PG TASIKMADU: TENAGA PRIMA, TEBU TIADA
Pabrik iki openono, senajan ora nyugihi, nanging nguripi, kinaryo papan pangupo jiwone kawulo dasih. (Pabrik ini peliharalah, meskipun tidak membuat kaya, tapi menghidupi, memberikan perlindungan, menjadi jiwa rakyat kecil).
Demikianlah pesan KGPAA Mangkunegara IV, satu-satunya pribumi yang menggagas keberadaan pabrik gula (PG). Visinya tegas! Keberadaan PG demi penghidupan rakyat kecil, misinya pun jelas, sebab PG di mana saja adalah proyek padat karya.
Ratusan hingga ribuan orang, mulai mekanik mesin, masinis lokomotif tebu, sopir truk, hingga pembabat tebu adalah serpihan faktor produksi sebuah PG yang menggantungkan hidupnya di situ. Mengepulnya asap dapur, di samping keberlanjutan ekonomi daerah, mau tak mau turut dipengaruhi sebuah PG.
Bicara tentang sejarah keemasan Mangkunegaran, maka keberadaan PG Colomadu yang didirikan 1861, dan PG Tasikmadu yang berdiri sepuluh tahun setelahnya menjadi bagian tak terpisahkan.
Singkap selubung kotak seng yang tersembunyi di belakang kantor Administratur PG Tasikmadu, Kabupaten Karanganyar, maka sebuah gerbong kereta bercat hijau buatan S Chavalier Constructe, Paris-Perancis, yang biasanya digunakan Mangkunegara IV untuk meninjau rakyat, menjadi saksi bisu zaman keemasan ini.
Telusuri pula rel-rel lori tebu yang kini tak lagi terpakai, niscaya sebuah bukti mengguritanya jaringan rel ke lahan-lahan petani tebu menjadi tidak terbantahkan. "Saya sampai merinding bila berkendaraan dari Tawangmangu ke Karanganyar dan menyaksikan jaringan rel lori yang tak terpakai. Hal ini menunjukkan dahulu industri gula pernah berjaya bahkan hingga diekspor ke luar negeri," kata Administratur PG Tasikmadu, Hanung Trihutomo, Juni 2004.
Memasuki bangunan utama pabrik yang bertuliskan PG Tasikmadoe maka lampu hijau diatas gerbang utama, serta asap putih yang mengepul dari cerobong utama PG, menjadi penanda aktifnya pabrik.
Sekitar 670 pekerja tetap dan kurang lebih 3.000 pekerja musiman PG memulai kembali kerja kerasnya selama tiga bulan musim panen raya tebu 2004, sedangkan mesin-mesin utama PG yang diproduksi Machinefabriek Gebr Stork & Co pada tahun 1926 dengan perkasanya mulai bekerja kembali. Bukan hanya menggiling tebu, tapi juga memasak, mencampur, dan mengkristalkan cairan tebu menjadi gula.
BAU kolonial -yang tak selalu harus berkonotasi negatif -ajaibnya masih tercium kental di PG ini. Panggilan administratur bagi kepala PG, masinis bagi kepala teknik PG, merupakan kultur sehari-hari yang belum terkikis modernisasi.
Bila Anda berdialog tentang nira atau gula kristal putih-hal demikian akan percuma, sebab pekerja PG takkan tahu hal itu. Bagi mereka nira adalah sap, gula kristal putih adalah superior hoof suiker (SHS), dan tebu adalah riet.
Bila Anda menanyakan di mana kepala pengolahan PG kepada pekerja pabrik, mereka akan bingung karena mereka biasa memanggilnya dengan Pak FC atau fabrikaat chef -atau dokter gula- demikian sebagian petani tebu menyebutkannya.
Bukti zaman keemasan gula Indonesia masih terekam dari peninggalan yang ada. Rumah tua administratur, lengkap dengan seperangkat gamelan dan meja biliar tua, lantas pedang-pedang tahun 1800-an dengan pelindung tangan, masih tersimpan di rumah satpam. Menurut asisten masinis Edi Suroso, turis-turis asing yang menyambangi PG ini, bahkan sering berupaya membeli alat-alat produksi PG bukan untuk mengolah tebu melainkan sebagai barang koleksi.
Hampir semua alat produksi nyaris tidak tersentuh pergantian zaman. Secara konkret hanya mesin utama pabrik yang direnovasi di tahun 1988/1989, lainnya tidak! Sekitar lima lokomotif tua dengan beban maksimal 24-30 lori, juga masih berseliweran, menaikkan tebu dari crane tebu di sisi selatan pabrik, lalu memasukkannya ke pelataran sisi timur PG.
Bukan main-main, loko tebu dengan mekanisasi ketel uap dan berbahanbakarkan ampas tebu (bal), ada yang berangka tahun 1910-an. Ambil contoh, loko nomor III berkekuatan 80 PK (paardekracht, tenaga kuda) diproduksi Orenstein & Koppel Arthur Koppel AG Berlin-Germany tahun 1913, serta loko nomor X berkekuatan 150 PK diproduksi Orenstein & Koppel AG Berlin-Germany tahun 1929.
WALAU demikian, Administratur PG Tasikmadu, Karanganyar, menolak mentah-mentah kalau PG ini dikatakan tidak mampu lagi bersaing mengolah tebu karena uzurnya alat produksi. "Kapasitas mesin giling kami sekitar 1.500 ton tiap hari sehingga menurut perhitungan dapat diberdayakan untuk memproduksi 450.000 ton tebu pada musim panen. Tapi, pada kenyataannya PG Tasikmadu kami proyeksikan di tahun 2004 hanya mengolah maksimal 350.000 ton tebu," katanya merujuk pada penurunan produktivitas dan produksi tebu dari petani.
Kini, kurangnya produksi tebu membuat pabrik ini tidak lagi memancarkan auranya. Hal sederhana, batang-batang tebu yang masuk pun, tidak berwarna hijau segar, melainkan cokelat kering.
PG Tasikmadu, yang pada awalnya sekitar tahun 1870 dibaptis dengan nama PG Sudokoro oleh Mangkoenegara IV juga menggantungkan diri sepenuhnya pada kemurahan hati petani. Sebab, dengan besaran lahan tebu PG Tasikmadu kurang lebih 5000 hektar, dari besaran lahan itu, hanya tujuh persen yang dimiliki PG, sisanya 93 persen dimiliki petani.
Sebelum tahun 1997, PTPN IX mempunyai 13 PG, namun selain karena kekurangan biaya operasional, lima dari ke-13 PG ini yakni PG Cepiring (Kendal), PG Banjaratma (Brebes), PG Colomadu (Karanganyar), dan PG Ceperbaru (Ceper-Klaten) juga ditutup karena kekurangan bahan baku.
Sedangkan, delapan PG yang masih beroperasi ialah PG Tasikmadu (Karanganyar), PG Jatibarang (Brebes), PG Pangkah (Tegal), PG Sumberharjo (Pemalang), PG Sragi (Pekalongan), PG Mojo (Sragen), PG Gondang Baru (Klaten), dan PG Tersana Baru (Brebes). Akankah Tasikmadu bertahan ataukah harus ditutup? (haryo damardono)
Saturday, March 11, 2006
Diposting oleh haryo98 di 4:57 PM
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
4 comments:
Oke, banget man, tulisan ini. ini kayaknya tulisan personal lu. Mentang-mentang kakek lu, pejabat di pabrik gula, ya, hehehe....
Setelah membaca ini, jadi teringat dengan buku Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat Jawa 1912-1926 Pengarang: Takashi Shiraishi Penerjemah: Hilmar Farid Penerbit: Pustaka Utama Grafiti.
Muhlis Suhaeri
kakek gue juga dulu kerja di PG Colomadu....sayang gue gak pernah ketemu dia....kalo denger cerita2nya dari nyokap...gue jadi pengen liat rumah2 orang yang kerja di PG jaman dulu....katanya rumahnya seru2..hehehe...
bagus juga tulisane mas haryo...
salam kenal... kalo ada lagi di semua PG ......
saya pecinta PG n Lorinya....
salam kenal
purwadi
Salam kenal, memang seru kembali mengingat masa lalu di tempatku ada PG Banjaratma, bernasib ama
Post a Comment