SANGIRAN DOME, KEPINGAN ASAL MANUSIA
"Apa gue bilang!" demikianlah mungkin Charles Darwin, penulis The Origin of Species pada tahun 1859 akan berteriak, saat situs bersejarah Sangiran ditemukan. Namun apa daya, dia telah wafat ketika pada tahun 1936-1939 ditemukan rahang bawah maupun atap tengkorak manusia purba, di tepian Sungai Cemara, Sangiran, yang oleh G. H. R. von Koeningswald diklasifikasikan sebagai Pithecanthropus II.
Dan, terbukalah mata dunia ketika itu, yang tertuju pada Sangiran di Kabupaten Sragen, Jawa Tengah. Berkunjung ke Sangiran, tak sekadar menikmati segarnya udara dan pemandangan alam, tetapi seolah menyaksikan perjalanan hidup-evolusi manusia.
Bila pelancong tiba di sana, alam begitu menawan. Berdirilah di tepian cekungan Sangiran, maka lembah hijau menghampar. Namun, apa yang terkandung di dalam tanah, ataupun apa yang tersingkap dari erosi tanah sangatlah spektakuler dibanding alam di muka Bumi. Betapa tidak! Fosil dari ratusan ribu hingga jutaan tahun yang lalu seolah "muncul" kembali ke permukaan.
SITUS wisata Sangiran merupakan kawasan konservasi kepurbakalaan yang terletak sekitar 20 kilometer utara Kota Surakarta. Situs Sangiran ini berada dalam kawasan seluas 56 kilometer persegi, sedangkan di Sangiran Dome yang merupakan wilayah konservasi inti, terdapat pelarangan pembangunan memiliki luas sekitar 30 kilometer persegi.
Perjalanan menuju Sangiran dapat ditempuh dengan mudah. Dari pagi hingga petang, puluhan bus baik ukuran sedang maupun besar, hilir-mudik sepanjang jalur Solo-Purwodadi. Sebelum mencapai Kota Gemolong, yang telah ditetapkan sebagai ibu kota kedua, second capital Sragen, berbeloklah ke arah timur tepat di perempatan Kalijambe menuju ke jantung Sangiran. Dari jalur utama Solo-Purwodadi, Sangiran Dome dapat dicapai sejauh kira-kira tiga-empat kilometer dengan kondisi jalan bergelombang.
Ada dua pilihan utama ketika tiba di situs Sangiran. Berbelok sedikit ke utara menaiki tebing Sangiran Dome menuju menara pandang Sangiran, ataukah langsung menuju timur memasuki cekungan Sangiran mengunjungi Museum Sangiran.
Bila pilihan jatuh menyambangi menara pandang Sangiran, maka bersiaplah mendaki menara setinggi 11 meter. Dari atas menara, pelancong dapat melayangkan pandangan sebebas dan sejauh mungkin, walau patut disayangkan tak terdapat sebuah teropong pun untuk membantu penglihatan.
Selain itu, rencana untuk memasang bendera-bendera sebagai petunjuk lokasi penemuan fosil pun belum terealisir. Tepat di bagian timur menara pandang, terdapat pula sebuah bangunan joglo luas, yang dipersiapkan sebagai tempat beristirahat, serta akan dipromosikan untuk wisata homestay.
Sebaliknya, apabila pelancong memutuskan langsung menuju Museum Sangiran, kira-kira 300 meter timur menara pandang, berhentilah terlebih dahulu di depan Sekolah Dasar (SD) Krikilan, Ngampon, Kecamatan Kalijambe. Setelah itu, tengoklah kepala Anda ke arah kanan, dan tepat di seberang areal persawahan akan tampaklah singkapan tanah akibat erosi seusai hujan.
"Tanah yang tererosi hujan itu menampilkan lapisan tanah yang masih terjaga baik dari lapisan Pucangan. Lapisan terbentuk dari lempung hitam yang diendapkan di rawa, serta dapat diamati pula lapisan tufa vulkanik yang sangat halus dan lapisan alga silika yang diendapkan di daerah muara. Lapisan tanah ini pun berusia sekitar 1,2 juta tahun-700.000 juta tahun,- kata petugas Museum Sangiran, Nining.
Di lokasi tersebut, banyak ditemukan binatang-binatang laut yang mempertegas bahwasannya cekungan Sangiran dulunya merupakan perairan dangkal, yang terangkat menjadi sebuah danau purba, dan akhirnya menjadi sebuah daratan di tengah pulau Jawa.
Menurut Nining, singkapan Krikilan ini hanya satu dari sekian banyak situs penemuan, yang antara lain terdapat pula di singkapan tanah dekat dam Kali Cemoro. Seusai menyaksikan situs Krikilan, melajulah ke timur hingga pusat desa dan berbeloklah kembali ke kanan-ke arah selatan, maka sampailah pelancong di Museum Sangiran. Setelah menaiki puluhan anak tangga hingga mencapai puncak bukit di mana museum berada, masukilah Museum Sangiran dengan sajian pemandangan kepurbakalaan berupa Gading Stegodon Trigonocephalus.
Harap diingat: Gading ini bukanlah hasil penyimpangan sejenis penyakit pada kepala, melainkan gading binatang purba yang berukuran empat meter. Gading tersebut ditemukan di Dukuh Blimbing, Desa Cangkol, Kecamatan Plupuh, Kabupaten Sragen, dari endapan Kabuh Bawah. Selain itu, terdapat pula puluhan fosil yang tersimpan dalam tiga ruangan.
Menurut Kepala Museum Sangiran Roesmulya, dalam waktu dekat akan dibangun museum dengan diorama dan convention hall di bawah tanah. Dia pun membuka pintu gudangnya dan menunjukkan puluhan fosil yang belum bisa dirangkai dan dipertontonkan. "Sangiran dalam waktu dekat akan memiliki museum yang lebih representatif," kata Roesmulya.
Pengunjung menyaksikan pemandangan indah dari pusat Sangiran Dome terhadap suksesi stratigrafi. Tanpa sadar, berdirilah saya di atas bukit breksi vulkanik tua berusia 1,8 juta tahun, dan bukan mustahil di bawah telapak kaki, bersemayam tengkorak-tengkorak leluhur kita. (haryo damardono)
Friday, March 10, 2006
Diposting oleh haryo98 di 5:39 AM
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment