Thursday, March 09, 2006

WILUJENGAN KEMERDEKAAN DI CANDI SUKUH

PENDUDUK Desa Berjo menapaki jalan menanjak, diterangi obor, menuju Candi Sukuh, Sabtu (14/8) menjelang tengah malam. Candi Hindu di Kecamatan Ngargoyoso, Kabupaten Karanganyar, di lereng Gunung Lawu itu, yang dibangun tahun 1430, seolah hidup lagi.

CANDI Sukuh memang sempat ditelantarkan. Kali ini, Dinas Pariwisata Kabupaten Karanganyar menjadikannya sebagai lokasi wilujengan peringatan Hari Kemerdekaan Ke-59 Republik Indonesia. Kepala Dinas Pariwisata Karanganyar Ignatius Joko Suyanto, dengan pakaian adat bercorak Bali duduk di pelataran candi, menghadap nasi tumpeng dan dupa yang menghantarkan bau harum semerbak. Ditemani tetua desa dan Budayawan Suprapto Suryodarmo, mereka memanjatkan puja-puji pada Sang Khalik, Sang Pencipta.

Keselarasan tercipta tatkala semua yang hadir bersimpuh di seputaran lingga-yoni dan relief candi yang melakonkan petikan kehidupan-reproduksi manusia-dalam gambaran asli. Seusai fragmen transenden demi keselamatan bangsa setahun mendatang, lighting memukau menghujani Candi Sukuh, yang malam itu tampak sangat megah.

Suasana yang masih hening pun, tiba-tiba "diganggu" petikan siter dan gesekan lembut rebab. Sesosok manusia-penari Mugiyono Kasido-menaiki batu berbentuk kura-kura, bersila, bersimpuh, lalu diiringi suara gamelan membahana, dia memperkasakan diri tegak berdiri, seumpama Bima, sosok yang juga tampil dalam aksi erotis di relief Candi Sukuh.

Mugi pun seolah trance dalam menari ketika mengembara "mencari mata candi", mencari pemaknaan di balik berdirinya suatu candi. Menurut Mugi, pendirian candi adalah pencarian manusia kepada Sang Pencipta, terlebih pencarian manusia terhadap dirinya sendiri.

"Candi itu ibaratnya perpustakaan. Bila manusia ingin mengetahui asal-muasal dirinya, hendaknya dia "membaca" candi, dengan membuka tabir misteri dari berbagai 'mata', entah makna filosofis cerita pada relief, makna kosmos arsitektur candi, dan budaya masyarakat setempat di mana candi didirikan," ujarnya.

Dengan gunungan di tangan, Mugi meliuk-liukkan tubuhnya di sela-sela bebatuan candi. Gunungan (kayon) sebagai perlambangan jagad, di tangannya menjadi batas masa depan dengan masa lalu. Ketika manusia berniat menjadi "mata candi", mencari asal usulnya, dia harus berani melewati "batasan" yang diciptakan gunungan itu. Kadangkala Mugi tampak marah dalam pengembaraannya sehingga bebatuan candi menjadi merah "membara" dihujani lampu sorot, diiringi permainan gamelan yang menggila pula.

Sosok Mugi pun terproyeksi lampu di dinding candi hingga dia seolah raksasa yang hendak membenamkan candi dengan bentuk piramida terpancung itu. Mengenakan topeng Syiwa, Mugi hendak pula mengingatkan akan kedekatan manusia masa lalu, dengan candi sebagai perlambang Sang Khalik.

Meminjam bahasa Mugi, candi bukanlah sekadar onggokan batu. Dalam konteks kepariwisataan, ketika candi hanya dipandang sebagai batu, dia karya arsitektur belaka. Namun, jika disertai pemahaman terhadap makna relief candi, dia akan dijadikan lokasi pengembaraan pengunjung. Pada gilirannya nanti, siapa pun dapat meresapi "jiwa" candi serta mau berdiam beberapa lama di situs itu, dan inilah daya tarik utama wisata yang memberi makna, bukan sekadar "cuci mata" belaka.

Terkait peringatan kemerdekaan Indonesia, pencarian Mugi terhadap "mata candi", seumpama pencarian rakyat Indonesia terhadap pendirian negara ini. Bila Mugi bersedia berhenti berlari, dan sejenak menengok ke masa lalu dengan kontaprestasi jati diri yang makin mantap, mengapa kita tidak! Selamat berulang tahun, Indonesia.... (RYO)

No comments: