PG TASIKMADU: TENAGA PRIMA, TEBU TIADA
Pabrik iki openono, senajan ora nyugihi, nanging nguripi, kinaryo papan pangupo jiwone kawulo dasih. (Pabrik ini peliharalah, meskipun tidak membuat kaya, tapi menghidupi, memberikan perlindungan, menjadi jiwa rakyat kecil).
Demikianlah pesan KGPAA Mangkunegara IV, satu-satunya pribumi yang menggagas keberadaan pabrik gula (PG). Visinya tegas! Keberadaan PG demi penghidupan rakyat kecil, misinya pun jelas, sebab PG di mana saja adalah proyek padat karya.
Ratusan hingga ribuan orang, mulai mekanik mesin, masinis lokomotif tebu, sopir truk, hingga pembabat tebu adalah serpihan faktor produksi sebuah PG yang menggantungkan hidupnya di situ. Mengepulnya asap dapur, di samping keberlanjutan ekonomi daerah, mau tak mau turut dipengaruhi sebuah PG.
Bicara tentang sejarah keemasan Mangkunegaran, maka keberadaan PG Colomadu yang didirikan 1861, dan PG Tasikmadu yang berdiri sepuluh tahun setelahnya menjadi bagian tak terpisahkan.
Singkap selubung kotak seng yang tersembunyi di belakang kantor Administratur PG Tasikmadu, Kabupaten Karanganyar, maka sebuah gerbong kereta bercat hijau buatan S Chavalier Constructe, Paris-Perancis, yang biasanya digunakan Mangkunegara IV untuk meninjau rakyat, menjadi saksi bisu zaman keemasan ini.
Telusuri pula rel-rel lori tebu yang kini tak lagi terpakai, niscaya sebuah bukti mengguritanya jaringan rel ke lahan-lahan petani tebu menjadi tidak terbantahkan. "Saya sampai merinding bila berkendaraan dari Tawangmangu ke Karanganyar dan menyaksikan jaringan rel lori yang tak terpakai. Hal ini menunjukkan dahulu industri gula pernah berjaya bahkan hingga diekspor ke luar negeri," kata Administratur PG Tasikmadu, Hanung Trihutomo, Juni 2004.
Memasuki bangunan utama pabrik yang bertuliskan PG Tasikmadoe maka lampu hijau diatas gerbang utama, serta asap putih yang mengepul dari cerobong utama PG, menjadi penanda aktifnya pabrik.
Sekitar 670 pekerja tetap dan kurang lebih 3.000 pekerja musiman PG memulai kembali kerja kerasnya selama tiga bulan musim panen raya tebu 2004, sedangkan mesin-mesin utama PG yang diproduksi Machinefabriek Gebr Stork & Co pada tahun 1926 dengan perkasanya mulai bekerja kembali. Bukan hanya menggiling tebu, tapi juga memasak, mencampur, dan mengkristalkan cairan tebu menjadi gula.
BAU kolonial -yang tak selalu harus berkonotasi negatif -ajaibnya masih tercium kental di PG ini. Panggilan administratur bagi kepala PG, masinis bagi kepala teknik PG, merupakan kultur sehari-hari yang belum terkikis modernisasi.
Bila Anda berdialog tentang nira atau gula kristal putih-hal demikian akan percuma, sebab pekerja PG takkan tahu hal itu. Bagi mereka nira adalah sap, gula kristal putih adalah superior hoof suiker (SHS), dan tebu adalah riet.
Bila Anda menanyakan di mana kepala pengolahan PG kepada pekerja pabrik, mereka akan bingung karena mereka biasa memanggilnya dengan Pak FC atau fabrikaat chef -atau dokter gula- demikian sebagian petani tebu menyebutkannya.
Bukti zaman keemasan gula Indonesia masih terekam dari peninggalan yang ada. Rumah tua administratur, lengkap dengan seperangkat gamelan dan meja biliar tua, lantas pedang-pedang tahun 1800-an dengan pelindung tangan, masih tersimpan di rumah satpam. Menurut asisten masinis Edi Suroso, turis-turis asing yang menyambangi PG ini, bahkan sering berupaya membeli alat-alat produksi PG bukan untuk mengolah tebu melainkan sebagai barang koleksi.
Hampir semua alat produksi nyaris tidak tersentuh pergantian zaman. Secara konkret hanya mesin utama pabrik yang direnovasi di tahun 1988/1989, lainnya tidak! Sekitar lima lokomotif tua dengan beban maksimal 24-30 lori, juga masih berseliweran, menaikkan tebu dari crane tebu di sisi selatan pabrik, lalu memasukkannya ke pelataran sisi timur PG.
Bukan main-main, loko tebu dengan mekanisasi ketel uap dan berbahanbakarkan ampas tebu (bal), ada yang berangka tahun 1910-an. Ambil contoh, loko nomor III berkekuatan 80 PK (paardekracht, tenaga kuda) diproduksi Orenstein & Koppel Arthur Koppel AG Berlin-Germany tahun 1913, serta loko nomor X berkekuatan 150 PK diproduksi Orenstein & Koppel AG Berlin-Germany tahun 1929.
WALAU demikian, Administratur PG Tasikmadu, Karanganyar, menolak mentah-mentah kalau PG ini dikatakan tidak mampu lagi bersaing mengolah tebu karena uzurnya alat produksi. "Kapasitas mesin giling kami sekitar 1.500 ton tiap hari sehingga menurut perhitungan dapat diberdayakan untuk memproduksi 450.000 ton tebu pada musim panen. Tapi, pada kenyataannya PG Tasikmadu kami proyeksikan di tahun 2004 hanya mengolah maksimal 350.000 ton tebu," katanya merujuk pada penurunan produktivitas dan produksi tebu dari petani.
Kini, kurangnya produksi tebu membuat pabrik ini tidak lagi memancarkan auranya. Hal sederhana, batang-batang tebu yang masuk pun, tidak berwarna hijau segar, melainkan cokelat kering.
PG Tasikmadu, yang pada awalnya sekitar tahun 1870 dibaptis dengan nama PG Sudokoro oleh Mangkoenegara IV juga menggantungkan diri sepenuhnya pada kemurahan hati petani. Sebab, dengan besaran lahan tebu PG Tasikmadu kurang lebih 5000 hektar, dari besaran lahan itu, hanya tujuh persen yang dimiliki PG, sisanya 93 persen dimiliki petani.
Sebelum tahun 1997, PTPN IX mempunyai 13 PG, namun selain karena kekurangan biaya operasional, lima dari ke-13 PG ini yakni PG Cepiring (Kendal), PG Banjaratma (Brebes), PG Colomadu (Karanganyar), dan PG Ceperbaru (Ceper-Klaten) juga ditutup karena kekurangan bahan baku.
Sedangkan, delapan PG yang masih beroperasi ialah PG Tasikmadu (Karanganyar), PG Jatibarang (Brebes), PG Pangkah (Tegal), PG Sumberharjo (Pemalang), PG Sragi (Pekalongan), PG Mojo (Sragen), PG Gondang Baru (Klaten), dan PG Tersana Baru (Brebes). Akankah Tasikmadu bertahan ataukah harus ditutup? (haryo damardono)
Saturday, March 11, 2006
Diposting oleh haryo98 di 4:57 PM 4 komentar
Friday, March 10, 2006
SAAT FAJAR MEREKAH DI KEDUNG OMBO
NYASAR di Kedung Ombo? Itu biasa..... Kurangnya papan petunjuk ke lokasi wisata ini memang merupakan kritik terhadap pemerintah setempat.
Jika Anda bertanya kepada penduduk lokal, Anda akan dijawab, "Mau ke Kedung Ombo, Mas? Panjenengan sampai di Banyudono belok ke utara, Desa Sambi ke utara lagi, Simo belok ke timur, lalu ke utara, ke barat sedikit, terus utara lagi. Nah, sampai di Klego, bablas ke timur, lalu ke utara di kawasan Munggur, maka sampailah di Kemusu, tepian Kedung Ombo, dari arah selatan."
Persoalannya, mana timur, mana utara, mana selatan, mana barat! Bolehlah Anda melihat matahari untuk menentukan arah, namun bila di kawasan Candi Cetho, Karanganyar, persoalan jadi rumit, sebab dalam semenit saja mungkin lebih banyak kabut-nya dari terik mentari. Persoalan lain, tak semua desa secara fisik berbentuk desa, di samping banyaknya perpotongan jalan di sana. Mau belok ke timur, di mana?
Ini tak seharusnya jadi kritik kalau pemerintah setempat melakukan otokritik karena menyangkut potensi pelancong yang dapat digaet. Ini berarti pula peningkatan pendapatan asli daerah (PAD), selain pendapatan bagi warga setempat. Demikianlah, untuk mencapai Waduk Kedung Ombo membutuhkan perjuangan tersendiri. Padahal, potensi waduk seluas 4.600 hektar pada elevasi air normal, yang menggenangi sebagian tiga kabupaten, yakni Boyolali, Grobogan, dan Sragen, masih belum terjamah, masih perawan.
Keelokan alam Kedung Ombo dapat disaksikan dengan sederhana bila melintas di jembatan Klewor sepanjang 240 meter di kawasan Kemusu yang menghubungkan Desa Kemusu dengan Desa Genengsari di Kabupaten Boyolali. Bila Anda menyambangi kawasan ini pagi hari, berrhentilah sejenak di jembatan ini, maka kabut yang masih menggantung-melayang rendah di permukaan danau yang kadang tak beriak bak cermin, akan ditingkahi fajar yang merekah perlahan di ufuk timur.
Berbeda dengan Rawa Pening di Kabupaten Semarang, permukaan waduk ini benar-benar bersih, tanpa "pulau-pulau" eceng gondok. Pemandangan luar biasa terhampar, terlebih bila di sana-sini terlihat perahu nelayan hilir mudik menebar jala mereka. Di kejauhan juga terdapat keramba-keramba ikan air tawar yang berserakan di permukaan Kedung Ombo.
Di sisi lain, menyelami keelokan alam Kedung Ombo, kiranya akan disempurnakan pula dengan keberadaan tukang ikan bakar, sebagaimana kerap dijumpai di Desa Boyolayar, Sumberlawang, Sragen. Cukup membayar Rp 20.000, kenyanglah Anda! Namun, ada satu cara tepat "menemani" pengalaman "spiritual" menyaksikan keindahan Kedung Ombo secara fenomenal, yakni wisata tutur!
Trik terbaik untuk memulai wisata ini adalah sapalah penduduk setempat sembari menunjuk tonggak-tonggak pohon yang muncul di permukaan air di tepi waduk. Siapa tahu Anda dibawa keliling desa, menyusuri tepi waduk sembari menceritakan ihwal air yang perlahan menenggelamkan ratusan desa, lahan petani, dan hutan rakyat.
Bila beruntung, mereka akan menawari Anda segelas teh pahit hangat sembari duduk di beranda belakang rumah yang dibangun pemerintah sebagai kompensasi penenggelaman desa mereka. Lantas, mereka akan bercerita apa saja, sembari menunjuk ke tengah waduk dan memandang getir ke bekas makam yang timbul akibat elevasi air waduk yang mulai surut.
Kini, wisata Kedung Ombo mulai digarap serius terutama oleh Pemerintah Kabupaten Sragen. Bila ada waktu, jambangilah Desa Boyolayar, Kecamatan Sumberlawang, Sragen. Di tepian danau "atas prakarsa Bupati Sragen H Untung Wiyono" dibangun hotel berbintang di atas lahan empat hektar di sebuah tanjung Boyolayar. Pemandangan eksotis, olahraga air, dan rerimbunan hutan milik Perhutani menjadi daya tawar wisata Kedung Ombo.
Di kawasan ini pula, beberapa waktu lalu, akan dibangun sirkuit balap mobil, motocross, pacuan kuda, dan taman safari. Saat ini, tiba waktunya menyulap Waduk Kedung Ombo dari bencana menjadi berkah, terutama bagi penduduk Kedung Ombo yang sekian lama tersisihkan oleh proyek yang ada di sekitar permukiman mereka. (haryo damardono)
Diposting oleh haryo98 di 5:56 AM 1 komentar
SANGIRAN DOME, KEPINGAN ASAL MANUSIA
"Apa gue bilang!" demikianlah mungkin Charles Darwin, penulis The Origin of Species pada tahun 1859 akan berteriak, saat situs bersejarah Sangiran ditemukan. Namun apa daya, dia telah wafat ketika pada tahun 1936-1939 ditemukan rahang bawah maupun atap tengkorak manusia purba, di tepian Sungai Cemara, Sangiran, yang oleh G. H. R. von Koeningswald diklasifikasikan sebagai Pithecanthropus II.
Dan, terbukalah mata dunia ketika itu, yang tertuju pada Sangiran di Kabupaten Sragen, Jawa Tengah. Berkunjung ke Sangiran, tak sekadar menikmati segarnya udara dan pemandangan alam, tetapi seolah menyaksikan perjalanan hidup-evolusi manusia.
Bila pelancong tiba di sana, alam begitu menawan. Berdirilah di tepian cekungan Sangiran, maka lembah hijau menghampar. Namun, apa yang terkandung di dalam tanah, ataupun apa yang tersingkap dari erosi tanah sangatlah spektakuler dibanding alam di muka Bumi. Betapa tidak! Fosil dari ratusan ribu hingga jutaan tahun yang lalu seolah "muncul" kembali ke permukaan.
SITUS wisata Sangiran merupakan kawasan konservasi kepurbakalaan yang terletak sekitar 20 kilometer utara Kota Surakarta. Situs Sangiran ini berada dalam kawasan seluas 56 kilometer persegi, sedangkan di Sangiran Dome yang merupakan wilayah konservasi inti, terdapat pelarangan pembangunan memiliki luas sekitar 30 kilometer persegi.
Perjalanan menuju Sangiran dapat ditempuh dengan mudah. Dari pagi hingga petang, puluhan bus baik ukuran sedang maupun besar, hilir-mudik sepanjang jalur Solo-Purwodadi. Sebelum mencapai Kota Gemolong, yang telah ditetapkan sebagai ibu kota kedua, second capital Sragen, berbeloklah ke arah timur tepat di perempatan Kalijambe menuju ke jantung Sangiran. Dari jalur utama Solo-Purwodadi, Sangiran Dome dapat dicapai sejauh kira-kira tiga-empat kilometer dengan kondisi jalan bergelombang.
Ada dua pilihan utama ketika tiba di situs Sangiran. Berbelok sedikit ke utara menaiki tebing Sangiran Dome menuju menara pandang Sangiran, ataukah langsung menuju timur memasuki cekungan Sangiran mengunjungi Museum Sangiran.
Bila pilihan jatuh menyambangi menara pandang Sangiran, maka bersiaplah mendaki menara setinggi 11 meter. Dari atas menara, pelancong dapat melayangkan pandangan sebebas dan sejauh mungkin, walau patut disayangkan tak terdapat sebuah teropong pun untuk membantu penglihatan.
Selain itu, rencana untuk memasang bendera-bendera sebagai petunjuk lokasi penemuan fosil pun belum terealisir. Tepat di bagian timur menara pandang, terdapat pula sebuah bangunan joglo luas, yang dipersiapkan sebagai tempat beristirahat, serta akan dipromosikan untuk wisata homestay.
Sebaliknya, apabila pelancong memutuskan langsung menuju Museum Sangiran, kira-kira 300 meter timur menara pandang, berhentilah terlebih dahulu di depan Sekolah Dasar (SD) Krikilan, Ngampon, Kecamatan Kalijambe. Setelah itu, tengoklah kepala Anda ke arah kanan, dan tepat di seberang areal persawahan akan tampaklah singkapan tanah akibat erosi seusai hujan.
"Tanah yang tererosi hujan itu menampilkan lapisan tanah yang masih terjaga baik dari lapisan Pucangan. Lapisan terbentuk dari lempung hitam yang diendapkan di rawa, serta dapat diamati pula lapisan tufa vulkanik yang sangat halus dan lapisan alga silika yang diendapkan di daerah muara. Lapisan tanah ini pun berusia sekitar 1,2 juta tahun-700.000 juta tahun,- kata petugas Museum Sangiran, Nining.
Di lokasi tersebut, banyak ditemukan binatang-binatang laut yang mempertegas bahwasannya cekungan Sangiran dulunya merupakan perairan dangkal, yang terangkat menjadi sebuah danau purba, dan akhirnya menjadi sebuah daratan di tengah pulau Jawa.
Menurut Nining, singkapan Krikilan ini hanya satu dari sekian banyak situs penemuan, yang antara lain terdapat pula di singkapan tanah dekat dam Kali Cemoro. Seusai menyaksikan situs Krikilan, melajulah ke timur hingga pusat desa dan berbeloklah kembali ke kanan-ke arah selatan, maka sampailah pelancong di Museum Sangiran. Setelah menaiki puluhan anak tangga hingga mencapai puncak bukit di mana museum berada, masukilah Museum Sangiran dengan sajian pemandangan kepurbakalaan berupa Gading Stegodon Trigonocephalus.
Harap diingat: Gading ini bukanlah hasil penyimpangan sejenis penyakit pada kepala, melainkan gading binatang purba yang berukuran empat meter. Gading tersebut ditemukan di Dukuh Blimbing, Desa Cangkol, Kecamatan Plupuh, Kabupaten Sragen, dari endapan Kabuh Bawah. Selain itu, terdapat pula puluhan fosil yang tersimpan dalam tiga ruangan.
Menurut Kepala Museum Sangiran Roesmulya, dalam waktu dekat akan dibangun museum dengan diorama dan convention hall di bawah tanah. Dia pun membuka pintu gudangnya dan menunjukkan puluhan fosil yang belum bisa dirangkai dan dipertontonkan. "Sangiran dalam waktu dekat akan memiliki museum yang lebih representatif," kata Roesmulya.
Pengunjung menyaksikan pemandangan indah dari pusat Sangiran Dome terhadap suksesi stratigrafi. Tanpa sadar, berdirilah saya di atas bukit breksi vulkanik tua berusia 1,8 juta tahun, dan bukan mustahil di bawah telapak kaki, bersemayam tengkorak-tengkorak leluhur kita. (haryo damardono)
Diposting oleh haryo98 di 5:39 AM 0 komentar
MENIKMATI GROJOGAN SEWU DI KAKI GUNUNG LAWU
"PINDAHKAN kendaraan Anda agak menjauh! Jangan diparkir terlalu dekat di gerbang masuk taman wisata," kata petugas Taman Wisata Alam Grojogan Sewu memperingatkan.
Bukan tanpa sebab dia berkata demikian, pasalnya gapura dan bangunan loket karcis tersebut termasuk teritori "kekuasaan" monyet-monyet berbulu kelabu yang merupakan salah satu "kekayaan" Grojogan Sewu. Dan, tanpa tedeng aling-aling, para monyet dapat begitu saja menorehkan kukunya di jok motor ataukah cat mobil.
Ibarat penyedap rasa, para monyet hanyalah satu unsur "kenikmatan" alam Grojogan Sewu, yang terletak di Kelurahan Kalisoro dan Kelurahan Tawangmangu, Kecamatan Tawangmangu, Kabupaten Karanganyar, sekitar 40 kilometer tenggara Kota Surakarta.
Menyaksikan mereka bertingkah tak ubahnya manusia, itu merupakan hiburan tersendiri. Sementara itu, sajian utama adalah air terjun-atau grojogan-demikian orang Jawa berkata, dan keindahan hutan alam taman wisata ini.
Air terjun spektakuler di Pulau Jawa ini, berketinggian 81 meter. Superb! Bahkan, beberapa puluh meter dari inti grojogan, butir-butir air masih sanggup memercik di muka Anda. Di dataran tinggi kawasan ini, tempat di mana berton-ton air jatuh bebas mengempas bumi, pepohonan masih tumbuh dengan asrinya. Hijaunya lumut ditambah dengan udara yang sejuk di ketinggian 1.100 meter di atas permukaan air, menyitir salah satu produk iklan-seakan membuat hidup menjadi lebih hidup.
Selain itu, di bagian utara air terjun utama, mengalirlah pula beberapa riam sehingga layaklah air terjun ini diimbuhi kata sewu-yang berarti seribu. Selain monyet berekor panjang, yang dapat dijumpai juga tupai dan berbagai jenis burung. Sekali waktu, populasi monyet mencapai jumlah yang disangka melebihi daya dukung ekosistem sehingga untuk periode 5-10 tahun sekali di Grojogan Sewu, dipasanglah perangkap monyet.
Monyet yang tertangkap akan dipindahkan ke beberapa lokasi, di antaranya ke Solo dan kawasan hutan lindung Pantai Pangandaran, Jawa Barat. Saat ini, populasi monyet diperkirakan mencapai 100 ekor. Vegetasi tumbuhan yang dapat dijumpai di antaranya adalah pohon pinus, pohon damar, pohon kaliandra, pohon puspa, dan pohon bendo yang berukuran besar.
Tak usah banyak berpikir, segeralah berkemas, dan berkelana ke Grojogan Sewu! Jarak 40 kilometer dari Surakarta hingga Pasar Tawangmangu, dapat ditempuh dengan bus besar hanya dengan membayar Rp 3.500 tiap orang. Dari Pasar Tawamangu menuju lokasi Grojogan Sewu dapat dijangkau dengan Mitsubishi L 300 seharga Rp 1.000 per orang.
Surakarta-Grojogan Sewu pun dapat ditempuh selama satu jam perjalanan. Tetapi, kendalanya adalah bus-bus tersebut hanya beroperasi hingga pukul 17.30-18.00. Pelancong yang kemalaman dapat menyewa mobil seharga Rp 100.000 berpenumpang sembilan orang menuju Surakarta.
Kawasan wisata Grojogan Sewu dilengkapi pula berbagai penginapan bagi pelancong, baik yang kemalaman maupun sengaja bermalam. Tarifnya berkisar Rp 30.000-Rp 500.000 tiap malam. Jangan terlalu memaksakan diri mencari kamar dengan pendingin ruangan, malah air panas-lah yang merupakan kemewahan di sini.
Menurut petugas Taman Wisata Grojogan Sewu, Wanto, rata-rata setiap hari air terjun ini disinggahi sekitar 1.200 pengunjung. Namun, tentu saja jumlah ini fluktuatif dari hari ke hari. Pada akhir pekan, kawasan wisata ini dipadati 3.000-5.000 pengunjung.
Hanya dengan membayar Rp 4.000 tiap individu, kawasan wisata seluas sekitar 20 hektar dari 65 hektar kawasan konservasi dapat dijelajahi, termasuk di dalamnya kesempatan bermain air maupun berenang di dua kolam renang tanpa dipungut bayaran lagi, terkecuali untuk penyewaan pakaian maupun ban renang.
Berkuda juga dapat dijadikan alternatif hiburan. Pelancong dapat berkuda selama satu jam dengan membayar Rp 25.000, berkuda menuju kawasan air terjun seharga Rp 40.000, ataupun berkuda menuju Terminal Tawangmangu dengan hanya membayar Rp 15.000.
Uniknya, menurut informasi warga setempat, kuda pun dapat disewa untuk mengantar hingga ke Candi Sukuh dengan membayar Rp 100.000 sekali jalan. Dan, tak terlupa kuda-kuda tersebut dapat pula disewa menuju puncak Gunung Lawu dengan membayar Rp 500.000! Nah, Anda ingin mencoba? (haryo damardono)
Diposting oleh haryo98 di 5:32 AM 0 komentar
SWIKE PING PURWODADI, ADA SEJAK 1901
Restoran sederhana di Jl Kolonel Sugiono, Purwodadi masih dibanjiri pelanggan meski jarum jam menunjuk angka 21.00. Pelanggan silih berganti berdatangan seraya bertanya, "Masih ada?" sebelum mendarat di kursi makan. Aroma kuat menyengat dari kuah-kuah makanan yang mengepulkan tirai asap tipis.
Tepat di depan restoran terdapat patung kodok. Binatang kodok? Ya, mengapa tidak? Mungkin kodok salah satu binatang terpopuler di dunia termasuk di Indonesia. Yang jelas, di tangan-tangan terampil, dan lidah-lidah mumpuni wong Purwodadi, kodok diolah sedemikian rupa menjadi hidangan lezat. Tak heran terasa asing mencantumkan kata "swike" tanpa petunjuk lokasi-Purwodadi.
Malam itu, pemilik swike "Ping" Indah Lestariningsih menginstruksikan sederetan menu-menu makanan yang harus dipersiapkan demi memenuhi hasrat kuliner para pelanggan. swike kuah, kodok goreng tepung, kodok goreng mentega, pepes kodok, dan rambak kulit kodok adalah sederetan menu utama.
Indah Lestariningsih adalah pewaris bisnis keluarganya di bidang kuliner swike. Sebagai generasi ke-5, restorannya menempati lahan di mana dahulu kakek buyutnya berdiam, meracik bumbu, dan menguliti kodok, sebelum melangkahkan kakinya menapaki jalan-jalan kota Purwodadi, memikul dan menjajakan dagangan masakan swike.
"Saya generasi penerus kelima yang masih berjualan swike. Meski saya keturunan kakek buyut, pionir penjual swike di Purwodadi sejak tahun 1901, saya tak berkesempatan bertemu beliau. Tapi tak jadi soal karena toh keahlian meracik bumbu dan memasak swike diturunkan dari generasi ke generasi," kata Intan yang bernama asli Tjan Ping Nio.
Kini, swike Ping Purwodadi tak hanya dapat dinikmati di Purwodadi. Berkat jaringan keluarga, swike ini dapat dinikmati di Jl Imam Bonjol, Semarang, Jl Diponegoro, Yogyakarta, dan Jl Yos Sudarso, Solo. Restoran buka tiap hari pukul 08.00-21.00. Soal rasa? Menurut pemilik restoran swike Ping Semarang Oei Giem Nio (61), tak beda. Dia mengatakan, hampir tiap hari bumbu-bumbu swike, termasuk kodok-kodok yang akan dimasak, dipasok langsung dari Purwodadi sehingga standarisasi rasa tercapai.
Penikmat swike kuah yang diracik dengan bumbu tauco, bawang merah, irisan jahe, plus bonus aroma kuah menyengat ditingkahi uap bumbu yang harum, dapat menikmati menu kodok hanya dengan Rp 7.000 tiap porsi. Sedangkan kodok goreng tepung dan kodok goreng mentega yang dimasak dengan bumbu bawang putih, merica, bumbu wijen, dan kecapasin, per porsi Rp 8.000.
Menurut Oei Giem Nio, khusus kodok goreng tepung dan kodok goreng mentega, para pelanggannya sering memesan dalam jumlah banyak, sekitar 50-100 bungkus untuk dibawa sebagai oleh-oleh dan penawar rindu akan tanah air untuk kerabat ataupun sahabat, baik ke Singapura maupun Hong Kong. Kodok-kodok itu akan dimasukkan dalam freezer, kemudian dikukus setibanya di tujuan.
Ada pula kodok pepes seharga Rp 3.000 tiap porsi yang diolah dengan bumbu kemiri, kemudian dibakar. Bagi penggemar fanatik kerupuk, yang serasa tak bersantap bila tak menikmati mengunyah dengan sensasi keriuk.. keriuk..., tersedia kerupuk rambak kulit kodok seharga Rp 2.000 tiap kantung.
Oei Giem Nio mengatakan tak ada rahasia khusus mengolah kodok, hanya saja membersihkan jeroan dan isi perut kodok perlu dilakukan dengan benar. Bahan dasar kodok dapat dicari di mana-mana, tak harus dari Purwodadi. Hanya saja dia mengingatkan, kodok dari Cepu cenderung liat dan kenyal dagingnya sehingga membutuhkan waktu lebih lama untuk memasak. (RYO).
Diposting oleh haryo98 di 5:28 AM 0 komentar
Thursday, March 09, 2006
Kisah Di Balik Koin China Kuno..
Dalam diskusi di Balai Soedjatmoko, Ketua Kamar Dagang dan Industri Surakarta, Hardono mengungkapkan kejengkelan diperdaya guide Belanda. "Saya dibodohi ketika ditunjukkan the smallest home, yang sesungguhnya biasa menurut ukuran rumah di Solo, padahal telah membayar 10 euro," katanya.
Sepenggal cerita diungkapkan, menunjukan keberhasilan pelaku pariwisata Belanda mengemas situs wisata. "Dalam paket Eurotour, sebuah negara menyuguhi situs wisata berupa jembatan. Namun, yang luar biasa cerita sang guide, di sana kerap kali terjadi pasangan kekasih bunuh diri akibat cinta yang dilarang," kisah Hardono.
"Bayangkan, situs biasa dengan bumbu cerita luar biasa, menjadi luar biasa," tandasnya. Hardono mempertanyakan konsep pariwisata Indonesia, ketika situs yang dapat "dijual" sedemikian unik dan banyak, namun pengemasan amat minim. Menurut pengalamannya, publikasi maupun pengemasan yang terarah merupakan syarat mutlak bagi keberlangsungan pariwisata.
Terkadang, pemaknaan bahkan jauh lebih penting daripada fisik situs itu sendiri. Premis obyek sebagai saksi bisu zaman, namun bila digali dapat "bercerita" banyak, dapat disaksikan pada film Timeline, diangkat dari novel Michael Crichton. Mengambil setting lokasi di tepian Sungai Dordogne, Perancis, pada awalnya film berkisah tentang sebuah patung pasangan kekasih.
Pertanyaan mendasar diajukan para arkeolog, tentang makna di balik pembuatan patung. Pekan lalu, pada areal persawahan milik Sukiyo Haryono, di Dukuh Gelangan, Kelurahan Dukuh, Kecamatan Sukoharjo, ditemukan 20 kilogram uang kuno beraksara China. Uang itu ditempatkan dalam tempayan kuno yang hancur saat diangkat dari kedalaman 20 sentimeter dibawah permukaan tanah.
Dalam semalam, kediaman Sukiyo didatangi ribuan warga sehingga uang kuno tersebut segera diamankan di Polres Sukoharjo. Banyak spekulasi kisah dimunculkan, meski belum tentu bermuara pada kebenaran. Penemuan itu terjadi di sebuah lahan persawahan yang kini mengering dan digali untuk tanah uruk.
Sukiyo -sang penemu- menandaskan kemunculan uang kuno dimaksudkan untuk menuntaskan "penderitaan" rakyat Jawa. Konsep kedatangan "ratu adil" dari alam metafisis terpancar kuat dari tutur Sukiyo saat bercerita. Bahkan, dia mengaku didatangi seorang putri cantik berpakaian hijau yang menanyakan keberadaan uang kuno itu.
"Saya memang sengaja tidak menyimpan sendiri uang kuno itu sebab bisa jadi penemuan ini merupakan ujian dari 'penguasa' metafisis kawasan ini. Apakah saya tergoda dengan harta duniawi," ujar Sukiyo yang sering tirakatan ke berbagai kawasan spiritual.
Sejarawan UNS, Soedarmono SU, dengan tegas menolak pendekonstruksian sejarah dengan mitos. Terkait penemuan uang kuno di Sukoharjo, dia meyakini pasti ada jawabnya. Tanpa melakukan rekonstruksi lapangan, hanya melihat dari bentuk fisik, ditambah pengamatan Kompas, yang "menemukan" Bengawan Solo asli berjarak 100 meter dari situs penemuan (karena pelurusan oleh Departemen Pekerjaan Umum, kini Bengawan Solo berjarak 1.000 meter dari situs tersebut), Soedarmono menduga uang kuno atau kepeng itu bukti penetrasi perdagangan bangsa China, sejak dahulu kala.
"Dulu, kawasan Sukoharjo -kini dikenal situs Majasto- dijadikan salah satu basis pemerintahan Joko Tingkir yang kemudian dikenal dengan Sultan Hadiwijaya, penguasa kerajaan Pajang. Maka, penemuan ini mau tidak mau harus dikaitkan dengan situs Majasto yang diperkirakan berada dalam periodisasi 1300-an, pada masa Majapahit akhir," kata Soedarmono.
Alasan logis dimilikinya angkatan perang kuat oleh Joko Tingkir, menurut Soedarmono, adalah dikuasainya pusat perdagangan berskala internasional. Maka tidak mustahil, keberadaan bandar di tepian Bengawan Solo, wilayah Sukoharjo, sebagai pendukung perdagangan.
Pada gilirannya, dalam penelusuran Soedarmono, pusat perdagangan yang melibatkan bangsa China, bergeser ke utara menempati kawasan- kini dikenal dengan Kota Solo. Penelusuran ini menegaskan keberadaan pecinan di Solo, yang sesungguhnya jauh lebih tua dari Keraton Surakarta Hadiningrat yang baru berdiri pada periode 1700-an.
Kini, uang kuno tetap tersimpan di gudang Polres Sukoharjo. Iptu Agus Setiyono menandaskan, polisi telah menghubungi Dinas Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala, meski belum ada isyarat mereka akan datang. Soedarmono tak menyalahkan ketidakhadiran Dinas dimaksud sebab terdapat kemungkinan rendahnya kadar keantikan uang kuno tersebut.
Di tengah rendahnya apresiasi terhadap penemuan tersebut, atas dalih apa pun, kiranya bila uang kuno dapat meratap, bukan mustahil dia iri pada stakeholders sejarah dalam film Timeline.
Mereka berada dalam satu ruang waktu, terdapat pula kesamaan sebagai hasil peradaban tepian sungai, tetapi generasi masa kini yang menemukannya memiliki perbedaan perlakuan. Bukan mustahil bila dikelola atau "dikemas" oleh ahlinya, uang kuno itu bukan hanya dapat menceritakan peradaban masa lalu, namun juga dapat "dijual" dalam bentuk film. Apa mungkin? (Haryo Damardono)
Diposting oleh haryo98 di 9:37 PM 0 komentar
PEMANDIAN LANGENHARJO, MESTIKA TERPENDAM...
Berada di sisi utara Bengawan Solo, tepatnya di Desa Langenharjo, Kecamatan Grogol, Sukoharjo, Pesanggrahan Langenharjo didirikan hanya sekitar 50 meter dari bibir Kali Bengawan Solo, yang kini dibentengi tanggul kali. Sebelum diberi tanggul, bila musim hujan, air akan menggenangi halaman pesanggrahan hingga langkan pendapa.
Renovasi Pendapa Prabasana dan bangunan pesanggrahan yang disebut Kuncungan dilakukan setahun lalu. Renovasi seluas 480 meter persegi telah menimbulkan efek visual baik dan memunculkan jati diri pesanggrahan sebagai sebuah mestika terpendam. Namun, pemandian air hangat-sebagaimana digembar-gemborkan papan petunjuk pariwisata, dari Solo Baru hingga Sukoharjo-malahan tidak terawat.
Pesanggrahan Langenharjo dibangun Susuhunan Paku Buwono (PB) IX pada tahun 1870. Meski demikian, keberadaan pesanggrahan ini tidak terlepas dari kebesaran PB X, yang memerintah menjadi Raja Surakarta sejak Kamis Wage, 30 Maret 1893 hingga tahun 1939. Tertera jelas di dinding pemandian air hangat, tulisan PB X 15-7-1931 sebagai pihak penyelesai persanggrahan.
Tak jelas motif di balik pendirian berbagai bangunan monumental oleh PB X, namun serakan artefak peninggalan PB X sangat banyak. Jauhnya jarak bukan masalah besar, sebab menurut Kuntowijoyo pada tahun 1907, PB X telah memiliki sebuah mobil. Namun, artefak itu tidak terawat. Ini sangat kontras dengan renovasi permandian Tamansari milik Kasultanan Yogyakarta yang dibantu Pemerintah Portugal.
Menurut Kuntowijoyo dalam buku Raja, Priyayi, dan Kawula, PB X sengaja membuat simbol kultural lantaran dikekang Belanda. Secara tersirat dikatakan, bangunan keraton-dan bangunan lain milik keraton-tidak dapat dilihat dari sisi arsitektur semata, melainkan bermakna sebagai tuntutan bagi gusti maupun kawula, baik di dunia atau akhirat.
Maka, layaklah bila ruangan khusus bernama Sanggar Pamujan di sana dan sering digunakan raja bermeditasi, mencari ilham dan wahyu, dalam memutuskan sesuatu berhubungan dengan raja atau masyarakat.
Menurut juru kunci Mbah Suwito, bila malam Selasa Legi atau setiap malam Jumat, banyak pengunjung tapa brata di depan Sanggar Pamujan. Saat Kompas berkunjung, sepasang manusia hanya memakai kain batik yang dililitkan, melakukan tapa brata -padahal saat itu siang bolong.
Berkelana menuju Pesanggrahan Langenharjo yang terletak 10 kilometer sisi selatan Solo, relatif mudah. Sebab, pada jalur utama Solo Baru berseliweran bus jurusan Jakarta-Wonogiri. Setelah menjejakkan kaki di kota satelit Solo Baru, Sukoharjo, tiap pengelana dapat menaiki ojek menuju Langenharjo.
Apa yang ditawarkan dari pesanggrahan ini? Mbah Suwito mengatakan ada dua, yakni wisata spiritual dan kesehatan. Ketika menjejakkan kaki di pesanggrahan, pemandangan spiritual tersaji, yakni patung Kyai Rajamala (Dalam tradisi Mataram, Kyai Rajamala, patung yang diletakkan di haluan perahu raja). Patung ini berasal dari periode PB IX yang diukir Ki Ageng Seto.
Lalu, ndalem ageng dan Pendapa Pungkuran, serta Sanggar Pamujan tempat raja bersemedi yang kini hanya boleh dimasuki kerabat PB. Di sayap bangunan utama terdapat keputren, kesatrian, gudang senjata, dan ruang tamu, yang rencananya direnovasi.
Di halaman belakang Pesanggrahan terdapat ruangan permandian dengan enam kamar mandi, dilengkapi bathtub dari zaman PB X. Uniknya, di bathtub ini dialirkan air belerang dari sumber Langenharjo yang dipercaya menyembuhkan penyakit. Tiap pengunjung berendam dengan membayar Rp 1.500. Air itu tak lagi hangat walau berkhasiat sebab menurut Suwito pipa-pipa di bawah tanah bocor sehingga uap keluar.
Kini, putra PB XII, GRM Suryo Suseno atau KGPH Kusumoyudho, anak dari garwa ampil Pradapaningrum, mendiami Pesanggrahan Langenharjo. (HARYO DAMARDONO)
Diposting oleh haryo98 di 9:28 PM 0 komentar
WILUJENGAN KEMERDEKAAN DI CANDI SUKUH
PENDUDUK Desa Berjo menapaki jalan menanjak, diterangi obor, menuju Candi Sukuh, Sabtu (14/8) menjelang tengah malam. Candi Hindu di Kecamatan Ngargoyoso, Kabupaten Karanganyar, di lereng Gunung Lawu itu, yang dibangun tahun 1430, seolah hidup lagi.
CANDI Sukuh memang sempat ditelantarkan. Kali ini, Dinas Pariwisata Kabupaten Karanganyar menjadikannya sebagai lokasi wilujengan peringatan Hari Kemerdekaan Ke-59 Republik Indonesia. Kepala Dinas Pariwisata Karanganyar Ignatius Joko Suyanto, dengan pakaian adat bercorak Bali duduk di pelataran candi, menghadap nasi tumpeng dan dupa yang menghantarkan bau harum semerbak. Ditemani tetua desa dan Budayawan Suprapto Suryodarmo, mereka memanjatkan puja-puji pada Sang Khalik, Sang Pencipta.
Keselarasan tercipta tatkala semua yang hadir bersimpuh di seputaran lingga-yoni dan relief candi yang melakonkan petikan kehidupan-reproduksi manusia-dalam gambaran asli. Seusai fragmen transenden demi keselamatan bangsa setahun mendatang, lighting memukau menghujani Candi Sukuh, yang malam itu tampak sangat megah.
Suasana yang masih hening pun, tiba-tiba "diganggu" petikan siter dan gesekan lembut rebab. Sesosok manusia-penari Mugiyono Kasido-menaiki batu berbentuk kura-kura, bersila, bersimpuh, lalu diiringi suara gamelan membahana, dia memperkasakan diri tegak berdiri, seumpama Bima, sosok yang juga tampil dalam aksi erotis di relief Candi Sukuh.
Mugi pun seolah trance dalam menari ketika mengembara "mencari mata candi", mencari pemaknaan di balik berdirinya suatu candi. Menurut Mugi, pendirian candi adalah pencarian manusia kepada Sang Pencipta, terlebih pencarian manusia terhadap dirinya sendiri.
"Candi itu ibaratnya perpustakaan. Bila manusia ingin mengetahui asal-muasal dirinya, hendaknya dia "membaca" candi, dengan membuka tabir misteri dari berbagai 'mata', entah makna filosofis cerita pada relief, makna kosmos arsitektur candi, dan budaya masyarakat setempat di mana candi didirikan," ujarnya.
Dengan gunungan di tangan, Mugi meliuk-liukkan tubuhnya di sela-sela bebatuan candi. Gunungan (kayon) sebagai perlambangan jagad, di tangannya menjadi batas masa depan dengan masa lalu. Ketika manusia berniat menjadi "mata candi", mencari asal usulnya, dia harus berani melewati "batasan" yang diciptakan gunungan itu. Kadangkala Mugi tampak marah dalam pengembaraannya sehingga bebatuan candi menjadi merah "membara" dihujani lampu sorot, diiringi permainan gamelan yang menggila pula.
Sosok Mugi pun terproyeksi lampu di dinding candi hingga dia seolah raksasa yang hendak membenamkan candi dengan bentuk piramida terpancung itu. Mengenakan topeng Syiwa, Mugi hendak pula mengingatkan akan kedekatan manusia masa lalu, dengan candi sebagai perlambang Sang Khalik.
Meminjam bahasa Mugi, candi bukanlah sekadar onggokan batu. Dalam konteks kepariwisataan, ketika candi hanya dipandang sebagai batu, dia karya arsitektur belaka. Namun, jika disertai pemahaman terhadap makna relief candi, dia akan dijadikan lokasi pengembaraan pengunjung. Pada gilirannya nanti, siapa pun dapat meresapi "jiwa" candi serta mau berdiam beberapa lama di situs itu, dan inilah daya tarik utama wisata yang memberi makna, bukan sekadar "cuci mata" belaka.
Terkait peringatan kemerdekaan Indonesia, pencarian Mugi terhadap "mata candi", seumpama pencarian rakyat Indonesia terhadap pendirian negara ini. Bila Mugi bersedia berhenti berlari, dan sejenak menengok ke masa lalu dengan kontaprestasi jati diri yang makin mantap, mengapa kita tidak! Selamat berulang tahun, Indonesia.... (RYO)
Diposting oleh haryo98 di 8:27 PM 0 komentar
"MENIKMATI" STRAWBERRY WILD, DI MANAKAH CINTA...?
PEOPLE killin 'people dyin'/ Children hurt and you hear them cryin'/... Father, Father, Father helps us/ Send us some guidance from above/ Where is the love... di manakah cinta?
DEMIKIAN lantunan ratusan lelaki-perempuan yang tumpah-ruah di Music Room Hotel Quality, Solo, dalam gelar Ladies Domination Part III. Pagelaran sebulan sekali ini memasuki minggu ketiga, dan patut diacungi jempol dari sisi kuantitas pengunjung di tengah makin sepinya hiburan malam di Kota Solo.
Tujuh personel Flavour Band, yang dikomandani vokalis Thomas, langsung menghangatkan suasana dengan lagu R&B dan Top 40, yang memang diset berfrekuensi sama dengan selera musik generasi muda di kota besar mana pun. Thomas, Ratih, dan Jacklin sebagai vokalis, bassist Ari, gitaris Sendy, drummer Bayu, dan Dhikri malam itu menjadi dewa bagi seluruh penduduk Musro.
Raise your finger, knock your head, and jump! Apa pun perintah Thomas, serta merta diikuti ratusan pengunjung. Sederetan syair, gebukan perkusi, atau petikan gitar adalah sumber energi baru bagi mereka. Pasangan yang menyembunyikan diri di sudut Musro pun tak kuasa menahan anggukan kepala, hentakan kaki, atau sekadar memainkan jari pada pegangan kursi. Sembari menandak, meloncat, dan menghentakkan kaki, tiada lagi lirik lagu yang meresap pada diri mereka.
"People killin 'people dyin'/ Children hurt and you hear them crying," lantun mereka. Akankah suara anak yang menangis dan memori manusia yang terbunuh, entah oleh peperangan atau kelaparan, terproyeksi ke retina lantas terdistribusi ke otak mereka?
"Father, Father, Father helps us...," rintih mereka, mungkin tanpa disadari bahwa "Father" dalam syair ini dimaksudkan musisi Black Eyed Peas sebagai Bapa di Surga, Yang Maha Kuasa. Bukan ayah duniawi Musro Lovers, yang berusia belasan tahun, yang membayari premium mobil atau pulsa telepon genggam mereka.
"Send us some guidance from above/ Where is the love...," pastinya lirik yang meminta petunjuk dari Allah takkan teresapi. Sebab, saat lirik Where is the love diteriakkan beramai-ramai seluruh Musro, inilah saat rokok dicabut dari sela bibir, kedua tangan diangkat tinggi-tinggi ke udara, gelas bir diletakkan, dan sekali lagi Where is the love dibumbungkan ke atmosfer Musro.
Malam itu, perempuan muda berpakaian merah, baik pada atasan maupun bawahan berseliweran. Makin merah, makin sensual, dengan potongan pakaian yang makin minim semakin diperhatikan orang. Dengan berpakaian merah, sesuai tema Strawberry Wild, perempuan yang merupakan empunya Ladies Domination, terbebas dari cover charge Rp 40.000 setiap orang, belum termasuk biaya minuman.
"Mungkin mereka layak menikmati hiburan semacam ini seusai membanting tulang sehari penuh. Atau sekadar melepas tekanan kehidupan yang menghimpit," kata Thomas, berusaha bijak. Dia pun mengatakan sesungguhnya tidak terlalu menikmati kehidupan hingar-bingar itu. (RYO)
Diposting oleh haryo98 di 8:24 PM 0 komentar
AIR TERJUN JUMUG, THE LOST PARADISE...
BERLEBIHAN kiranya menyebut Air Terjun Jumug di Desa Berjo, Kecamatan Ngargoyoso, Kabupaten Karanganyar sebagai The Lost Paradise, surga yang hilang. Namun, demikianlah petunjuk yang baru tahun ini dipampang -pada lokasi sejauh 300 meter dari air terjun di tepian ruas Kota Kecamatan Ngargoyoso-Candi Sukuh-untuk mempromosikan situs pariwisata terbaru Karanganyar.
Meski sama-sama menyandang predikat the lost paradise, tentu air terjun Jumug tidaklah sefenomental penemuan air terjun Angel yang ditemukan tahun 1935 oleh pilot Amerika Jimmie Angel ketika terjatuh di kawasan Venezuela, Amerika Selatan. Air terjun Jumug jugalah tidak setinggi air terjun Angel yang menurut pengukuran berketinggian 979 meter atau hampir satu kilometer.
Hanya berlokasi 500 meter di atas air terjun, Situs Candi Sukuh di ketinggian 910 kilometer di atas permukaan laut ini telah didirikan pada abad ke-15. Seorang pemuka adat sebuah pura yang cukup berpengaruh di kawasan Keraton, Budiarso, bahkan pernah membisikkan candi tersebut sesungguhnya buah karya kebudayaan Megalitikum dan hanya direstorasi, lalu digunakan kaum Hindu.
Ilustrasi tadi mengajak kita berefleksi bahwa di tengah sebuah peradaban Jawa Kuno, air terjun, grojogan tentunya telah dinodai berbagai kegiatan masyarakat, tidak terlupa aktivitas spiritual. Dengan air sebagai perlambang pencuci, pembersih, dan pembaptis, menjadi pertanyaan ditemukannya kembali air terjun Jumug. Benarkah situs pariwisata ini pernah hilang, atau baru ditemukan?
Entahlah! Yang jelas, menurut warga Desa Berjo, Narto, selama ini dari balik rerimbunan pepohonan hanya terdengar suara air jatuh dari ketinggian. Beberapa orang dewasa menerobos semak belukar, pernah melaporkan keberadaannya, walau tidak mengelaborasinya lebih lanjut. Dinas Pariwisata Kabupaten Karanganyar bukannya tidak tahu-menahu keberadaan situs wisata ini, meski dana yang jadi kendala pengembangan.
Adalah Abdullah, warga keturunan Arab -sejak tahun 1968 berdiam di Kecamatan Ngargoyoso- yang menanamkan investasi di sini. Pemerintah Kabupaten Karanganyar membabat semak belukar, menata pepohonan yang terlalu rimbun, dan mengatur pertumbuhan tanaman yang merambati air terjun sehingga tampaklah kini air terjun Jumug. Kepala Dinas Pariwisata Kabupaten Karanganyar, Joko Suyanto menunjuk Abdullah sebagai the discover of Jumug Waterfall.
Bila Anda berkesempatan menyambangi Solo, tentu tiada ruginya menyinggahi sisa peradaban tua -berupa Candi Sukuh- yang kesohor karena bentuk piramida terpenggalnya. Namun jangan lupa, tengoklah pula air terjun Jumug, 35 kilometer dari Solo. Air terjun ini terdiri dari tiga tingkat, dengan ketinggian air terjun tingkat teratas 8 meter, tingkat kedua 12 meter, dan tingkat terbawah (utama) 30 meter. Jikalau Anda tak kuat, Anda bisa menyaksikan hanya air terjun utamanya, sebab medan mendaki kedua tingkat atas air terjun sangat menguras energi dan dapat membuyarkan chi pernafasan Anda. (RYO)
Diposting oleh haryo98 di 8:21 PM 0 komentar
BEDHAYA KETAWANG PUN DITARIKAN
SYAHDAN, Kanjeng Ratu Kidul "penguasa Laut Selatan" terpikat kegagahan seseorang yang bersemedi di Pantai Parangkusumo, Kabupaten Bantul. Ia tak hanya terpikat ketampanan pemuda itu, melainkan keteguhannya bersemedi hingga lautan selatan bergolak. Dia lalu keluar dari keraton kidul dan menemui pemuda itu.
LANTAS, lazimnya dua manusia yang saling terpikat, pernikahan pun tak terelakkan. Beberapa hari, pemuda bernama Panembahan Senopati (raja pertama Mataram) berdiam di Laut Kidul, sebelum kembali ke darat demi Mataram. Dia mengabaikan bujuk rayu Kanjeng Ratu Kidul untuk berdiam di sana.
Demikianlah intisari tari bedhaya ketawang, yang menurut Kitab Wedhapradangga, diciptakan Sultan Agung (1613-1645), seusai mendengar tetembangan dari tawang (langit). Sehingga, secara harfiah, bedhaya ketawang berasal dari ambedhaya (menari) dan tawang.
"Bedhaya ketawang wajib hukumnya bagi jumenengan seorang raja," kata Gusti Raden Ayu (GRAy) Koes Moertiyah, putri Almarhum Sampeyandalem Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhunan (SISKS) Paku Buwono XII. Ia mengaku diserahi wewenang untuk menguri-uri bedhaya ketawang.
Pekan lalu, diiringi gending bedhaya gedhe, dimainkan dari gamelan Kyai Lokonanta asal zaman Keraton Demak. Gusti Mung, panggilan Koes Moertiyah, mengawasi belasan penari perempuan berlatih bedhaya ketawang untuk jumenengan Kanjeng Gusti Pangeran Haryo (KGPH) Hangabehi menjadi PB XIII, di Pendapa Ageng Sasanasewaka, Keraton Surakarta Hadiningrat. Jumenengan akan dilakukan hari Jumat (10/9) mendatang.
Mengapa dilatih belasan penari kalau hanya digunakan sembilan penari? "Saya hanya mencadangkan. Sebab, menarikan bedhaya ketawang tidak boleh dilakukan dalam kondisi menstruasi. Harus suci. Dia pun harus gadis, dalam artian belum menikah. Kalau masih perawan atau tidak, saya tidak tahu," kata Gusti Mung, terkekeh. Dia serius menekuni tari ini sejak tahun 1982.
GUSTI Mung menjelaskan, tari itu dibagi tiga episode, berdurasi 15, 60, dan 15 menit, atau total 90 menit. Pertama, kala Kanjeng Ratu Kidul keluar dari istana dan bertemu Panembahan Senopati, yang memintanya membantu kerajaan yang kalut. Ia mau membantu dengan syarat Senopati harus menjadi suaminya. Kedua, adegan percintaan Penembahan Senopati dan Ratu Kidul, yang sempat mengabaikan negeri walau akhirnya diingatkan Ki Juru Martani (penasihat kerajaan) untuk kembali ke Mataram. Ketiga, tangisan atas kerinduan mendalam dan ungkapan cinta Kanjeng Ratu Kidul, yang bersumpah tidak akan mencari laki-laki lain, kecuali Raja Mataram. Dia juga berjanji mengabdi dan menjadi istri Raja Mataram hingga turun-temurun, hingga kini.
Bedhaya ketawang yang dibawakan dengan lemah gemulai ini, akan ditarikan kembali sehabis shalat Jumat, seusai jumenengan PB XIII. Lemah gemulai? Paradoks dengan konsep lemah gemulai, dalam kacamata maestro tari Sardono W Kusumo, dalam bukunya berjudul Hanuman, Tarzan, Pithecanthropus Erectus, tarian yang dimainkan secara puitis dan abstrak ini membawa pula karakter kuat, seumpama kesatria atau raksasa, seperti karakter Rahwana dalam epos Ramayana.
Gusti Mung tampaknya tidak menegasikan konsep ini. Hanya, dia menegaskan, pada zamannya, bedhaya ketawang dimainkan abdi dalem perempuan sekaligus pengawal terakhir raja Mataram yang dibekali pula ketrampilan kanuragan. Peran abdi dalem perempuan bersenjata ini begitu perkasanya, sebagaimana dibahas Mangunwijaya dalam trilogi Lusi Lindri, Roro Mendut, dan Genduk Duku, yang bersumber dari Babad Tanah Jawi.
"Dulunya, bila raja diserang, ia akan bertahan untuk terakhir kalinya di keputren dengan abdi dalem yang menari bedhaya ketawang itu," tandas Gusti Mung. Seusai latihan, yang disaksikan KGPH Hangabehi, belasan abdi dalem perempuan beringsut menuju Dalem Ageng Prabasuyasa, sesuai dengan pakem yang berlaku, setelah sebelumnya mengatupkan tangan menghormat pada Kendang Pusaka Keraton, Kanjeng Kyai Denok.
Konon, setiap kali bedhaya ketawang dipentaskan pada saat jumenengan atau tingalan jumenengan, Kanjeng Ratu Kidul berkenan hadir dan selalu menari bersama penari lain. (RYO)
Diposting oleh haryo98 di 8:07 PM 0 komentar