Wednesday, July 23, 2008

JALAN RUSAK
Berulangnya Lakon Tutup Lobang Di Pantura....

Oleh HARYO DAMARDONO

Der.. der.. Dua ban mobil yang dikendarai Kompas, Kamis (6/3) robek lantas kempis seketika. Sebuah lobang di jalan pantai utara (pantura) Jawa, sekitar 1,5 kilometer selepas batas Kota Pekalongan (Jawa Tengah) menuju Batang, menjadi penyebabnya. Uang Rp 1,2 juta pun melayang, untuk dua ban Bridgetone.

Bukan hanya kehilangan uang, Kompas juga kehilangan waktu karena harus naik becak kembali ke Kota Pekalongan untuk mencari toko ban. Rekan Kompas yang lebih berumur, juga nyaris pingsan kelelahan karena tidak biasa mendongkrak.

Itu salah satu potret jalan pantura, jalur barang dan penumpang tersibuk di Indonesia, yang menyengsarakan pengguna jalan. Kita patut angkat topi atas kesigapan Departemen Pekerjaan Umum memperbaiki pantura walau baru penanganan darurat.

Ratusan pekerja, alat berat, dan truk-truk pasir, batu, dan aspal, kini terlihat bekerja siang dan malam di banyak titik kerusakan. Meski seringkali bekerja tanpa dilengkapi rambu pengamanan yang jelas—rawan ditabrak truk, bus, dan mobil. Pertanyaannya, seberapa lama jalan itu dapat bertahan?

Menapaki pantura pada minggu kedua bulan Maret, dari Jakarta-Cirebon-Semarang-Tuban-Surabaya hingga Gempol, memang jauh berbeda ketika melintasi ruas yang sama, September 2007 silam. Saat itu, Kompas mengecek jalan se-Jawa menjelang Idul Fitri 2007.

Ketika itu ruas Ciasem (Subang) belum banyak berlobang-lobang, begitu pula Kanci-Losari, Pekalongan-Batang, jalur Alas Roban, Semarang-Demak, lingkar Kudus, serta.Pati-Rembang-Yuwana.

Ditemui di Bandung, Sabtu (15/3), Menteri Pekerjaan Umum Djoko Kirmanto mengatakan banjirlah yang menyebabkan jalan pantura rusak parah. Berulangkali dia menegaskan, air merupakan musuh terbesar aspal.

Dapat dipahami bila ruas Pati-Rembang-Yuwana rusak akibat banjir, sebab sawah di sekitarnya terlihat masih tergenang air. Rusaknya ruas Semarang-Demak yang paralel dengan kali, juga dapat dipahami. Tetapi bagaimana menjelaskan kerusakan jalan di Alas Roban, Ciasem, dan Kanci-Losari, yang tidak kebanjiran?

Bagaimana menjelaskan jalan yang tidak kebanjiran, berlobang-lobang hanya dalam enam bulan? Apakah karena buruknya konstruksi jalan, muatan yang berlebih, atau lemahnya drainase jalan? Departemen PU tidak pernah mengurai tegas bobot ”kesalahan” masing-masing kelemahan itu, lengkap dengan persentasenya.

Ambil contoh ruas Alas Roban. Di sana, tidak pernah ada sungai meluap, singkat kata tidak banjir. Lalu mengapa berlobang? Apakah rem dari truk-truk “raksasa” itu merusak aspal sehingga timbul lobang? Lantas, mengapa jalur utara Alas Roban (di Alas Roban ada tiga jalur) yang khusus kendaraan kecil, juga berlobang-lobang, khan tidak dilewati truk dan tidak kebanjiran?

Drainase Jalan
Bila jalan dan drainase jalan tidak mungkin dipisahkan demi sebuah reabilitas jalan, maka drainase jalan di pantura adalah titik lemahnya.

Cermati tiap restoran yang jadi persinggahan bus antarkota antarprovinsi, di sana tiada drainase. Begitu pula di publik area seperti di depan Terminal Bus Tanjung, hingga di depan jembatan timbang, dapat dilihat buruknya drainase jalan.

Pada jalan yang berbatasan langsung dengan sawah misalnya, juga tidak ada drainase jalan. Yang ada, irigasi sawah yang sebenarnya bukan drainase jalan. Bila demikian, pantas kalau jalan selalu rusak akibat genangan air sehingga memperpendek usia harapan jalan yang sekitar 10 tahun.

Kelemahan drainase ini, misalnya terpantau saat melewati ruas Loh Bener Indramayu) hingga Arjawinangun (Kabupaten Cirebon) pada Rabu (5/3) dalam kondisi hujan. Di bawah jembatan Kereta Api Widasari (arah Cirebon) ada genangan air setinggi 30-an sentimeter. Ada apa dengan drainase di titik ini?

Lalu, saat melewati jalur beton di Kertasemaya, pengemudi memilih berjalan di tengah lajur. Sebab air menggenang dekat pembatasan jalan. Menabrak genangan air dalam kecepatan tinggi sekitar 60-120 kilometer per jam, sama artinya kehilangan kendali kendaraan. Khususnya di pantura, kehilangan kendali sama artinya bunuh diri.

Direktur Jenderal Bina Marga Departemen PU Hermanto Dardak, yang tahun 2008 ini dipercayai mengelola dana Rp 18,4 triliun untuk memelihara dan membangun jalan, sering menjelaskan kegagalan drainase wilayah berpengaruh pada rusaknya jalan.

Sebab drainase jalan hanya didesain menampung air limpasan dari jalan, tidak untuk menampung volume air dari genangan pada suatu wilayah. Namun demikian, lebih parah lagi bila drainase jalan tidak ada sama sekali.

Ketika Departemen PU berniat mempermanenkan perbaikan pantura pada musim kemarau mendatang, sebaiknya perbaikan drainase jadi perhatian bila ingin umur jalan lebih panjang. Mumpung pekerja turun ke lapangan, instruksikan dua hal utama, yakni perkuatan konstruksi jalan dan drainase.

Apalagi bila rencana pemerintah tidak meleset, ketika seluruh lahan tol trans-Jawa selesai dibebaskan tahun 2008 ini, ratusan truk tanah dan bahan konstruksi lainnya akan hilir mudik di pantura. Tentu saja, potensi kerusakan jalan makin besar.

Direktur Utama PT Semesta Marga Raya (SMR) Harya Mitra Hidayat misalnya telah mengatakan dalam sehari sekitar 700 truk tanah akan melintas di pantura. Ketika pembangunan konstruksi tol Kanci-Pejagan (34 kilometer), dimulai bulan depan.

Jembatan Timbang
Momok lain dalam perusakan jalan, adalah toleransi jumlah berat yang diizinkan atau JBI. Departemen Perhubungan telah menyatakan akan meniadakan JBI pada akhir 2008. Akhir Maret atau paling lambat April 2008, toleransi JBI juga akan diturunkan hingga 50 persen.

Kini, toleransi JBI kendaraan sebesar 60 persen. Artinya, jalan yang dengan desain 10 ton, diperbolehkan untuk dilewati truk bermuatan hingga 16 ton. Dalam hitungan teknis PU, toleransi 60 persen merusak jalan 6,5 kali lebih cepat.

Sangat menarik pernyataan Djoko Setijowarno, pakar transportasi Unika Soegijapranata Semarang. Sebagai wacana, dia mengusulkan agar jembatan timbang dikelola Direktorat Jenderal Bina Marga Departemen Pekerjaan Umum, agar pengawasannya lebih ketat.

”Bila pengawasan JBI oleh Bina Marga mungkin akan super ketat. Sebab sebagai pembuat jalan, mereka berupaya sekuat tenaga agar jalan tidak rusak. Bina Marga jelas akan menghindar dari tudingan tidak mampu membuat jalan yang baik,” kata Djoko. Saat ini, peran Jembatan Timbang dibawah Direktorat Perhubungan Darat Dephub.

Sejauh ini, Hermanto Dardak belum dapat menjawab usulan itu. Dia hanya menegaskan, tetapi dalam sistem yang akan diterapkan Departemen PU tahun 2009 dalam pembuatan jalan, yakni performed based contract, mensyaratkan pengawasan jembatan timbang sebagai sebuah sistem.

Artinya, kontrak antara pemerintah dan kontraktor dalam hal kinerja pembuatan jalan baru dianggap sah, ketika pengawasan JBI oleh Jembatan Timbang dianggap optimal. Ini sisi sulit performed based contract itu, padahal dengan sistem itu bila jalan rusak sebelum waktunya, kontraktor harus memperbaikinya dengan biaya dari kontraktor.

Segera bangun drainase lalu kaji pengalihkan pengawasan Jembatan Timbang kepada Departemen PU. Bila tidak, bersiaplah kembali menyaksikan lakon yang selalu berulang di pantura seusai musim hujan dan menjelang Idul Fitri. Tutup lobang di sana-sini....

No comments: