Wednesday, July 23, 2008

Ulat Sutera: Uluran Tangan “Saudara Tua”


oleh: HARYO DAMARDONO

”Lihat, kokon (kepompong) ulat sutera ini berwarna keemasan. Sekarang kami menanam pohon tidak hanya agar ulat hidup, tetapi agar hidup kami membaik,” ungkap Sabar, penjaga hutan Karang Tengah, Imogiri, Kabupaten Bantul. Hutan itu sedang dihijaukan pemerhati ulat sutera, keluarga Keraton, Pemda, dan penumpang Garuda Indonesia rute Jepang.

Hutan Desa Karang Tengah berjarak 15 kilometer tenggara pusat kota Yogyakarta, atau 2 kilometer dari pemakaman raja-raja Jawa Imogiri, yang dibangun Sultan Agung Hanyokrokusumo tahun 1645. Topografinya berbukit-bukit, dengan bukit Imogiri seolah menjadi sentralnya.




Pak Sabar pun mengajak berkeliling, memamerkan reboisasi yang mengubah lahan kritis menjadi hutan perkembangbiakan ulat sutera. Sesekali, dia menunjuk ulat-ulat sutera, yang hidup di pohon jambu mete, alpukat, sirsat, mahoni, dadap, atau keben.

Tiap kali ditanya, dia, yang bersetelan hitam-hitam dilengkapi sepatu laras, mengawali jawaban dengan kata, ”Siap!” Lebih mirip paramiliter daripada abdi dalem, walau tanah yang dipijaknya merupakan Sultan Ground, lahan milik Keraton Yogyakarta Hadiningrat.

Sabar adalah warga Karang Tengah. Layaknya warga desa Karang Tengah lainnya, Sabar tidak terlalu sejahtera. Tinggal di kawasan berbukit-bukit, membuatnya mustahil menanam padi, apalagi air sulit didapat. Di kawasan ini bermukim pula transmigran lokal, diantaranya pedagang Parangtritis, para korban gempa bumi Yogya.

"Kami mendapat banyak tawaran lokasi, diantaranya di Kaliurang. Tetapi lebih baik di Karang Tengah untuk sekaligus memberdayakan masyarakat kurang beruntung,” kata Direktur PT Yarsilk Gora Mahottama Fitriani Kuroda.

Fitriani adalah pendamping warga Karang Tengah. Dia eksportir benang sutera tujuan Jepang yang kerap bekerja sama dengan Gusti Pembayun, puteri sulung Sultan Hamengkubuwono X. Gusti Pembayun-lah yang memperkenankan Sultan Ground Karang Tengah disulap jadi koloni ulat sutera.

Awalnya, adalah Profesor Hiromu Akai, Ketua Perkumpulan Sutera Liar Dunia, yang mencekoki pikiran kerabat keraton Yogyakarta termasuk Fitriani, bahwa ulat sutera Indonesia sangat bernilai. Bukan ulat sutera budidaya, tetapi ulat sutera liar.

Sebelumnya, warga menganggap ulat sutera sekedar hama, sekedar entung, ungkrung. Kedatangan ulat sutera yang menggundulkan seluruh dedaunan bahkan dibahasakan sebagai ”serangan”. Tidak jarang, entah apakah dimaknai sebagai aksi balas dendam, warga mengganyang, menggoreng lantas memakan hama itu.

Sebagai mitra Universitas Gajah Mada, yang kerap menyusuri pedesaan di Yogyakarta, Prof Hiromu melihat realita itu. Dia terkejut! Terlebih, setelah dia mengidentifikasikan ulat sutera spesies Cricula Triphenestrata, sebagai satu-satunya spesies sutera liar di dunia yang menghasilkan benang warna emas.

Prof Hiromu sempat mencoba membudidayakan Cricula di Jepang namun gagal. Tampaknya, spesies ini hanya hidup di habitat dan iklim tertentu seperti di Pulau Jawa ini. Cricula merupakan spesies unggul ulat sutera di Pulau Jawa, selain spesies ulat sutera lain yang hidup di pulau ini seperti Attacus atlas dan jenis Antheraea

“Karena ulat sutera liar spesies ini hanya hidup di Indonesia, seharusnya kainnya menjadi produk eksklusif Indonesia. Boleh jadi, produknya dapat disejajarkan dengan produk brand internasional seperti Armani dan Gucci,” kata Fitriani penuh semangat.

Sekedar pembanding, satu kilogram benang dari ulat murbei yang dikolonikan di ruangan dihargai Rp 60.000- Rp 120.000. Sedangkan satu kilogram benang dari ulat sutera liar dihargai Rp 1,5 juta (warna cokelat) hingga Rp 2 juta (warna emas).

Dikatakan Fitriani, bila Indonesia mengandalkan produk ulat sutera murbei, maka kalah bersaing dalam kualitas dan harga dibanding China. Negara yang mengembangkan budidaya ulat sutera sejak 5.000 tahun lalu yang diperkenalkan permaisuri Lei Zu.



Penumpang Garuda
Berbeda dengan ulat sutera budidaya, yang dikoloni di ruangan, ulat sutera liar hidup di luar ruangan. Lebih rentan terhadap predator seperti semut, burung dan cecak, tetapi benangnya lebih berkualitas. Bagai ayam broiler dibandingkan dengan ayam kampung.

Karena hidup di alam maka dibutuhkan lahan luas untuk menanam pohon dimana ulat sutera hidup. Dari Sultan Ground Karang Tengah seluas 40-an hektar, maskapai Garuda Indonesia menyepakati penghijauan di atas lahan 12 hektar dengan menanam hingga 50.000 batang pohon.

Bertajuk ”One Passenger, One Tree”, nantinya penumpang Garuda rute Jepang, diharapkan menyisihkan dana 1.000 yen membeli satu pohon. ”Penumpang Jepang sangat setuju. Mereka menghargai terbang bersama Garuda sebab merasa turut menghijaukan lingkungan dan mengurangi pemanasan global,” ujar juru bicara Garuda Indonesia Pujobroto.

Mengapa warga Jepang, sang saudara tua yang diajak terlibat? Sebab warga Jepang dengan tingkat kesejahteraan tinggi, lebih sensitif dengan isu lingkungan. Mereka lebih menghargai produk alam, apalagi kemudian diproses dengan tangan, hand-made.

Dibayangi kebudayaan China, orang Jepang mengakrabi kain sutera. Warga Jepang pun menyukai karya yang kaya dengan detail dengan kualitas terbaik. Maka ”saudara tua” ini, dinilai cocok jadi bapak angkat warga Karang Tengah.

”Kami juga membuat program eko-tourism. Jadi turis Jepang tidak hanya datang ke Borobudur atau Bali, tetapi diajak ke desa wisata lingkungan seperti Karang Tengah,” kata Arif Wibowo, Manajer Distrik Garuda Indonesia untuk Jepang, China, Korea Selatan, dan Amerika Serikat.

Kini, Garuda telah melayani penerbangan menuju Tokyo dan Osaka. Bulan Juni 2008, akan dibuka rute Denpasar-Nagoya, yang uniknya sudah 70 persen kursi pada bulan itu laku terjual. Tiap tahun ada 100.000 penumpang untuk rute Tokyo, dan 60.000 penumpang untuk rute Osaka. Sebanyak 80 persen penumpang ternyata berstatus turis!

Dampak pariwisata baru akan terlihat setelah Hutan Karang Tengah semakin rimbun. Namun kini, ibu-ibu dari sekitar 100 kepala keluarga Karang Tengah, telah menikmati hasil industri rumah tangga ulat sutera.

Dalam seminggu, mereka dapat menyelesaikan empat lembar atau sheet kerajinan ulat sutera liar. Tiap lembar dihargai Rp 17.000. Ketika Karang Tengah belum menghasilkan cukup bahan baku, kokon didatangkan dari Kabupaten Gunung Kidul.

Bupati Bantul Idham Samawi menyambut baik uluran tangan berbagai pihak terhadap Karang Tengah. Dikatakannya, lahan yang semula tandus ternyata dapat dijadikan desa wisata. Pemandangannya bagus. Jalan aspalnya, tanpa lobang.

Fitriani menjanjikan pula pendirian laboratorium ulat sutera, selain pabrik pemintalan benang dan wisma penenunan kerajinan ulat sutera. Akan dibangun pula pondok-pondok penginapan, dengan material kayu.


Desa Karang Tengah, nantinya akan melengkapi ”koleksi” desa wisata Kabupaten Bantul. Saat ini, sudah dikenal Desa Manding (kerajinan kulit), Desa Kasongan (kerajinan Gerabah), Desa Pundong (kerajinan Gerabah), Desa Banyusumurup (kerajinan keris), serta Desa Pendowoharjo (kerajinan patung primitif).

7 comments:

Anonymous said...

bapak saya asalnya dari imogiri, banyak saudara saya tinggal disana dan sekitarnya termasuk karang tengah. tapi jujur saya baru tau kalau di sana ada budidaya ulat sutra liar...
subhanallah.

Adi Wibowo said...

Saya dapat informasi, awal penelitian mengenai ini antara Prof Hiromu dilakukan dengan / oleh Dosen-dosen Universitas Wangsa Manggala (sekarang Universitas Mercu Buana Yogyakarta) dengan biaya dari Dirjen Dikti. Saya sedih pada pengembangan lebih lanjut team dosen ini ditinggalkan ....... bagaimana mas Haryo Damardono?????

Adi Wibowo said...

Aspek lain yang perlu dicermati adalah alih teknologi pengolahan kepompong kepada petani tidak dilakukan sementara pembelian kepompong dalam jumlah terbatas. Pada saat 'produksi' kepompong melimpah tidak dibeli. Kondisi ini mempunyai implikasi niaga tidak berkembang karena akses informasi / teknologi ke masyarakat tertutup. Seandainya teknologi dikembangkan di Indonesia maka peluang lebih besar untuk kesejahteraan masyarakat.

Saya khawatir, analoginya seperti kasus cendana di Nusa Tenggara yang terancam punah akibat kebijakan yang 'salah'. Revisi Perda yang membebaskan cendana yang tumbuh di lahan penduduk menjadi milik penduduk membuat cendana berkembang lebih baik karena penduduk dengan senang hati memelihara cendana yang tumbuh di lahan / kebunnya.

Alih teknologi pengelolaan dan pengolahan kepompong sutera liar di tingkat petani akan memastikan motivasi yang lebih tinggi selain membuka peluang income lebih baik bagi mereka.

Anonymous said...

alamat email saya: adi_most@yahoo.co.id

Darmudi Susanto said...

Wah emang ulat sutra dapat memberikan peluang bisnis buat kita yang kreatif ya gan, dari texturnya yang alami dan warna kuning ke emasan ,sangat bagus untuk bahan kerajinan yang bernilai ekonomis.

Untuk menjual kepompompong ulat sutra emas di mana ya gan ?

Ttims infonya baca juga postingan saya ya gan http://www.biaspelangi.pe.hu/2015/03/kerajinan-tangan-kerajina-dari-sutra.html?m=1

Unknown said...

bapak ulat suteranya dijual tidak?

Unknown said...

bapak ulat suteranya dijual tidak?