Bersua Nemo di Pulau Kabung-Kalimantan Barat
Jauh dari rutinitas, keramaian kota, polusi kendaraan, serta modernitas, di pesisir Pulau Kabung, saya bersua nemo—demikianlah anak-anak mengenalinya. Kehidupan nemo (tokoh film Finding Nemo) atau ikan badut (clownfish) ini, yang dijumpai disela-sela terumbu karang, merupakan andalan eko-tourisme Pulau Kabung.
Hal lain, kehidupan nelayan, baik di bagan maupun di laut lepas, pemandangan matahari terbit (sunrise) maupun matahari terbenam (sunset), dan kehidupan kampung nelayan. Bila beruntung, dapat pula menyaksikan lumba-lumba bermain di perairan ini.
Cukup mudah menjangkau Pulau Kabung, di Desa Karimunting, Kecamatan Sungai Raya, Kabupaten Bengkayang, Kalimantan Barat. Dari Pontianak, arahkan kendaraan ke Singkawang. Sekitar 130 kilometer, sampailah di kampung nelayan Teluk Suak.
Lalu, naiklah perahu motor menuju Pulau Kabung, berongkos Rp 3.000 per orang. Bila ingin santai, tanpa dipusingkan transportasi, akomodasi, sampai urusan pandu-memandu, gunakan jasa Canopy Kalimantan—satu-satunya operator wisata di Pulau Kabung.
Sepi. Kesan pertama saat menjejakkan kaki di Pulau Kabung. Yang terlihat, ikan-ikan teri dijemur di tikar bambu. Kemanakah penduduk pulau ini? Panggilan makan siang, membuyarkan permenungan. Ikan teri, ikan pindang tumbuk, dan sotong kuah memanjakan indera pengecap dan lambung. Jangan berharap menu ayam maupun sayur.
Populasi ayam di Pulau ini, mungkin tidak sebanyak penduduk Pulau Kabung yang berjumlah 400 jiwa. Sementara sayur dibeli dari Bengkayang atau Singkawang, pepohonan di pulau ini, hanya kelapa dan cengkeh.
Matahari di ufuk barat, saat saya bangun tidur setelah lelah di perjalanan—dan kekenyangan. Pemuda nelayan setempat, Deki (16) lalu mengajak bersampan menuju bagan, menyaksikan sunset.
Arsitektur bagan sederhana. Pilar bagan dari kayu nibun (sejenis palma), dipadu gelagar kayu sangae dan propok, dengan pondok beratap nipah. Pada tiang bagan yang terbenam air laut, hidup berbagai biota, mendukung perkembangbiakan ikan.
Tinggi bagan dari dasar laut mencapai 18 meter, sementara tinggi anjungan bagan sekitar 4-6 meter. Anjungan bagan berukuran 9 x 7 meter, pada bagian bawah terdapat jala yang dapat diangkat. Umur maksimal bagan, mencapai tiga tahun.
Dari bagan, kami lihat indahnya sunset, yang “ditelan” laut Cina Selatan. Langit meredup hingga gelap gulita, lalu ditaburi bintang. Masing-masing bagan menurunkan dua petromaks, mengelabuhi ikan-ikan—yang tertarik cahaya—hingga mendekat, lalu ditangkap.
Sungguh mengesankan, melihat sunset dari bagan. Ketika lapar, kami menangkap sotong dari jala, membakarnya tanpa bumbu, lalu menyantapnya lahap. Doyan atau Lapar? Entahlah, beda tipis.
Ditemani Teguh Panglima, juragan Betawi Foto di Pontianak, kami bermalam di rumah Ibu Intan. Penginapan villa tidak disediakan. Sebaliknya, menginap di rumah penduduk (senilai Rp 10.000 per malam). Ternyata, listrik belum masuk di Pulau ini. Padahal, ini tahun 2005, bung.
Menjelang tengah malam, seluruh anggota keluarga melongok ke jendela, lalu berhamburan turun dari rumah panggung. Ternyata, sekelompok lelaki merapatkan perahu, menurunkan puluhan keranjang ikan teri. Baik Intan, maupun kedua anaknya membantu menurunkan keranjang ikan.
Tetangga berdatangan, menyiapkan kayu bakar, dan membawa jeriken minyak tanah. “Ikan harus direbus dalam tong air. Supaya tidak busuk, kemudian besok pagi kami akan menjemurnya,” tandas nelayan Jamilu.
Maka, ikan teri itu direbus. Sementara anak-anak, asyik bercanda, seolah tidak menyadari larutnya malam. Terjawablah pertanyaan saya. Kebanyakan nelayan Pulau Kabung memanfaatkan siang hari untuk beristirahat, karena aktivitas mencari ikan adalah urusan di malam hari.
Keesokan pagi, seraya menikmati sunrise dan secangkir kopi, saya berbincang dengan tokoh masyarakat, H Al Haris. Dia berkisah pemberontakan PPRI di Sulawesi Selatan, pada dekade 60-an, menyebabkannya merantau hingga Pulau Kabung.
“Kini sulit, bila hidup sebagai nelayan, karena terus merugi dan dililit hutang. Maka, ditetapkannya wisata Pulau Kabung, sangat membantu. Apalagi, masyarakat dilibatkan, untuk membuat makanan, tempat tinggal, serta lainnya,” tandas H Al Haris.
Bukan perkara mudah, menjadikan Pulau Kabung—terutama Kampung Tengah menjadi desa wisata. Kawan-kawan muda Canopy Kalimantan, membutuhkan waktu dua tahun, agar diterima masyarakat.
“Kami menjaga keaslian kampung nelayan ini. Tidak ada perubahan, terkecuali perbaikan sarana mandi dan cuci. Untuk air bersih, air gunung tersedia. Diluar itu, bahkan di malam hari pun, kita menggunakan petromaks dan lilin, karena listrik belum ada,” ujar Yuliantini.
Menjelang siang, saya meminjam peralatan snorkeling. Berenang perlahan di permukaan air laut, lalu tampaklah ikan bergaris-garis orange dan putih yang menawan. Tak salah lagi, itulah nemo-ikan badut, bermain di sela anemon laut.
Setelah puas, kami makan siang sembari menunggu kapal penjemput tiba. Tapi, perbincangan di sudut meja sana sangat mengganggu, karena saya menangkap kata-kata investasi.
Saya muak mendengarnya. Jangan diubah keaslian kampung nelayan ini.
Enyahkanlah berpikir proyek, membangun vila-vila, apalagi warung dengan musik hingar bingar. Ini membuat masyarakat setempat tersingkir. Dinas Pariwisata setempat, cukuplah sebagai regulator.
Bila ingin membantu Pulau Kabung, buat dermaga, instalasi listrik, puskesmas, dan diri SMP dan SMA—karena baru ada SD. Canopy Kalimantan telah memfasilitasi pelatihan pemuda, untuk menjadi pemandu selam, agar dapat bekerja sebagai guide.
Tiru dan bantu, atau enyahlah, karena wisata ekoturisme Pulau Kabung, dibangun tanpa bantuan sepeser pun dari pemerintah daerah. (HARYO DAMARDONO)
Read More..