Wednesday, July 23, 2008

TOL BANDARA
Mengapa Baru Sekarang Meninggikan Tol Bandara?

Oleh HARYO DAMARDONO

Jumat, 1 Februari 2008, tepat ketika Jakarta dan sekitarnya diguyur hujan lebat, demikian pula Singapura. Dari Bandara Changi, saya menumpang bis rute 36 menuju pusat kota, melintasi East Coast Parkway menyusuri tepian laut. Tidak seperti Tol Sedyatmo, akses jalan Bandara Changi itu nyaris tiada tergenang air.

Beda Singapura, beda Indonesia. Meski akses transportasi menuju bandara sama-sama di tepi laut, tetapi kondisinya berbeda. Patut diketahui East Coast Parkway tidak dibangun lebih tinggi alias bukan jalan layang walaupun dikepung proyek properti.

Untuk kasus Indonesia, ternyata tergenangnya tol bandara awal Februari 2008 merupakan rekor genangan terlama yakni lebih dari dua hari. Pertanyaannya, bila peninggian tol bandara merupakan solusi terakhir, mengapa baru sekarang?

Ditemui di kantornya di tepi tol Jagorawi, Sekretaris Perusahaan PT Jasa Marga Tbk Okke Merlina mengatakan, tahun 2006 Jasa Marga telah memastikan peninggian tol. Riset telah dilakukan Agustus 2001 oleh Pacific Consultants International (PCI) atas biaya Japan Bank for International Cooperation.

Dari hasil riset, PCI merekomendasikan peninggian sekaligus penambahan lajur (2x2 lajur) berkonstruksi Pile Slab atau tiang pancang, setinggi 1,5 - 2,0 meter dari elevasi tol yang sudah ada.

“Selama ini, Jasa Marga terkendala izin dari Departemen Kehutanan,” ditegaskan Okke. Pelebaran dan peninggian tol harus menggunakan lahan hutan lindung mangove Menurut hitungan kasar, Jasa Marga diwajibkan mengganti lahan 19,1 hektar, karena regulasi menghendaki tukar guling lahan.

Lampu hijau telah diberikan Menteri Kehutanan MS Kaban, Senin (4/2) dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi IV DPR RI. “Tetapi, izin baru dikeluarkan setelah persetujuan DPR. Ini sudah prosedur," kata Menhut.

“Ada birokrasi yang harus dilalui,” dikeluhkan Okke. Selain izin Menhut, harus pula berkoordinasi dengan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Jasa Marga pun mendesak peninggian tol dapat dimulai Maret 2008, tanpa harus menunggu seluruh proses perizinan selesai, karena banjir akan datang lagi. Diharapkan akhir 2008, peninggian tol selesai.


Tidak Diprediksi
Ketika mulai beroperasi tahun 1984, Bandara Soekarno-Hatta diharapkan bertahan 100 tahun. Seharusnya, selama itu pula tol Sedyatmo dapat dioperasikan. Maka, bila sedari awal tidak didesain layang, mengapa kini harus ditinggikan?

Apakah Jasa Marga mampu tidak memprediksi datangnya banjir? Ataukah, pondasi cakar ayam ternyata tidak mumpuni? Ataukah, tata ruang di sekitar tol bandara berubah dengan cepat selama 24 tahun terakhir?

Apapun jawabannya, pelebaran sekaligus peninggian tol yang tendernya kini diperebutkan 15 kontraktor membutuhkan Rp 260 miliar untuk sisi selatan, berarti untuk dua sisi tol dibutuhkan Rp 520 miliar.

Dari panjang delapan kilometer, satu kilometer (Pluit ke Kamal) hanya berupa pelebaran, sedangkan tujuh kilometer (Kapuk-Penjaringan-Kama) berupa pelebaran sekaligus peninggian.
Jasa Marga memastikan, tidak dibangun pintu gerbang (on-off ramp) pada ruas ini, sehingga calon penumpang dapat bablas langsung ke bandara, tanpa terganggu lalu lintas yang keluar di simpang susun atau interchange Penjaringan, dimana nantinya terhubung tol West 1 Jakarta Outer RingRoad/ JORR (dari Penjaringan-Kebon Jeruk/ Mal Puri Indah).

Sebenarnya proyek senilai Rp 520 miliar itu, menghabiskan dana setara pembebasan lahan tol Cikampek-Palimanan sepanjang 116 kilometer (ruas tol terpanjang di Indonesia). Andai tol bandara tidak banjir, harusnya ada pembangunan lain yang dapat dinikmati.

Penataan Ruang
Badan Metereologi dan Geofisika menyatakan, curah hujan Jumat (1/2) lalu kok ya terkonsentrasi di Cengkareng (317 milimeter). Bandingkan, dengan curah hujan pada hari yang sama di Halim (136 mm), Ciledug (160 mm), Depok (55 mm), Tambun-Bekasi (65 mm), Citeko-Bogor (70 mm), Dermaga (76 mm), dan Gunung Mas-Puncak (74 mm).

Tetapi bagi hidrologis Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Sutopo Purwo Nugroho, hujan tidak dapat dikambinghitamkan. “Penataan ruang harus dikedepankan. Banjir harus diatasi dengan penanganan komprehensif,” ujar dia.

“Ketika tol mulai membangun tol memang tidak diprediksi kawasan Kapuk-Penjaringan-Kamal berkembang seperti sekarang,” kata Okke. Dari awal, memang akan ada penambahan lajur seturut penambahan volume kendaraan, walaupun bukan jalan layang.

Selain penataan ruang, Sutopo menyarankan pembenahan drainase, sumur resapan, pengelolaan Daerah Aliran Sungai, biopori, hingga normalisasi sungai atau kanal sesuai masterplan pengendalian banjir.

Tanpa pembenahan, banjir makin menggila. Sebab run-off (air yang tidak meresap dan langsung menggelontor ke laut), ujar Sutopo untuk Jakarta mencapai 81,31 persen, Kota Tangerang (72,11 persen), Kabupaten Tangerang (70,62 persen), dan Bekasi (74,24 persen).

Peninggian tol dengan konstruksi tiang pancang pun dinilai tepat. Karena konektivitas ekologi rawa tetap dipertahankan dan ruang parkir air tidak berkurang. Tetapi perlu ditegaskan kembali, upaya itu tidak berarti bila rawa terus berubah fungsi.

Maka, Pemerintah Provinsi Jakarta dan Pemerintah Daerah Tangerang harus secepatnya meninjau izin yang sudah dikeluarkan. Mungkin sulit mencabut izin, tetapi setidaknya menyetop sama sekali izin baru bagi permukiman maupun pergudangan.

Jumat, 18 Maret 1994, almarhum Radinal Mochtar (Menteri Pekerjaan Umum ketika itu) telah menyatakan tol bandara terancam banjir akibat rawa di daerah Kapuk, diuruk dan berubah fungsi. Dan kini, kita sebenarnya masih berkutat di situ-situ juga.

Mau tahu apa yang terjadi bila hanya tol yang ditinggikan, dan permukiman baru yang bermunculan ternyata akhirnya kebanjiran? Niscaya, akses tol menuju bandara tetap terblokade. Kenapa? Karena di republik ini korban banjir pun—seperti terlihat di tol Cawang-Tanjung Priok-Pluit tahun 2007—mengungsikan mobil bahkan dirinya di jalan tol, yang posisinya lebih tinggi!

No comments: