Thursday, March 09, 2006

PEMANDIAN LANGENHARJO, MESTIKA TERPENDAM...

Berada di sisi utara Bengawan Solo, tepatnya di Desa Langenharjo, Kecamatan Grogol, Sukoharjo, Pesanggrahan Langenharjo didirikan hanya sekitar 50 meter dari bibir Kali Bengawan Solo, yang kini dibentengi tanggul kali. Sebelum diberi tanggul, bila musim hujan, air akan menggenangi halaman pesanggrahan hingga langkan pendapa.

Renovasi Pendapa Prabasana dan bangunan pesanggrahan yang disebut Kuncungan dilakukan setahun lalu. Renovasi seluas 480 meter persegi telah menimbulkan efek visual baik dan memunculkan jati diri pesanggrahan sebagai sebuah mestika terpendam. Namun, pemandian air hangat-sebagaimana digembar-gemborkan papan petunjuk pariwisata, dari Solo Baru hingga Sukoharjo-malahan tidak terawat.

Pesanggrahan Langenharjo dibangun Susuhunan Paku Buwono (PB) IX pada tahun 1870. Meski demikian, keberadaan pesanggrahan ini tidak terlepas dari kebesaran PB X, yang memerintah menjadi Raja Surakarta sejak Kamis Wage, 30 Maret 1893 hingga tahun 1939. Tertera jelas di dinding pemandian air hangat, tulisan PB X 15-7-1931 sebagai pihak penyelesai persanggrahan.
Tak jelas motif di balik pendirian berbagai bangunan monumental oleh PB X, namun serakan artefak peninggalan PB X sangat banyak. Jauhnya jarak bukan masalah besar, sebab menurut Kuntowijoyo pada tahun 1907, PB X telah memiliki sebuah mobil. Namun, artefak itu tidak terawat. Ini sangat kontras dengan renovasi permandian Tamansari milik Kasultanan Yogyakarta yang dibantu Pemerintah Portugal.

Menurut Kuntowijoyo dalam buku Raja, Priyayi, dan Kawula, PB X sengaja membuat simbol kultural lantaran dikekang Belanda. Secara tersirat dikatakan, bangunan keraton-dan bangunan lain milik keraton-tidak dapat dilihat dari sisi arsitektur semata, melainkan bermakna sebagai tuntutan bagi gusti maupun kawula, baik di dunia atau akhirat.

Maka, layaklah bila ruangan khusus bernama Sanggar Pamujan di sana dan sering digunakan raja bermeditasi, mencari ilham dan wahyu, dalam memutuskan sesuatu berhubungan dengan raja atau masyarakat.

Menurut juru kunci Mbah Suwito, bila malam Selasa Legi atau setiap malam Jumat, banyak pengunjung tapa brata di depan Sanggar Pamujan. Saat Kompas berkunjung, sepasang manusia hanya memakai kain batik yang dililitkan, melakukan tapa brata -padahal saat itu siang bolong.

Berkelana menuju Pesanggrahan Langenharjo yang terletak 10 kilometer sisi selatan Solo, relatif mudah. Sebab, pada jalur utama Solo Baru berseliweran bus jurusan Jakarta-Wonogiri. Setelah menjejakkan kaki di kota satelit Solo Baru, Sukoharjo, tiap pengelana dapat menaiki ojek menuju Langenharjo.

Apa yang ditawarkan dari pesanggrahan ini? Mbah Suwito mengatakan ada dua, yakni wisata spiritual dan kesehatan. Ketika menjejakkan kaki di pesanggrahan, pemandangan spiritual tersaji, yakni patung Kyai Rajamala (Dalam tradisi Mataram, Kyai Rajamala, patung yang diletakkan di haluan perahu raja). Patung ini berasal dari periode PB IX yang diukir Ki Ageng Seto.

Lalu, ndalem ageng dan Pendapa Pungkuran, serta Sanggar Pamujan tempat raja bersemedi yang kini hanya boleh dimasuki kerabat PB. Di sayap bangunan utama terdapat keputren, kesatrian, gudang senjata, dan ruang tamu, yang rencananya direnovasi.

Di halaman belakang Pesanggrahan terdapat ruangan permandian dengan enam kamar mandi, dilengkapi bathtub dari zaman PB X. Uniknya, di bathtub ini dialirkan air belerang dari sumber Langenharjo yang dipercaya menyembuhkan penyakit. Tiap pengunjung berendam dengan membayar Rp 1.500. Air itu tak lagi hangat walau berkhasiat sebab menurut Suwito pipa-pipa di bawah tanah bocor sehingga uap keluar.

Kini, putra PB XII, GRM Suryo Suseno atau KGPH Kusumoyudho, anak dari garwa ampil Pradapaningrum, mendiami Pesanggrahan Langenharjo. (HARYO DAMARDONO)

No comments: