Thursday, March 09, 2006

BEDHAYA KETAWANG PUN DITARIKAN

SYAHDAN, Kanjeng Ratu Kidul "penguasa Laut Selatan" terpikat kegagahan seseorang yang bersemedi di Pantai Parangkusumo, Kabupaten Bantul. Ia tak hanya terpikat ketampanan pemuda itu, melainkan keteguhannya bersemedi hingga lautan selatan bergolak. Dia lalu keluar dari keraton kidul dan menemui pemuda itu.

LANTAS, lazimnya dua manusia yang saling terpikat, pernikahan pun tak terelakkan. Beberapa hari, pemuda bernama Panembahan Senopati (raja pertama Mataram) berdiam di Laut Kidul, sebelum kembali ke darat demi Mataram. Dia mengabaikan bujuk rayu Kanjeng Ratu Kidul untuk berdiam di sana.

Demikianlah intisari tari bedhaya ketawang, yang menurut Kitab Wedhapradangga, diciptakan Sultan Agung (1613-1645), seusai mendengar tetembangan dari tawang (langit). Sehingga, secara harfiah, bedhaya ketawang berasal dari ambedhaya (menari) dan tawang.

"Bedhaya ketawang wajib hukumnya bagi jumenengan seorang raja," kata Gusti Raden Ayu (GRAy) Koes Moertiyah, putri Almarhum Sampeyandalem Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhunan (SISKS) Paku Buwono XII. Ia mengaku diserahi wewenang untuk menguri-uri bedhaya ketawang.

Pekan lalu, diiringi gending bedhaya gedhe, dimainkan dari gamelan Kyai Lokonanta asal zaman Keraton Demak. Gusti Mung, panggilan Koes Moertiyah, mengawasi belasan penari perempuan berlatih bedhaya ketawang untuk jumenengan Kanjeng Gusti Pangeran Haryo (KGPH) Hangabehi menjadi PB XIII, di Pendapa Ageng Sasanasewaka, Keraton Surakarta Hadiningrat. Jumenengan akan dilakukan hari Jumat (10/9) mendatang.

Mengapa dilatih belasan penari kalau hanya digunakan sembilan penari? "Saya hanya mencadangkan. Sebab, menarikan bedhaya ketawang tidak boleh dilakukan dalam kondisi menstruasi. Harus suci. Dia pun harus gadis, dalam artian belum menikah. Kalau masih perawan atau tidak, saya tidak tahu," kata Gusti Mung, terkekeh. Dia serius menekuni tari ini sejak tahun 1982.

GUSTI Mung menjelaskan, tari itu dibagi tiga episode, berdurasi 15, 60, dan 15 menit, atau total 90 menit. Pertama, kala Kanjeng Ratu Kidul keluar dari istana dan bertemu Panembahan Senopati, yang memintanya membantu kerajaan yang kalut. Ia mau membantu dengan syarat Senopati harus menjadi suaminya. Kedua, adegan percintaan Penembahan Senopati dan Ratu Kidul, yang sempat mengabaikan negeri walau akhirnya diingatkan Ki Juru Martani (penasihat kerajaan) untuk kembali ke Mataram. Ketiga, tangisan atas kerinduan mendalam dan ungkapan cinta Kanjeng Ratu Kidul, yang bersumpah tidak akan mencari laki-laki lain, kecuali Raja Mataram. Dia juga berjanji mengabdi dan menjadi istri Raja Mataram hingga turun-temurun, hingga kini.

Bedhaya ketawang yang dibawakan dengan lemah gemulai ini, akan ditarikan kembali sehabis shalat Jumat, seusai jumenengan PB XIII. Lemah gemulai? Paradoks dengan konsep lemah gemulai, dalam kacamata maestro tari Sardono W Kusumo, dalam bukunya berjudul Hanuman, Tarzan, Pithecanthropus Erectus, tarian yang dimainkan secara puitis dan abstrak ini membawa pula karakter kuat, seumpama kesatria atau raksasa, seperti karakter Rahwana dalam epos Ramayana.

Gusti Mung tampaknya tidak menegasikan konsep ini. Hanya, dia menegaskan, pada zamannya, bedhaya ketawang dimainkan abdi dalem perempuan sekaligus pengawal terakhir raja Mataram yang dibekali pula ketrampilan kanuragan. Peran abdi dalem perempuan bersenjata ini begitu perkasanya, sebagaimana dibahas Mangunwijaya dalam trilogi Lusi Lindri, Roro Mendut, dan Genduk Duku, yang bersumber dari Babad Tanah Jawi.

"Dulunya, bila raja diserang, ia akan bertahan untuk terakhir kalinya di keputren dengan abdi dalem yang menari bedhaya ketawang itu," tandas Gusti Mung. Seusai latihan, yang disaksikan KGPH Hangabehi, belasan abdi dalem perempuan beringsut menuju Dalem Ageng Prabasuyasa, sesuai dengan pakem yang berlaku, setelah sebelumnya mengatupkan tangan menghormat pada Kendang Pusaka Keraton, Kanjeng Kyai Denok.

Konon, setiap kali bedhaya ketawang dipentaskan pada saat jumenengan atau tingalan jumenengan, Kanjeng Ratu Kidul berkenan hadir dan selalu menari bersama penari lain. (RYO)

No comments: