarau sering diperdaya, sebagai alasan terjadinya kebakaran tanpa disengaja, padahal dapat terjadi telah direncanakan,” tutur Haryono.

Sementara Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah (Bapedalda) Kalbar, Tri Budiarto, mengatakan penyidikan terhadap PT MSP telah dilakukan. Pemeriksaan saksi telah pula berlangsung.
Kini, seusai hujan berhari-hari, langit biru kembali terlihat di Pontianak. Kabut asap nyaris dilupakan warga Kalbar. Tetapi, bagi Acung dan petani lain yang hutan karetnya terbakar—yang terlalu perkasa untuk menangis—hanya amarah tersisa.

Mereka hanya dapat menahan amarah, sebab perlawanan secara fisik hanya membuka “pintu” baru, yakni kriminalisasi penduduk desa oleh perusahaan perkebunan. Modus lama, yang selalu berulang. Ditunggu keberpihakan dewi keadilan bagi mereka.

No comments: